Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Gerobakku, Rumahku

Oleh : Jende Munthe
"Jadi, anak saya ini sudah empat bulan tidur di gerobak seperti ini. Saya sebenarnya tidak tega, apalagi istri saya juga sakit-sakitan. Tapi apa daya, kemampuan ekonomi saya hanya segitu."

Seorang bayi mungil terlelap di persimpangan Jalan Pisangan Baru Timur VII. Pisangan baru, Matraman. Persis di kolong jembatan Jatinegara, Jakarta Timur. Karpet lusuh berwarna biru menjadi satu-satunya alas yang melindung bayi berusia satu tahun delapan bulan itu dari tanah lembab malam hari. Sesekali bayi bernama Mohamad Faisal itu membalikkan  badan mencari posisi tidur paling nyaman untuknya.

Di sekitar Faisal, beberapa gerobak pemulung berbaris menutupi barang-barang bekas berupa botol dan gelas plastik air mineral. Namun, situasi itu sepertinya tidak mengganggu tidurnya yang lelap.  Bahkan suara kereta api yang melintas tak jauh dari tempatnya tertidur seolah tak mampu membuatnya terjaga . Bagaimana pun nyamannya ia tertidur, dinginnya udara malam dan debu yang berterbangan bisa saja menganggu kesehatan Faisal.

Malam semakin larut dan udara semakin dingin, ibu sang bayi, Sartika,  menggendong Faisal dan memindahkannya ke dalam sebuah gerobak berukuran sekitar 2 X 1,5 meter. Faisal pun tetap terlelap, meski gerobak kecil itu terlihat sempit dan sesak untuknya. Sartika tetap duduk di samping gerobak sambil memandangi putra semata wayangnya itu.

"Sudah malam, udaranya dingin, jadi lebih baik di gerobak. Tiap malam memang dia  tidur di dalam gerobak sama saya." ujar Sartika kepada SH, Minggu (20/10) malam. Perempuan berusia 31 tahun ini mengatakan gerobak itu satu-satunya tempat berlindung yang mereka miliki dari dinginnya malam atau teriknya matahari, bahkan dari derasnya hujan.

"Ya, memang, di dalam sempit, bahkan ayahnya terpaksa tidur di luar gerobak. Karena tidak muat kalau kita semua tidur di dalam gerobak. Tapi intinya saya tetap bisa menemani Faisal tidur, sambil memberi dia ASI (air susu ibu)," ungkap Sartika.

Ia melanjutkan, situasi seperti itu terpaksa mereka jalani lantaran penghasilan sebagai pemulung yang ia jalani bersama sang suami hanya cukup untuk sekadar bertahan hidup. Sartika  berujar, besar keinginannya untuk hidup layak dengan tempat tinggal nyaman dan terlindung dari debu malam. Namun apa daya, kemampuan ekonomi yang benar-benar terbatas membuat mereka tak punya pilihan selain. tetap tinggal di gerobak. Menurut dia, satu-satunya  yang bisa diupayakan untuk memberi yang terbaik kepada bayinya adalah tetap memberikannya ASI sebagai asupan gizi. Untuk makanan selain diberi bubur bayi sesekali Faisal juga diberi makanan orang dewasa, seperti nasi dengan lauk pauk.

Sakit Pernapasan
Malangnya, sang ibu kini mengalami sakit pernapasan. Beberapa kali Sartika harus meninggalkan gerobak karena batuk dan muntah-muntah. Parahnya lagi, penyakit tersebut sudah cukup lama ia derita, namun belum sekali pun memeriksakan diri ke rumah sakit.
"Sepertinya ada masalah dengan pernapasan saya, tapi karena nggak ada biaya, terpaksa saya tidak berobat." ucap Sartika. Ia berharap penyakitnya itu tidak menular atau berdampak pada kesehatan Faisal. Terlebih selama ini dia yang paling sering bersama Faisal, mengingat sang suami harus mengurusi barang-barang pulungan mereka.

Ayah Faisal, Umid Hermansyah, mengungkapkan menjadi pemulung dan hidup di jalan tanpa rumah sudah ia lakoni sejak kecil. Pria berusia 32 tahun itu mengaku sedih penderitaannya itu kini juga terpaksa dialami putranya. "Kalau saya mungkin sudah terbiasa, karena dari umur 10 tahun sudah hidup di jalanan Jakarta. Tanpa rumah, tanpa kehidupan layak, kasihan dia harus menjalani semua ini," ucap Umid dengan sedikit terbata.

Menurutnya, usaha memberikan kehidupan lebih layak bagi Faisal pernah ia coba dengan membawa Faisal tinggal di panti sosial kawasan Bulak Kapal, Bekasi, Jawa Barat. Selama di sana, Umid mengaku Faisal mendapat asupan makanan gizi dan perlindungan yang baik. "Selain saya dapat pelatihan, anak saya juga bisa dapat tempat tinggal yang layak. Tidak seperti sekarang ini," ungkap Umid.

Sayangnya, sesuai program pemerintah,mereka hanya dapat berada di sana selama enam sampai delapan bulan. Setelah itu mereka harus keluar dari panti dan berusaha hidup dengan kemampuannya yang ada. Tak mau anaknya yang masih berusia delapan bulan itu kembali berada di jalanan, dengan penghasilan dari hasil memulung ia mencoba mengontrak rumah di kawasan Pondok Gede, Bekasi.
"Saya mengontrak di Pondok Gede dan tetap memulung dan mengepul barang di kawasan ini," jelas Umid. Namun hal itu tidak dapat bertahan lama. Kondisi ekonomi yang terbatas membuatnya hanya bisa membayar kontrakan sampai enam bulan saja. Setelah itu, ia terpaksa merelakan anak istrinya kembali hidup di jalanan bersamanya.
"Jadi anak saya ini sudah empat bulan tidur di gerobak seperti ini. Saya sebenarnya tidak tega, apalagi istri saya juga sakit-sakitan. Tapi apa daya kemampuan ekonomi saya hanya segitu saja," papar Umid ia menambahkan meski sejak kecil sudah hidup di Jakarta sampai saat ini ia tidak memiliki KTP (kartu tanda penduduk) sama sekali. Hal  ini juga yang membuat situasi menjadi lebih buruk, karena tak  satu pun fasilitas  Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat ia rasakan.

Ia berharap dapat mengurus akta kelahiran untuk Faisal, karena saat anaknya lahir ia tidak memegang uang sepeser pun untuk mengurus administrasi akta kelahiran. "Saya nggak tahu bikin akta itu gratis atau tidak. Tapi karena tidak ada uang, saya takut ke kantor wali kota buat mengurusnya," ungkap Umid.
Akta kelahiran tersebut sangat ia butuhkan agar Faisal dapat mengenyam pendidikan di sekolah negeri yang bebas biaya. "Saya ingin anak saya sekolah, agar lebih baik dari orang tuanya. Sudah cukup kami yang besar di jalan. Faisal harus jadi orang, agar kelak, dia tidak menjadi seperti kami," ucap Umid.

Sumber Surat Kabar : Sinar Harapan, Jum'at, 25 Oktober 2013
print this page Print this page

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH