Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Kisah Ibu Tiri Zaman Tiongkok Kuno

Penulis : Feng Meng Long (1574-1646)
Bersama sampai hari tua,
Putra-putri mereka baik-baik dan menikah,
Hidup sampai melihat cucu berjalan
Ini adalah harapan setiap pasangan, jika terwujud,
Akan membuat mereka tenang setelah mati.
Jika terjadi sesuatu pada istri, semua akan percuma!
Dengan hati lebih beracun dari ular dan kalajengking,
Si ibu tiri meracuni jiwa sang suami.
Dia mencintai anak-anaknya sendiri;
Sedang anak almarhum istri pertama diperlakukan bagai sampah.
Dia tak menyediakan makanan dan teh.
Dengan rambut berantakan dan wajah kotor, mereka menangis.
Ingatkah bagaimana Shun menangis setiap hari di Gunung Li,
Dan bagaimana Min Ziqian mengenakan bunga di musim dingin?

Baris di atas menunjukkan bahwa, betapa pun kejamnya ibu tiri, mereka mencintai anak-anak lebih dari mutiara. Tapi ini hanyalah sifat alami manusia. Apa yang membuat geram adalah cara mereka menyiksa anak-anak tiri mereka, menganggap mereka seperti sampah. Jika anak-anak tiri tersebut telah berusia 15-16 tahun, mereka tak takut apa pun. Betapa pun buruk mereka diperlakukan, tak lama lagi mereka akan menjadi dewasa. Yang paling kasihan adalah anak-anak kecil di bawah 10 tahun. Tapi mereka bisa dibagi menjadi 3 golongan. Apa sajakah itu ?

Anak-anak dari golongan pertama adalah mereka yang berasal dari keluarga kaya. Mereka dibesarkan dengan pengasuh dan pelayan, dan disekolahkan pada usia 5-6 tahun. Apalagi, dengan adanya pengawasan  dari banyak anggota keluarga dan pelayan di sekitar rumah, ibu tiri yang takut digunjingkan tak berani mencoba untuk menyiksa anak tiri mereka, walaupun hanya pura-pura. Tapi jika para wanita seperti ini memiliki anak kandung dan tak ingin warisan jatuh ke tangan anak tiri, mereka akan memilih untuk menyingkirkan semua penghalang untuk selamanya. Ada sebuah puisi sebagai saksi:

Betapa menyedihkan, ibu tiri Shun berencana membunuhnya;
Shensheng difitnah; Boqi diusir.
Dunia dipenuhi ibu tiri yang senang melakukan kejahatan;
Hanya ada sedikit suami yang berani melakukan hal yang benar.

Golongan kedua adalah anak-anak dari keluarga menengah terhormat. Namun mereka mungkin tak memiliki pengasuh atau pelayan sehingga terpaksa diasuh oleh si ibu tiri. Siksaan tak bisa dihindari. Jika sang ayah adalah orang yang tegas, dia akan melawan istrinya dan melindungi anak-anaknya dari siksaan. Ada juga ibu tiri yang mengancam anak-anak tirinya di belakang sang suami karena takut padanya. Tapi jika si wanita tak takut pada apa pun dan suka bertengkar, dia akan mengancam untuk bunuh diri dengan pisau atau menerjunkan diri ke sumur untuk menakut-nakuti sang suami. Namun sering kali yang awalnya hanya gertakan bisa berakhir menjadi tragedi, dan bahkan harta keluarga pun bisa lenyap. Seperti kata pepatah, “Tak ada obat yang bisa menyembuhkan anak durhaka dan istri yang jahat”. Kalau kalian kebetulan mendapat istri seperti itu, kalian pasti akan terjebak dalam keadaan yang mengerikan setiap hari. Setelah beberapa percekcokan dengannya tanpa kemenangan, kalian tak punya pilihan kecuali menutup mata dan telinga, menelan keadaan tersebut. Beberapa lelaki lalu memberikan anak mereka untuk diadopsi; beberapa menyerahkannya pada paman atau sepupu mereka. Golongan ini adalah lelaki yang berani dan bermoral.

Namun ada juga lelaki yang kejam dan tak tahu berterima kasih. Dia mungkin melimpahkan kasih sayang pada istri dan anaknya, namun setelah sang istri meninggal, dia menikahi wanita lain bukan karena mas kawin yang besar, namun lebih karena nafsu akan kecantikannya. Dan sang istri mungkin jauh lebih muda dari usia sang suami yang sudah 50-an. Karena tergila-gila pada istri barunya, dia menyingkirkan semua kenangan dan cinta terhadap almarhum istri pertama dan mulai menganggap anak-anaknya sebagai duri dalam daging. Saat anak-anaknya dimarahi dan dipukuli, dia bukannya membela, malah ikut menambahi untuk mengambil hati istri barunya. Sering kali, anak-anak istri kedua telah menikah, namun putra dari almarhum istri pertama masih membujang. Untuk menenangkan opini masyarakat, pasangan tersebut akan menikahkan si anak pada calon yang pertama. Si ibu tiri lalu akan mengutuk pernikahan anak tirinya, menyumpahi menantunya, dan memaksa sang suami untuk melaporkan anak dan menantunya pada yang berwajib dengan tuduhan tak berbakti, lalu mengusir mereka dari rumah.

