Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Konfusianisme dan Pancasila

Penulis : Satrio Wahono
Harta yang terdistribusi itu jauh lebih bermakna ketimbang harta yang menumpuk.
Warga keturunan Tionghoa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sedang bersuka ria menyambut hari raya Imlek yang mengantarkan datangnya tahun kuda kayu.


Secara khusus di Indonesia, ada satu lagi alasan mengapa hari raya para warga keturunan Tionghoa ini penting; yaitu betapa Konfusianisme atau Konghucu sebagai salah satu dari Sam Kauw alias tiga agama khas China—dua lagi adalah Buddha dan Tao—ternyata membekaskan jejak penting bagi konsepsi tatanan sosial ideal yang dicita-citakan dasar negara kita, Pancasila.

Memang, banyak orang lupa bahwa Pancasila sejatinya merupakan satu dasar negara yang meramu pelbagai budaya, paham, dan agama yang hidup di Indonesia, termasuk Konfusianisme.

Apalagi, Konfusianisme sudah dikenal di Indonesia sebelum abad ke-19. Bahkan, pada 1965, Bung Karno menerbitkan sebuah peraturan yang mengakui enam agama di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Hanya saja, pamor Konfusianisme mulai terkikis ketika rezim Soeharto pada akhir 1978 menerbitkan surat edaran menteri dalam negeri yang hanya mengakui lima agama dan mengecualikan Konghucu.

Alasan strategisnya kala itu adalah Konghucu dianggap salah satu faktor yang menghambat asimilasi warga keturunan Tionghoa di Indonesia (Leo Suryadinata, “Agama Konghucu dan Buddha Pasca-Soeharto”, dalam Setelah Air Mata Kering, Penerbit Kompas, 2010).

Untungnya, kondisi mulai berubah seiring datangnya reformasi. Bermula dari pernyataan lisan menteri agama pada masa Presiden BJ Habibie yang mengakui kembali Konghucu sebagai agama, penganut Konghucu kian bergembira setelah Presiden Abdurrahman Wahid pada 31 Mei 2000 melalui Menteri Agama Surjadi menerbitkan satu instruksi (Nomor 477/805/Sj) yang membatalkan surat edaran 1978 tadi. Selain itu, Gus Dur membatalkan Keputusan Presiden Nomor 14/1967 yang melarang orang Tionghoa merayakan hari raya mereka di tempat umum.

Selaras
Kinilah saat yang tepat untuk mengangkat kembali sumbangsih Konfusianisme terhadap konsepsi tatanan sosial ideal Pancasila. Merujuk Frans Magnis-Suseno dalam Filsafat Kebudayaan Politik (Gramedia, 1995), esensi Pancasila adalah keadilan.

Artinya, tatanan sosial ideal Indonesia haruslah satu tatanan adil yang memiliki nilai ketuhanan alias nilai moral, menganut prinsip kemanusiaan universal yang antidiskriminasi, menanamkan rasa cinta-bangsa, menjalankan mekanisme kedaulatan rakyat berdasarkan musyawarah mufakat, dan mengikis kesenjangan ekonomi sekaligus menjamin pemerataan kesejahteraan.

Beranjak dari sini, kita bisa melihat betapa selaras inti Pancasila itu dengan spirit Konfusianisme. Pertama, mengutip Konrad Kebung dalam Filsafat Berpikir Orang Timur (Prestasi, 2011), ajaran moral atau ketuhanan persis merupakan inti Konfusianisme. Tanpa moral yang baik, tidak akan ada manusia yang baik.

Kemudian, tanpa manusia-manusia yang baik, runtuhlah cita-cita membangun pemerintahan yang baik. Karena itu, penguasa harus menggunakan rasa moral guna menciptakan kesejahteraan bagi warganya.

Kedua, Konfusianisme mengajarkan konsep ren terkait cara pandang kemanusiaan ideal. Ren adalah kemanusiaan universal yang tidak memandang SARA. Menurut ren, manusia bisa disebut manusia jika ia mampu menjalin relasi dengan manusia lain.

Maka itu, jalinan relasi tersebut harus dibangun dengan sikap-sikap kejujuran, kebijaksanaan, kesetiakawanan, solidaritas, dan saling menghormati. Dengan kata lain, Konfusianisme menekankan pentingnya sesama manusia untuk bersikap toleran dan merasa diri sebagai satu kesatuan. Artinya, ini selaras dengan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan sila ketiga, Persatuan Indonesia, dalam Pancasila.

Ketiga, Konfusianisme terkait politik menyatakan bahwa negara harus dibangun berdasarkan negara-keluarga serta dijalankan secara hierarkis. Orang-orang berkedudukan lebih rendah harus patuh kepada sesepuhnya, sementara para sesepuh mesti menunjukkan respek dan kemurahan hati kepada orang berkedudukan lebih rendah sebagai balasannya.

Bahasa mudahnya, ajaran politik Konfusianisme memandang Negara sebagai Bapak, sementara rakyat merupakan anak. Karena itu, negara berkewajiban mengayomi rakyat dengan sebaik-baiknya, sementara tugas rakyat adalah mematuhi negara sepanjang negara berbuat benar.

Kembali, ini serupa dengan paham negara-integralistik yang digagas salah satu founding father kita, Soepomo. Merujuk Marsillam Simanjuntak (Paham Negara Integralistik, Grafiti, 1995), paham integralistik mengajarkan bahwa rakyat dan negara sebagai satu kesatuan (integralistik) tak terpisahkan. Inilah yang lantas mewujud dalam sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Artinya, demokrasi seperti ini tidak semata-mata menyerahkan kekuasaan kepada suara mayoritas (popular vote) seperti dalam demokrasi liberal. Demokrasi integralistik menginginkan satu prinsip daulat rakyat yang dibimbing oleh kepentingan negara secara keseluruhan—bukan kepentingan sempit orang per orang atau golongan—yang dimediasi oleh satu mekanisme bernama musyawarah mufakat.

Terakhir, Konfusianisme dari segi ekonomi menekankan pentingnya moralitas kedermawanan dalam rangka pemerataan kesejahteraan. Penelitian Fachrur Rozie (Seni Memberi dalam Chun Tzu, PIRAC, 2004), menunjukkan Konfusianisme mengajarkan bahwa harta yang terdistribusi itu jauh lebih bermakna ketimbang harta yang menumpuk.

Salah satu ciri orang yang berperi cinta kasih dalam konteks Konfusianisme adalah dia yang mampu mengembangkan diri dengan hartanya. Karena itu, kedermawanan sosial adalah sikap yang niscaya bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks ini, kedermawanan sosial bukan terbatas pada individu, tapi juga meluas pada negara. Maknanya, negara mengemban tanggung jawab untuk melakukan pengikisan kesenjangan sosial dan mengoptimalkan pemerataan kesejahteraan kepada seluruh warganya lewat berbagai mekanisme, seperti jaminan sosial dan subsidi. Nah, bukankah ini demikian selaras dengan sila ke-5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?

Akhirulkalam, kita bisa melihat betapa signifikan jejak Konfusianisme dalam Pancasila. Ini tentu wajar mengingat Konfusianisme telah hidup di negeri ini begitu lama. Tinggal, bagaimana kita menggali relevansi ajaran itu di tengah momentum Imlek sebagai panduan membangun tatanan sosial ideal sebagaimana dicita-citakan Pancasila. Semoga!

*Penulis adalah pengajar Filsafat Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasila 

Sumber : Surat Kabar Sinar Harapan 1-2 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH