Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Konsep Negara Hukum dan Demokrasi Dalam Ajaran Confucius

Penulis : Catherine Natalia,SH.,M.H.
Kata “negara hukum” atau rechtsstaat muncul sekitar akhir abad ke-18. Dalam rechtsstaat, dasar kewibawaan negara diletakkan pada hukum, dan penyelenggaraan kewibawaan kenegaraan dalam segala bentuknya, ditempatkan di bawah kekuasaan hukum.

Menurut Carl Schmitt, Rechtsstaat mengandung dua unsur, yakni hak asasi dan pembagian kekuasaan. Penguasa harus menghormati unsur pertama. Untuk memperkuat unsur pertama, kekuasaan negara tak boleh berada di dalam satu tangan tapi harus dibagi-bagi satu sama lain saling mengawasi supaya ada kontrol.


Robert Von Mohl menyatakan Rechtsstaat mengandung unsur persamaan di depan hukum, dapatnya setiap orang mempertahankan diri dalam semua situasi layak, adanya kesempatan sama bagi warga negara yang berhak untuk mencapai semua jabatan kenegaraan, dan adanya kebebasan pribadi.

Di Inggris istilah Rechtsstaat diterjemahkan menjadi State Governed by Law atau State Ruled by Law, penerjemahan istilah ini sesuai dengan istilah yang dipakai di Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu negara berdasar atas hukum.

Pengertian demokrasi menurut arti katanya adalah pemerintahan oleh rakyat (demos=rakyat), kratos=pemerintahan). Konsep ini ditumbuhkan pertama kali dalam praktek negara-kota Yunani dan Athena (450 SM dan 350 SM). Pada tahun 431 SM, Pericles seorang negarawan dari Athena, mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria :
  1. Pemerintahan oleh dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung
  2. Kesamaan di depan umum
  3. Pluralisme yaitu penghargaaan atas semua bakat, minat, keinginan pandangan dan
  4. Penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual
Aristoteles mengemukakan demokrasi sebagai salah satu dari tiga macam bentuk negara ideal. Menurut Aristoteles, tiga macam bentuk negara ideal adalah monarki, aristokrasi dan demokrasi. Dalam negara demokrasi rakyat menentukan kemauannya sendiri sehingga disebut kesamaan dalam kemerdekaan.


Prinsip demokrasi ini diangkat lagi dalam pidato Abraham Lincoln di Gettysburg yang mengatakan, “....and that government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.”

KONSEP CONFUCIUS (NABI AGUNG KONG ZI)
Sekitar satu abad sebelum konsep demokrasi dipraktekkan di negara-kota Yunani dan Athena, di negeri Tiongkok, telah ada suatu konsep tentang negara, pemerintahan, rakyat yang diajarkan oleh Confucius.


Ajaran utama Confucius yang terdapat dalam Kitab Lun yu tertuju pada manusia. Menurut Confucius, kodrat manusia tak terpisahkan dari alam semesta. Alam semesta diselidiki oleh manusia bukan untuk dikuasai, melainkan untuk dipahami hubungannya dengan diri manusia. Yang penting bukanlah menguasai alam, tetapi menguasai manusia agar tindakannya sesuai dengan alam. Manusia harus berhubungan dengan alam secara indah dan harmonis.

Confucius memperkenalkan manusia sempurna atau manusia budiman yang dirumuskan dengan istilah  Chun-tzu. Pada intinya manusia budiman adalah seorang yang memiliki cinta kasih terhadap sesama manusia, berbudi luhur, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, kesusilaan, dapat dipercaya, konsisten dengan kata-katanya, setia, bertenggang rasa, memuliakan takdir Tuhan, memuliakan orang-orang besar, memuliakan sabda luhur para nabi dan mengutamakan kepentingan umum.

Yang menjadi dasar kehidupan negara, pemerintah, dan rakyat bukanlah hukum, namun kesusilaan / kebajikan, seperti ternyata dari perkataannya, “Seorang pemimpin yang mengatur negara harus sanggup menaati aturan-aturan kesusilaan dan mempunyai kerendahan hati yang tulus”.

Confucius juga mengajarkan, “Seorang penguasa seharusnya mendasarkan pemerintahannya di atas prinsip-prinsip kebajikan, maka ia akan menjadi seperti bintang kutub, yang tetap setia di tempatnya, sementara semua kumpulan bintang menghadap ke arahnya.” Ini berarti Confucius percaya bahwa raja mempunyai peranan kosmis. Raja yang memerintah dengan kebajikan akan menjaga keharmonisan bukan saja di lingkungan manusia, tetapi juga di alam semesta.

Confucius berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang berhubungan antara manusia dan manusia lain harus diatur menurut kesusilaan (Li). Sebelum masa Confucius, Li berarti kurban dalam upacara persembahan untuk memenuhi kehendak Tian. Oleh Confucius Li diperluas menjadi kesusilaan yang meliputi semua nilai-nilai etika, tata krama, budi pekerti, kesopanan, norma sosial, dan moral. 

HUKUM ADALAH NEGATIF
Confucius cenderung memandang negatif hukum dan proses pengadilan. “Ketika mendengar perkara (hukum), aku hanyalah seperti  orang  lain, tetapi apa yang perlu adalah mengusahakan supaya tidak ada proses pengadilan.”  Sikap menentang proses pengadilan terus menjadi ciri khas masyarakat Tiongkok, yang tampak dalam aturan marga. Namun sikap itu diperburuk kenyataan adanya perilaku memeras dari para polisi dan bawahan lainnya sehingga jauh lebih baik menyelesaikan perkara tanpa minta bantuan hukum

Pandangan Confucius menimbulkan pertentangan dengan para ahli hukum yang percaya bahwa masyarakat perlu dikontrol melalui ketakutan akan hukuman. Terhadap kritikan ini Confucius menjawab, “Memerintah hanya dengan undang-undang dan menempatkan segalanya demi ketertiban melalui penderitaan dan hukuman berarti menjadikan rakyat menghindar dan menghilangkan harga diri. Memerintah berdasarkan prinsip-prinsip kebajikan, dan menempatkan segalanya berdasarkan aturan-aturan kesusilaan tidak hanya menumbuhkan harga diri namun lebih jauh menjadikan rakyat berusaha hidup benar.”

Dengan demikian, Confucius berpendapat bahwa hukum hanya mengontrol melalui ketakutan akan hukuman dan tidak berperan dalam pembentukan kepribadian. Hukum tidak mendidik atau membetulkan atau menyumbang pada tujuan ajaran Confucius. Hukum tidak mempunyai sanksi ketuhanan dan dianggap buatan manusia, sewenang-wenang, dan lebih rendah daripada upacara keagamaan. Reputasi penegak hukumnya buruk dan menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat.

Penerapan ajaran Confucius oleh para kaisar atau penguasa Tiongkok, adalah dengan memberlakukan ketentuan bahwa aturan upacara keagamaan cocok untuk para bangsawan sedangkan hukum hanya harus diberlakukan terhadap rakyat jelata. Oleh karena itu, sepanjang sejarah kekaisaran Tiongkok, para pejabat, baik yang masih aktif maupun yang telah pensiun, menikmati jabatan yang sangat istimewa dalam perkara hukum. Suatu perbedaan yang berasal dari pemikiran bahwa rasa hormat orang berpendidikan harus cukup untuk menjamin bahwa ia menyesuaikan diri dengan tuntutan li (kesusilaan) dan tidak perlu dikontrol oleh ketakutan akan hukuman.

KONSEP DEMOKRASI
Konsepsi demokrasi dalam ajaran Confucius tak dalam bentuk pemerintahan yang dipilih oleh rakyat. Confucius mengakui bahwa pada awal pemerintahan, sebuah dinasti dianggap mempunyai bekal kebajikan atau pengaruh  moral (te) yang sangat besar sebagai akibat wajar dari kenyataan bahwa dinasti tersebut telah dipercaya memegang pemegang  Mandat dari Langit.

Menunjuk pada masa pemerintahan Raja Wen, Confucius bersabda bahwa kebajikan Raja Chou dapat dianggap sempurna. Bekal kebajikan ini  akan merosot pada saat dinasti tersebut mengalami kemunduran dan kehilangan kualitas moralnya. Oleh karena itu, doktrin Mandat dari Langit  membenarkan pemberontakan menggulingkan seorang penguasa yang tiran, misalnya ketika bangsa Manchu yang dipimpin oleh Nur Ha Ci dan anaknya, Abahai menggulingkan Dinasti Ming dan kemudian mendirikan Dinasti Ching.

Konsep demokrasi dalam hal partisipasi rakyat dalam pemerintah adalah apabila seseorang patuh kepada orang tua dan ramah terhadap sesama manusia. Dengan demikian, pelaksanaan kebajikan sosial dalam keluarga dengan sendirinya merupakan sumbangan nyata bagi pemerintahan. Kebajikan tersebut mendukung terciptanya keharmonisan sosial yang merupakan tujuan pemerintahan, karena keluarga adalah salah satu unit mikrokosmos yang menyusun makrokosmos negara. Bila marga ( clan )  memiliki aturan moral mereka masing-masing dan sebagian besar mampu menjaga ketertiban keluarga sendiri, tugas pemerintah menjaga ketentraman penduduk menjadi jauh lebih mudah. Ini merupakan wujud dogma kuno bahwa negara merupakan keluarga yang besar, dan kepercayaan bahwa kebajikan keluarga merupakan suatu bagian dari tatanan kosmik.

Pandangan Confucius lainnya yang bersifat  demokratis adalah mengenai pendidikan yang harus diberikan pada semua orang tanpa ada pembedaan kelas sosial. Ini merupakan  kritik terhadap sistem pendidikan yang berlaku di Tiongkok pada saat itu yang hanya diberikan kepada keluarga kerajaan dan para bangsawan.

Confucius mengajarkan bahwa seorang menteri selain harus setia terhada raja, namun tidak boeh menipu raja. “Kalau kebijaksanaan seorang raja itu buruk, dan tak ada seorang pun menentangnya, maka sikap pengecut itu cukup untuk menghancurkan sebuah negara.” Ini berarti seorang bawahan, demi cintanya kepada Negara, harus berani mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat sang penguasa.

Dengan demikian, jelas menurut Confucius, negara harus dibela melebihi raja atau kepentingan rakyat harus didahulukan daripada kepentingan raja.

Ajaran Confucius mengakar pada sejumlah intelektural Tiongkok dari zaman dahulu hingga kini. Tertanam keyakinan dan kesadaran bahwa ia harus “memprihatinkan negara dan memprihatinkan masyarakat”.  Semangat seperti ini memang dapat ditemukan di tempat lain, terutama di dunia ketiga. Tetapi yang membedakannya dengan di Tiongkok bukan hanya karena semangat itu telah muncul ribuan tahun yang silam, tetapi karena semangat itu berakar pada ajaran Confucius. Ia bukan reaksi terhadap kolonialisme, juga bukan pencerahan hasil didikan Barat.

Sumber : Media Perhimpunan INTI Suara Baru Edisi 19/IV/Jan-Feb 2008

2 komentar:

TERIMA KASIH