Dari anak-anak tersebut, anak perempuan lebih menderita. Setelah dipukuli, anak lelaki bisa menyibukkan diri dengan pelajarannya ataupun bermain-main dengan anak tetangga untuk sejenak melupakan penderitaannya. Namun anak perempuan tak bisa keluar rumah dan harus tinggal dengan wanita iblis itu tanpa bisa tenang sejenak pun. Setiap hari dia harus menyelesaikan sejumlah pekerjaan menjahit. Jika gagal memenuhi kuota, dia akan terkena hukuman. Jika berhasil, tetap saja sang ibu tiri akan mencari-cari kesalahan. Jika si ibu tiri melahirkan anak, kondisi itu akan menjadi beban si gadis, mengasuh adik tirinya dari pagi sampai malam. Menurut sang ibu tiri, kalau anaknya menangis, itu karena si gadis lalai dan menyiksa si bayi. Kalau bayinya digigit nyamuk, pastilah si gadis yang menaruh nyamuk itu. Ada lagi; di musim dingin yang menusuk tulang, si gadis harus mencuci pakaian lewat sebuah lubang die s dan setelah itu dimaki karena dianggap tak cukup banyak mencuci. Saat mencapai usia 15-16 tahun, siksaannya lebih besar lagi, dia dituduh menyukai lelaki atau terobsesi  dengan pernikahan. Kasihan sekali para gadis yang tak bisa mengadu dan terpaksa menelan penderitaannya dalam-dalam! Jika dia ketahuan mengadu, maka dia akan dituduh berpura-pura untuk mendapatkan simpati. Ada banyak sekali gadis malang seperti itu, dipermalukan dan dihancurkan oleh penderitaan dan ancaman, yang akhirnya bunuh diri.
Ada puisi sebagai saksi:
Suami yang penurut kehilangan wewenangnya
Dan membiarkan istri kedua bertingkah semaunya.
Dia membiarkan anak kandungnya disiksa;
Hatinya terluka, tapi dia tak berani berkata apa pun.

Di golongan ketiga ada orangtua yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Walaupun sang ibu masih hidup, anak-anaknya kelaparan dan kedinginan. Mereka tak memiliki makanan dan pakaian yang layak. Saat berusia 10 tahun, mereka diminta membantu kebutuhan keluarga. Kehadiran ibu tiri yang kejam hanya menambah penderitaan mereka. Mereka tak tahu kapan mendapat makanan, dan harus bisa menahan rasa lapar. Walaupun mereka hanya ingin setetes  air panas atau minum, mereka tetap harus minta izin lebih dulu dan tak berani mengambil sendiri. Mereka hanya mengenakan baju compang-camping yang tak bisa menahan rasa dingin, namun mereka tak berani mengeluh di hadapan ibu tiri mereka. Rambut mereka jarang disisir. Mereka menyimpul rambut mereka, namun sering kali simpul tersebut lepas dan rambut mereka menutupi muka. Kaki mereka tak mengenakan sepatu atau kaus kaki. Sandal jerami sudah merupakan barang mewah untuk mereka. Membelah dan mencari kayu bakar serta membawa air adalah tugas mereka. Jika sang ibu tiri merasa tak puas, dia akan memukul dan menendang, kadang bahkan memukul dengan tongkat. Begitu seringnya mereka dimarahi sehingga mereka menganggap itu sebagai selingan hidup. Pada saat mereka cukup besar untuk memanggul sesuatu, mereka dipaksa untuk mendapatkan sejumlah uang setiap harinya. Jika kurang satu sen pun, mereka dipukuli sampai setengah mati. Seorang ibu tiri yang mencoba membujuk sang suami untuk menjual anak mereka sebagai pelayan malah menguntungkan bagi si anak dan memberi pahala untuk sang ibu di akhirat. Dalam keluarga miskin yang mempunyai ibu tiri, 9 dari 10 anak disiksa sampai mati, seperti tertulis dalam puisi berikut : 

Anak-anak dari keluarga miskin hidup susah;
Sang ibu tiri menambah penderitaan mereka.
Dipukuli, dimaki, kelaparan dan kedinginan,
Namun di depan umum, mereka memanggilnya Ibu. 
print this page Print this page

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH