Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

BANGSA ASIA TIMUR DAN PLURALISME

Penulis : Rip Tockary

Akhir dasawarsa delapan puluhan, tidak lama setelah Vietnam berhasil mengusir Amerika dari Selatan, saya bersama rombongan terdiri dari rekan Mr.H.K.Koh (Singapura), Muhamad Hadi (Indonesia), Leon Olson (Amerika) berkunjung ke Republik Rakyat Vietnam atas undangan dari Hano Agriculture University. Waktu itu saya seorang Research Scholar dari National University of Singapore. Walaupun negeri Vietnam masih berantakan dan kondisi rakyat masih diliputi keprihatinan, tapi mereka sudah mula membuka diri. Jika di Soviet dikenal Glasnost dan Perestroika maka di negeri ini ada Duo Moi artinya sama yakni politik pintu terbuka. Memang tidak mungkin bangsa manapun juga bisa mengasingkan diri dan tidak mau bergaul dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Sengaja kami tidak terbang langsung ke Hano ibukota Vietnam Utara, kami mendarat di Ho Chi Minh City (dulu Saigon), dari sana kami melakukan perjalanan darat menuju Hanoi di Utara. Tujuannya kami ingin melihat keadaan sosial bangsa Vietnam pasca perang. Hampir di setiap tempat kami istirahat kami bertemu dengan orang cacat baik karena kehilangan kaki atau luka terkena ledakan ranjau. Saya masih ingat satu US $ bisa ditukar dengan uang Vietnam 10,000 Dong, konon di pasar gelap bisa mencapai 14,000. tidak sebagaimana di Republik Rakyat China, di Vietnam tidak dikenail FEC (Foreign Exchange Certificate) dan Renmimbi, tetapi kam diminta terus menggunakan dollar kami.
Sepanjang jalan saya mengamati pertanian di negeri itu, luar biasa, jika antara tahun 1975 (setelah merdeka) hingga awal tahun 1980 mereka masih meminjam beras dari Indonesia, tahun berikutnya mereka sudah swasembada, beberapa tahun kemudian mereka mulai mengekspor beras dan kini Vietnam adalah negera pengekspor beras terbesar di dunia mengalahkan Thailand. Sementara negeri kita menjadi pengimpor beras terbesar di dunia. Petani Vietnam bekerja keras, ketika sang istri menuai gabah, sang suami pada saat bersamaan mengolah tanah untuk periode berikutnya. Mereka menanam pada lima kali dalam dua tahun.
Sambil menunggu tanaman tumbuh, mereka mengepal-ngepal batu bara muda untuk masak di dapur sedang batu bara tua disimpan untuk mesin pengering, tidak ada waktu menganggur. Lebih heran lagi para petani memandikan tanaman kopi atau karet agar tanaman bebas dari lumut dan cendawan. Tidak heran jika durian mereka bersih-bersih, sementara tanaman kopi di Sumatera dibiarkan bersaing dengan lalang, jangankan dicuci dilihat pun setahun sekali. Ini sebabnya mengapa ekspor kopi kita sekarang jauh tertinggal dari Vietnam.
Vietnam adalah bangsa yang sangat mengalami proses sinifikasi (penyerapan budaya Tiongkok). Agama Ru (Agama Khonghucu) mulai memasuki tanah Vietnam pada masa Dinasti Han, tidak lama setelah itu agama Buddha turut masuk. Bersama agama Tao, ketiga agama itu membentuk watak dasar dari bangsa Vietnam. Sebagaimana bangsa Hua, Korea dan Jepang, mereka sangat memuliakan leluhur (Zong Jiao).
Disana pun dikenal konsep Tridharma yang mulai muncul pada zaman dinasti Song (abad ke 9). Tridharma memayungi tiga agama yakni Buddhisme (Fo Jiao), Ru Jiao (agama Khonghucu) dan Taoisme (Doa Jiao). Banyak fihak salah faham, terus terang termasuk pengikutnya, konsep ini memberi kesan bahwa seseorang menganut tiga agama sekaligus prakteknya sangat sinkretik. Padahal tidak demikian. Memang pada dinasti sebelumnya yakni Tang, mulai ada friksi antara Buddhisme, Daoisme dan Ruisme. Banyak tokoh Khonghucu yang terpaksa menyingkir ke Vietnam, Laos bahkan Thailand, untuk menghindari istana Tang yang ketika itu dikuasai rahib Buddhisme, akibatnya negara banyak kehilangan kaum cendikia yang notabene pengikut Ru Jiao Konfusian. Konsep Tridharma dilandasi semangat untuk memberi ruang kepada yang lain. Masing-masing agama mempunyai doktrin yang berbeda.
Jika saja waktu itu agama lain seperti Islam dan Kristen sudah berkembang maka dapat dipastikan akan muncul Panca Dharma. Di Vietnam ada gerakan Cao Dai, dimana seluruh agama disatukan termasuk Khatolik. Konsep inilah yang menyelamatkan Asia Timur dari perseteruan antar agama yang banyak terjadi di banyak negeri, termasuk Indonesia. Di Jepang seorang Buddhis bisa sekaligus menjadi seorang Shinto (Shendao), mengapa tidak?
Terus terang saja kultur spiritual bangsa Asia Timur secara diametral berbeda dengan agama dari kawasan Timur Tengah, dimana satu agama menafikan agama yang lain, kelahiran agama Kristen konon membatalkan kesahihkan agama Yahudi demikian juga datangnya Islam membatalkan agama Kristen dan Yahudi. Sedang antara aliran dalam agama yang sama saja bisa bertabrakan. Misalnya antara Khatolik dan Protestan, antara Suni dan Syiah.
Konsep Dao dan Jiao
Dao adalah veritas, kebenaran yang melingkupi semuanya. Manusia hanya mampu menangkap apa yang bisa ditangkap. Yang bisa ditangkap itulah Jiao, atau apa yang lazim kita kenal sebagai agama. Tidak ada yang sanggup menangkap semua kebenaran, karena Dao itu tidak terbatas. Itu sebabnya agama berada pada ranah relatif. Mengapa karena agama itu tertaut faktor waktu, budaya dan geografi, ia adalah kebenaran (dalam huruf kecil), ia adalah rightness yang manusiawi. Dao dapat diibaratkan payung, dibawahnya tergantung warna warni agama entah itu Yuda Jiao, Fo Jiao, Yesu Citu Jiao dan entah apa lagi.
Menarik untuk dicatat faham dari Zhuang zi, yang hidup sezaman dengan Meng zi, katanya segala perbedaan itu justru saling melengkapi. Ibarat roda pedati, satu titik bisa saja berbeda, bahkan bisa berseberangan. Manakala kedua titik itu makin mendekat pada pusatnya maka perbedaan itu menjadi tidak seberapa. Bahkan pada suatu posisi yang paling dekat keduanya melebur menjadi satu, perbedaan menjadi tidak relevan. Jadi jika kita berjauhan dengan sang Maha Sumber kita akan merasa berbeda, bila kita semakin mendekati sang Khalik maka perbedaan itu menjadi tiada, keduanya bahkan saling meneguhkan.
Saya ingin sedikit menyinggung konsep Tuhan. Ada sementara orang yang melihat Tuhan sebagai personal. Adakah itu bertabrakan dengan Tuhan sebagai suatu kuasa (dunamis) yang impersonal, yang tidak berujud dan berbentuk? Konsep pertama adalah Shangdi yang imanen yang selalu hadir dan yang kedua adalah Tian yang transenden, yang maha tidak terjangkau? Bukankah keduanya itu menjadi benar ketika konsep itu melebur karena Tuhan itu sekaligus dekat dan pada saat yang bersamaan maha tidak terjangkau? Mungkin ini maksud dari Zhuang zi.
Tidak ada Kekafiran
Jiao adalah derivat yang bersumber pada Dao sang absolut. Mengapa kita membuang nyawa untuk mengklaim yang tidak mungkin kita kuasai sendiri? Hakikat Tuhan adalah merangkum semua, membagi rahmatnya kepada semua, tidak terkecuali. Adakah kaum yang tidak kebagian sinar matahari, adakah kaum yang tidak diberi rezeki? Bangsa Asia diberi beras, bangsa Eropa diberi gandum, bangsa Amerika diberi jagung dan Pasifik diberi talas, toh semuanya adalah sumber energi karbohdirat yang setelah diolah menjadi glukosa yang sama. Jalan Tuhan (Tian Dao) adalah kasih untuk semua sedang Jalan Manusia (Ren Dao) adalah kasih untuk kaumku saja bahkan untuk diri sendiri saja.
Ru Jiao (agama Khonghucu) tidak mengenal konsep kafir karena tiada seorang pun yang lahir tidak beriman. Persoalannya adakah imanmu itu berkembang? Justru agama itu fungsi dasariahnya untuk mengembangkan fitrah atau sebut saja watak sejati atau ben xing. Ibadah yang sejati adalah mengembangkan kemanusiaan kita dalam segala aspeknya. Agama adalah wahana, dia adalah pedoman bagi kita untuk meniti hidup ini agar kita selamat sampai ke seberang sana. Agama bukanlah partai politik yang benderanya harus selalu kita kibarkan yang slogannya harus kita pekikkan. Agama untuk manusia bukan sebaliknya. Tidak boleh ada satu jiwa pun yang harus mati demi menegakkan agama, sebab agama itu untuk manusia lah? Mengapa harus ada yang mati ?
Mengapa agama menjadi alasan atau motivasi untuk membunuh sesama manusia? Ini bertabrakan dengan akal sehat. Syukur agama Ru Jiao tidak mengenal perang suci atau perlu membentuk laskar untuk perang agama.
Dao tidak bertepi
Lu Kun adalah seorang tokoh Konfusian dari zaman dinasti Ming. Di zamannya sudah ada semangat pluralisme. Ia mengamini kata-kata Zeng zi bahwa di Empat penjuru lautan manusia itu bersaudara. Yah, Dao itu tidak bertepi karena ia melingkupi semua. Kebenaran itu turun pada semua hati nurani manusia, pada segala bangsa disegala ruang waktu. Saya teringat kata-kata mutiara, “barang siapa yang sudah tiba pada jantung agamanya ia pun tiba di jantung agama yang lain”. Tidak ada urgensinya lagi untuk pindah agama. Karena agama Tuhan itu tidak bernama karena ia tertulis dikalbu manusia. Seorang agamawan sejati akan berkata, agamaku benar maka saya berharap agama anda pun benar juga karena itu marilah kita sama-sama berjalan dalam kebenaran menuju sang Benar, tujuan kita bersama, karena kita ini semua adalah umat dari Tuhan yang satu. Kita adalah buah dari pohon yang sama. Kasih sayang kita hendaknya melintasi batas-batas agama, etnisitas dan geografi. Bukankah kasih Tuhan itu begitu ?
Beragama adalah totalitas
Beragama bukan sekedar beribadah atau melakukan ritual (Li) bukan juga sekedar masalah etika dan moral, tetapi mengembangkan seluruh dimensi kemanusiaan kita. Ya membangun jiwanya, ya membangun badannya. Itu sebabnya dalam praktek pesantren oriental ada latihan menunggang kuda, ada latihan memanah, bahkan latihan bela diri. Tidak itu saja, tetapi juga belajar matematika, hukum dan administrasi negara. Para santri dari pedepokan Khonghucu juga belajar bercocok tanam dan mengatur irigasi. Itulah budaya yang mendasari negara seperti Vietnam, Taiwan, Korea dan Jepang. Itu pula sebabnya mengapa dasar negara mereka teguh hingga ke tiang pancangnya. Dalam terminologi sekarang menguasai ilmu dan teknologi. Adakah hal ini juga mengilhami pada generasi muda konfusian di Indonesia? Entahlah! Belajar dan terus belajar justru itu esensi ibadah kita.
Rakyat Kuang dan Keteguhan Iman
Ketika Nabi Kong zi pernah ditahan bahkan hendak dibunuh oleh rakyat Kuang konon profil Nabi Kong zi mirip dengan seorang pembesar Huan Tui yang menzholimi rakyat, Nabi Kong zi malah asyik mengajar murid-muridnya. Keteguhan imannya membuat ia tidak gentar melihat tombak dan golok yang ingin melumatnya. Mengapa? Karena ia yakin sedang melaksanakan kehendak Tuhannya yakni menyelamatkan umat manusia. Ujarnya jika Tian menghendaki ajaran ini bisa hancur lebur, tetapi buktinya kita masih mewarisi ajaran luhur ini.
Kita pun wajib demikian, tekanan pemerintah untuk tidak hendak mengakui ajaran ini, tekanan kaum agama lain yang tidak mau melihat perkembangan agama ini seharusnya malah meneguhkan iman kita. Kita tidak boleh terus menyesali keadaan dan menjadi terlalu perasa dan mudah tersinggung. Sebaliknya justru harus membuat kita lebih tekun membina diri. Tian menghendaki kita memelihara nyala api kebenaran itu agar ajaran ini terus berkekalan. Lantas apa yang orang dapat lakukan? Tantangan generasi muda adalah bagaimana membawa nyala api ini melewati abad ini. Artinya bagaimana membuat ajaran ini tetap relevan bagi generasi mendatang. Ya, semoga saja dan kita semua yakin tentu akan bisa.

1 komentar:

  1. Blog yang sangat bagus isinya dan pasti banyak memberikan manfaat bagi para pengunjungnya.
    Saya juga mengelola website mengenai budaya, sejarah dan tradisi Tionghoa yang beralamat di http://www.tionghoa.com
    Jika diperkenankan, tentunya saling tukar link antara website ini dengan Tionghoa.com akan memberikan manfaat yang lebih besar.
    Karena tidak ada kolom email di komentar, maka kami bisa dihubungi pada:
    http://www.tionghoa.com/hubungi-kami/
    Xie Xie

    BalasHapus

TERIMA KASIH