Ditulis oleh :
Ws.Budi S Tanuwibowo
Sejak tahun 2002
Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri, setelah dua tahun sebelumnya ditetapkan sebagai Hari Libur
Fakultatif oleh Presiden KH.Abdurrahman Wahid. Jauh sebelumnya, pada tahun
1946, Presiden Republik Indonesia Pertama, Ir.Sukarno, telah menetap 4 (empat)
Hari Libur Fakultatif bagi masyarakat Tionghoa yang waktu itu mayoritas masih
beragama Khonghucu, yakni : Tahun Baru Imlek, Qing Ming (Ceng Beng), Hari Lahir
Nabi Kongcu (Kongzi, Confucius) dan Hari Wafat Nabi Kongcu.
Meski sudah
dikenal lama dan bahkan telah ditetapkan sebagai Hari Libur Fakultatif sejak
tahun 1946, namun karena pernah mengalami masa pengekangan pasca keluarnya Inpres
No.14 / 1967 yang membatasi agama, adat istiadat dan budaya Tionghoa (efektif
berlaku 1978-1998), banyak orang yang kemudian bingung dan tidak memahami benar
makna Tahun Baru Imlek selengkapnya, terutama dikalangan generasi muda.
Agama
atau Budaya?
Banyak orang
yang bingung dan kemudian berdebat, Tahun Baru Imlek itu hari raya agama, etnis
ataukah budaya? Padahal, perdebatan itu sebenarnya sederhana saja dan mudah
diakhiri dengan pertanyaan berikut :
- Kalau budaya, apakah memerrlukan upcara dan sembahyang yang kita pahami benar menjadi ranah agama?
- Kalau etnis (dalam hal ini Tionghoa), mengapa juga dirayakan oleh bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Korea, Vietnam dan bangsa lainnya, meski dengan istilah berbeda? Bahkan banyak suku Jawa, Sunda, Manado, Papua dan sebagainya, yang meraykan Tahun Baru Imlek? Bagaimana menjelaskan fenomena ini?
- Lihatlah semua hari libur nasional Indonesia, Kalau tidak terkait peristiwa penting nasional, pastti terkait dengan agama. Apa hebatnya suku Tionghoa dibanding suku lainnya, sampai hari raya budaya atau sukunya perlu dirayakan secara khusus? Bagaimana dengan suku Jawa, Madura, Sunda, Batak dan lainnya? Apakah nanti tidak terjadi iri hati?
Masih banyak hal
sederhana yang bisa dengan mudah menegaskan bahwa Tahun Baru Imlek sejatinya
agama. Namun agar kita tidak terjebak pada kesempitan pandangan, ada baiknya
kita membahas makna Imlek secara luas, yang menyangkut berbagai aspek :
astronomi, agama, agraris, sosial-budaya, politis dan bisnis.
Makna
Agronomi
Ada tiga sistem
perhitungan kalender yang setidaknya kita kenal, yakni : solar, lunar dan
lunisolar. Kalender solar atau matahari, didasari orbit bumi mengelilingi
matahari selama ± 365,25 hari per tahun. Contohnya Kalender Masehi, Kalender
Lunar atau bulan, didasari orbit bulan mengelilingi bumi selama ± 29,5 hari per
bulan, atau 354 hari per tahun. Contohnya Kalender Hijriyah atau Islam. Itulah
sebabnya 1 Muharram, Idul Fitri atau yang lainnya, selalu jatuh maju 11 hari
disbanding tahun sebelumnya.
Kalender Imlek,
perhitungan hari per bulannya didasarkan pada edar bulan mengelilingi bumi,
namun selisih 11,25 dengan sistem solar selama 19 tahun (19 x 11,25 hari,
identik dengan 7 bulan) dikoreksi dengan menyisipkan 7 kali bulan ke-13 selama
kurun waktu tersebut. Itulah sebabnya awal tahun penanggalan Imlek tidak maju
terus seperti terjadi pada Kalender Hijriyah, namun selalu dalam kisaran 21
januari-19 Februari.
Dengan
menggabungkan kedua sistem solar dan lunar, atau lunisolar, maka Kalender Imlek
bisa digunakan untuk menghitung bulan baru dan purnama, pasang surut air laut,
pergantian musim, dan letak semu matahari terhadap sumbu bumi.
Dari paparan di
atas menjadi jelas bahwa Tahun Baru Imlek mempunyai makna astronomi, karena
terkait dengan sistem tata surya, sistem penanggalan atau awal dari sebuah
tahun baru, yang didasari sistem lunar (yinli, imlek) yang dipadu dengan system
solar (yingli atau yanglek) atau sejatinya lebih pas disebut lunisolar
(yinyangli atau imyanglek).
Makna
Agama
Kalender YinYang
Li atau Imlek diciptakan oleh Huang Di, yang merupakan nenek moyang orang Han
(suku terbesar yang mendiami wilayah Tiongkok) dan sekaligus salah satu nabi
utama dalam Ru Jiao (agama Khonghucu). Oleh karenanya banyak orang yang menamai
Kalender Imlek sebagai Kalender Huang Di.
Namun semasa
Huang Di berkuasa, Kalender ini belum digunakan. Baru pada masa Dinasti Xia
(2205-1766 SM) kalender tersebut digunakan, sehingga lazim disebut pula sebagai
Kalender Xia. Setelah Xia runtuh diganti Dinasti Shang (1766-1122 SM), Dinasti Zhou
(1122-256 SM) dan Dinasti Qin (256-202 SM), kalender tersebut tidak lagi
digunakan dan diganti dengan kalender dari setiap dinasti baru yang berkuasa.
Kalender Xia
baru digunakan kembali setelah Kaisar keempat Dinasti Han yang bernama Han Wu
Di memerintah. Pada tahun 104 SM, beliau menetapkan digunakannya kembali
Kalender Dinasti Xia, mengacu pada sabda Nabi Kongzi yang tersurat pada Kitab
Suci Si Shu, bagian Lun Yu, Bab XV, Pasal 11 ayat 2. Pada saat yang bersamaan
Han Wu DI juga menetapkan Ru Jiao atau agama Khonghucu sebagai agama resmi
negara. Untuk menghormati Nabi Kongzi,
Han Wu Di menetapkan tahun pertama kalendernya dihitung sejak 551 SM, yang
merupakan tahun kelahiran Nabi Kongzi. Itulah sebabnya Kalender Imlek 551 tahun
lebih tua dari tahun Masehi.
Dari paparan di
atas jelaslah bahwa ada 4 (empat) tokoh penting yang berperan dalam penggunaan
kalender Imlek, yaitu : Huang Di, Xia Yu (pendiri Dinasti Xia), Kongzi dan Han
Wu Di. Ketiga tokoh pertama di atas adalah nabi-nabi dalam agama Khonghucu,
sedangkan Han Wu Di, adalah Kaisar pertama yang menetapkan Ru Jiao (agama
Khonghucu) sebagai agama Negara. Maka jelaslah Kalender Imlek terkait erat
dengan Ru Jiao atau agama Khonghucu.
Kalau kita
perhatikan ritual yang terkait dengan Tahun Baru Imlek yang dilakukan sejak
seminggu sebelumnya (Hari Persaudaraan) sampai dengan dua minggu sesudahnya
(Cap Go Meh), jelas tak bisa dibantah bahwa Tahun Baru Imlek adalah Hari Raya
Agama Khonghucu.
Makna
Agraris
Ketika Huang Di
menciptakan penanggalan Imlek, ada dua hal penting yang menjadi dasar
pertimbangannya. Pertama menjadi pendoman bagi upacara keagamaan (Ru Jiao),
dimana pada setiap musim, dilakukan sembahyang besar yang dipimpin oleh kaisar
sendiri. Yang kedua adalah dapat digunakan sebagai pedoman bagi awal bercocok
tanam. Itulah sebabnya awal tahun barunya dijaga di antara tanggal 21 Januari
hingga 19 Februari, yang masing-masing berkisar 14 hari dari tanggal 5 Februari
yang merupakan titik tengah letak semu matahari antara 23,5 derajat lintang
selatang dengan khatulistiwa atau batas musim dingin dan semi bagi wilayah di
utara khatulistiwa.
Hal di ataslah yang juga menjadi dasar bagi
nasihat Nabi Kongzi kala menyarankan digunakannya kembali penanggalan Dinasti
Xia atau yang kita kenal sekarang sebagai Penanggalan Imlek. Beliau sangat
menekankan arti pentingnya kalender bagi kehidupan rakyat yang waktu itu
sepenuhnya hidup dari pertanian. Kalender adalah pedoman bagi rakyat, bukan
symbol legitimasi kekuasaan kaisar. Pada zaman itu, setiap kaisar atau dinasti
baru muncul, sistem kalendernya selalu diganti, dihitung sejak kaisar tersebut
berkuasa. Jelas hal ini membuat fungsi kalender sebagai pedoman bagi rakyat
petani menjadi kabur, karena awal perhitungannya tidak lagi terkait dengan
musim.
Makna
Sosial Budaya
Sejarah Ru Jiao
atau agama Khonghucu erat berhimpitan dengan sejarah bangsa Tionghoa. Dan ini
terjadi dalam kurun waktu lama, tak terputus selama 5000 tahun lebih lamanya.
Tak heran meski pun kini agama orang Tionghoa sudah beraneka ragam, tapi budaya
dan sebagian tingkah lakunya terpengaruh kuat dengan Ru Jiao atau agama
Khonghucu. Maka konsekuensinya, segala sesuatu yang dulu menjadi ranah agama,
lama-lama diterima dan menjadi budaya yang mempengaruhi perilaku social orang
per orang, diturunkan turun-menurun oleh orang tua. Salah satunya yang terkait
dengan Tahun Baru Imlek.
Hal yang sama
menimpa masyarakat atau bangsa Jepang, Korea, Mongolia, Manchuria dan Vietnam.
Meski bukan orang Tionghoa, karena terpengaruh ajaran agama Khonghucu, mereka
juga merayakan Tahun Baru Imlek meski dengan nama berbeda. Oleh karena tidaklah
tepat bila Imlek disebut sebagai hari raya budaya atau etnis. Apalagi Indonesia
Imlek juga dirayakan oleh suku-suku lainnya, yang kebetulan menganut agama
Khonghucu. Lagi pula, Xia Yu, sang pendiri Dinasti Xia, dinasti yang pertama
kali menggunakan Kalender Imlek, sejatinya berasal dari etnis proto Melayu,
nenek moyang bangsa Indonesia.
Makna
Politis
Sejak dahulu
Imlek seolah menjadi barometer politik. Ketika Dinasti Xia runtuh pada 1766 SM,
dinasti-dinasti sesudahnya tidak lagi menggunakan Kalender Imlek. Masing-masing
dinasti sesudahnya punya kalender tersendiri. Baru setelah Han Wu Di dari
dinasti Han menetapkan kembali penggunaannya dan menggunakan tahun kelahiran
Nabi Kongzi sebagai acuan dasar, dinasti-dinasti sesudah Han tidak lagi
menggunakan kalendernya sendiri.
Di Indonesia,
Imlek juga seakan menjadi barometer politik Negara pada agama Khonghucu dan
masyarakat Tionghoa. Ketika awal merdeka Imlek pernah menjadi hari raya fakultatif.
Kemudian harus dirayakan secara terbatas di lingkungan keluarga. Setelah
reformasi ditetapkan sebagai Hari Raya Nasional. Mudah-mudahan ke depan politik
diskriminasi hilang lenyap di Negara tercinta yang Bhinneka Tunggal Ika
berdasarkan Pancasila ini.
Makna
Bisnis
Kehidupan modern
tidak lepas dari pengaruh bisnis dan teknologi. Setiap hari raya keagamaan kini
tidak terbatas dirayakan oleh umatnya saja, namun juga dimanfaatkan banyak
orang untuk kepentingan bisnis, mulai dari pariwisata, entertainment sampai
perdagangan. Saat Idul Fitri (Islam), Natal (Kristen-Katolik) sampai Imlek
(Khonghucu), mal-mal ramai berhias. Bisnis menggeliat, harga-harga melambung
tinggi. Bukan mustahil suatu saat Nyepi (Hindu) dan Waisak (Buddha) juga
dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis.
Dan kalau sudah
demikian, maka kita tidak lagi bisa menbedakan suatu perayaan itu terkait
agama, budaya atau apapun namanya. Semuanya berwajah bisnis, yang menjadi roh
dunia modern.
Lantas
Maknanya Apa?
Tak ada gunanya
lagi memperdebatkan soal Imlek itu agama atau budaya. Sudah jelas rohnya adalah
agama (Khonghucu). Namun kini ia tidak lagi menjadi monopoli umat Khonghucu,
seperti halnya kita bersama menikmati Idul Fitri, Natal, Nyepi, Waisak dan
lainnya sebagai Hari Kebersamaan umat manusia. Kita masih banyak membutuhkan
hari-hari kebersamaan, agar wajah dunia tidak lagi tersekat-sekat secara
eksklusif. Maka marilah kita jadikan Idul Fitri, Natal, Nyepi, Waisak, Imlek
dan yang lain sebagai Hari Kebersamaan Umat Manusia, terlepas dari agama, ras,
budaya dan atribut-atribut lainnya.
Gong He Xin Xi,
Wan Shi Ru Yi. Salam bahagia di tahun, berlaksa perkara sesuai harapan.
Shanzai.
Sumber : Buku
Kenangan Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2563 Imlek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH