Dikisahkan Kembali Oleh : Tan Sudemi
Ketika Raja Suci Wen berkuasa, beliau dengan kesungguhan hati melindungi empat golongan manusia yaitu anak yatim, janda, duda dan orang yang hidup sebatang kara (tidak memiliki keturunan). ( Meng Zi IB,5:3 )
Ketika Raja Suci Wen berkuasa, beliau dengan kesungguhan hati melindungi empat golongan manusia yaitu anak yatim, janda, duda dan orang yang hidup sebatang kara (tidak memiliki keturunan). ( Meng Zi IB,5:3 )
Demikian juga
Raja Suci Shang Tang, ketika musim kemarau yang panjang mengakibatkan gagal
penen, rakyat banyak yang kelaparan. Rakyat meminta Raja Suci Shang Tang untuk
melakukan upacara pengorbanan manusia untuk meredakan kemarahan Tuhan. Namun apa
yang dilakukan Raja Suci Shang Tang, beliau memerintahkan perdana menterinya
untuk membuka gudang pangan bagi rakyat. Raja Suci Shang Tang memerintah dengan
adil dan bijaksana, beliau tidak mau menimpakan kesalahan ini kepada rakyatnya.
Raja Suci Shang Tang dan rakyatnya berdoa kepada Tian Yang Maha Esa untuk mohon
turun hujan, tapi sia-sia. Sekarang rakyatnya berkeluh untuk mengorbankan
manusia. “Tian ingin korban manusia!” rakyat berteriak.
“Baiklah”, kata
Raja Suci Shang Tang, “Kalian akan memperolehnya.” Beliau menentukan hari
pengorbanan dekat ibukota. Lautan manusia berkumpul, siapa yang mereka lihat,
tak lain adalah Raja Suci Shang Tang sendiri. Rakyat melihat dengan ternganga
ketika melihat Raja Suci Shang Tang turun, tengkurap dalam sujud dan berdoa,
“O, Tian, hamba sendiri telah berdosa kepada-Mu. Untuk kesalahan rakyat hamba,
kumpulkanlah pada pundak hamba. Letakkan marah-Mu kepada hamba sendiri, tetapi
bebaskanlah rakyat yang banyak.”
Saat itu ada
kilatan cahaya, diikuti oleh gumpalan awan. Hujan turun dengan deras dan
membasahi tanah kering. Tak lama sesudah musim kering panjang, Raja Suci Shang
Tang wafat.
Inilah adalah
contoh raja-raja suci yang sering dikisahkan Nabi Kongzi sebagai contoh teladan
untuk umat manusia. Mereka adalah orang yang berkuasa tetapi tidak pernah
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kesenangan dan kemakmuran diri mereka
sendiri. Mereka menganggap jabatan adalah amanat dan anugerah Tian Yang Maha
Esa, untuk memerintah dengan bijaksana dan mensejahterakan rakyatnya.
Orang-orang yang
kaya seperti Bill Gates pendiri dan pemilik Microsoft Corp yang hidup di zaman kita ini,
mendermakan uangnya jutaan dollar untuk pendidikan dan kesejahteraan masyarakat
di seluruh dunia setiap tahunnya. Kita mengganggap apa yang dilakukan pengusaha
kaya adalah hal yang hebat tapi itu biasa-biasa saja.
Tetapi apabila
ada orang miskin yang menyumbang namun hidupnya sendiri saja kekurangan, ia
adalah manusia yang ada di kerajaan langit yang di utus oleh Tian, untuk
mengajari diri kita senantiasa bersyukur dan selalu berbagi kepada sesama yang
hidupnya kekurangan.
Saat ini adalah
hari dan bulan yang baik, hari Jie Sie Siang Ang, menjelang Tahun Baru Imlek,
sebelum Co Kun Kong memberikan laporan kepada Tian Yang Maha Esa, sudahkan kita
berderma kepada kaum fakir miskin yang hidupnya jauh dari layak seperti kita
ini..?
Memang berbuat
baik, seseorang tidak harus menunggu kaya, sukses. Kita harus berbuat baik
kapan pun dan terhadap siapa pun.
Mari kita simak
kisah nyata Bai Fang Li, seorang tukang becak, orang miskin yang kaya, yang
mendermakan semua penghasilannya kepada anak yatim piatu di sebuah panti asuhan
di Tianjin China.
Namanya BAI FANG LI. Ia
adalah seorang tukang becak di Tianjin, China. Di sepanjang hidupnya, ia
mencari nafkah dengan mengayuh becak, memberi pelayanan kepada masyarakat yang
membutuhkan transportasi murah dari satu tempat ke tempat lain.
Bai Fang Li,
tukang becak yang dermawan, yang menjadi Penyumbang Ratusan Juta untuk
Yatim Piatu, tidak perlu membesar-besarkan sudah berapa banyak kita
menyumbang orang karena mungkin belum sebanding dengan apa yang sudah dilakukan
oleh Bai Fang Li ini. Kebanyakan dari kita menyumbang kalau sudah kelebihan
uang. Jika hidup pas-pasan keinginan menyumbang bahkan tak pernah ada.
Tubuhnya kecil, bahkan terlalu
kecil dibandingkan dengan sesama tukang becak lainnya. Namun, ia sangat energik dan antusias. Setiap hari ia
memulai rutinitasnya pada pukul 6 pagi, mengelilingi kota dengan becaknya untuk
mencari penumpang atau mengantar mereka ke tempat tujuannya. Ia bekerja
sepanjang hari, Bai Fang Li jarang pulang sebelum pukul 8 malam.
Semua
pelanggan menyukai Bai Fang Li karena ia ramah dan murah senyum. Ia tidak
pernah menentukan biaya yang harus dibayar oleh pelanggannya, tapi ia
bergantung pada kemurahan hati para pelanggan untuk membayar jasanya. Karena
hati yang baik, orang-orang lebih memilih untuk menggunakan jasanya lebih dari
yang lain. Banyak dari mereka yang bersedia untuk membayar lebih
daripada tarif biasanya. Mungkin juga ini karena mereka melihat
betapa keras ia, dengan tubuh kecilnya, harus mengayuh becak dengan susah payah
sampai napasnya terasa berat.
Bai Fang Li tinggal di sebuah gubuk tua reyot di daerah kumuh di kota Tianjin. Di dalam gubuk itu hanya ada satu ruangan dimana ia harus menyewa dan berbagi tempat bersama dengan beberapa orang tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itu pun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang dipakainya untuk tidur setelah seharian bekerja menarik becak. Di ruangan ini juga, ia hanya memiliki sebuah kotak kardus tua tempat ia menyimpan selimut tua miliknya yang sudah lusuh dan penuh jahitan. Ada juga piring dan cangkir kaleng, yang ditemukannya di tumpukan sampah di sekitar gubuk, yang dipakainya untuk makan dan minum. Di sudut pondok, ada sebuah lampu minyak untuk memberikan penerangan di malam hari.
Bai Fang Li tidak
memiliki keluarga atau kerabat di kota tempat tinggalnya. Orang-orang hanya
tahu bahwa ia datang dari kota lain. Namun, ia tidak pernah merasa kesepian
karena selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyukainya. Mereka
mencintainya karena sikap positif dan kemurahan hatinya. Dia membantu orang
yang membutuhkan bantuan, dan melakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan
imbalan apa pun.
Dari penghasilannya
sebagai tukang becak yang meskipun tidak seberapa, seharusnya ia mampu membeli
makanan dan pakaian yang lebih baik. Namun, ia malah menyumbangkan sebagian
besar penghasilannya untuk sebuah panti asuhan di Tianjin yang menangani lebih
dari 300 anak yatim piatu. Juga untuk sekolah yang dikelola oleh
panti asuhan tersebut .
Sebuah Peristiwa Yang
Membuat Hatinya Terharu
Bai Fang Li mulai
menyumbang untuk panti asuhan pada tahun 1986, yaitu di saat usianya mencapai
74 tahun. Ini adalah kisah bagaimana hatinya tersentuh dan bagaimana ia membuat
keputusan untuk melakukan apa yang telah ia lakukan sekarang.
Pada suatu hari Bai Fang
Li sedang beristirahat sejenak setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia
melihat di jalan, ada seorang anak laki-laki kurus berumur kira-kira enam tahun
sedang menawarkan bantuan kepada seorang wanita untuk membawakan belanjaannya.
Ia melihat anak kecil ini membawa tas belanjaan yang berat dengan susah payah,
tapi juga terlihat bersemangat untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Ada
senyum lebar terlukis di wajah anak itu ketika telah berhasil menyelesaikan
tugasnya dan menerima uang sebagai imbalan atas jasanya. Anak ini
mendongak ke langit menggumamkan sesuatu seolah-olah ia sedang berdoa dan
mengucap syukur atas berkat yang baru saja diterimanya. Bai Fang Li menyaksikan
anak itu membantu beberapa orang yang sedang berbelanja di pasar, dan setiap
kali menerima pembayaran atas jasanya, ia mendongak ke langit dan menggumamkan
sesuatu.
Kemudian, Bai Fang Li
melihat anak itu pergi ke tumpukan sampah dan menggali seolah mencari sesuatu.
Ketika behasil menemukan sepotong roti kotor, anak itu terlihat begitu senang.
Ia membersihkan roti itu sebaik-baiknya, lalu memakannya seolah-olah itu adalah
sepotong roti yang datang dari sorga. Hati Bai Fang Li sangat tersentuh dengan
apa yang dilihatnya. Ia mendekati anak itu dan menawarkan untuk berbagi makan
siang dengannya. Bai Fang Li bertanya mengapa anak itu tidak membeli makan
siang yang layak dengan uang yang diperoleh tadi. Anak itu berkata, "Saya
akan menggunakan uang itu untuk membeli makanan untuk adik-adik saya." Bai
Fang Li bertanya, "Di mana orang tuamu?" Anak itu menjawab,
"Orang tua saya sehari-hari bekerja sebagai pemulung di tempat pembuangan
sampah. Namun, semenjak satu bulan yang lalu, mereka menghilang dan saya belum
pernah melihat mereka lagi. Jadi, saya harus bekerja untuk menghidupi diri
sendiri dan juga kedua adik saya.."
Bai Fang Li meminta anak
itu untuk membawanya menemui saudara-saudara perempuannya. Bai Fang Li menangis
ketika melihat kedua gadis itu, berumur 5 dan 4 tahun. Gadis-gadis itu begitu
kotor dan kurus, dan pakaian mereka sangat lusuh dan kotor. Para tetangga tidak
peduli dengan kondisi ketiga anak itu karena mereka juga sedang berjuang untuk
mengatasi masalah kehidupan mereka sendiri.
Bai Fang Li membawa
ketiga anak itu ke sebuah panti asuhan di Tianjin. Dan mengatakan kepada
manajer panti asuhan bahwa ia akan memberikan uang yang didapatnya ke panti
asuhan untuk membantu anak-anak di sana mendapatkan makanan, perawatan dan
pendidikan yang layak. Sejak itu Bai Fang Li memutuskan untuk bekerja lebih
keras dan dengan tekad yang lebih dalam, mengayuh becak untuk mendapatkan uang
guna membantu anak-anak di panti asuhan. Ia mulai bekerja lebih awal dan pulang
terlambat untuk mendapatkan uang ekstra. Dari semua pendapatannya setiap hari,
ia menyisihkan sedikit untuk membayar sewa gubuk kecilnya. Kadang-kadang untuk
membeli sedikit makanan. Sisa pendapatan disumbangkannya semua ke panti asuhan
untuk membantu mereka memberi makan dan merawat anak-anak.
Ia sangat senang melakukan semua hal ini meskipun dengan segala keterbatasannya. Ia justru merasa bahwa adalah sebuah kemewahan bahwa ia masih punya tempat tinggal, makanan untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, meskipun pakaian itu ia dapat dengan memulung dari tempat pembuangan sampah. Ia selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya.
Bai Fang Li tidak pernah libur, ia bekerja sebagai tukang becak 365 hari
setahun, tanpa mempedulikan cuaca, ia tetap bekerja meskipun hawa dingin di
saat turun salju atau ketika matahari bersinar sangat terik dan panas. Ketika
ditanya mengapa ia bersedia mengorbankan begitu banyak, ia selalu berkata,
"Saya selalu merasa menyesal bahwa saya bodoh dan tidak berpendidikan,
tidak masalah kalau saya menderita, asalkan anak-anak itu memiliki sesuatu
untuk dimakan dan dapat memiliki pendidikan yang layak untuk masa depannya
nanti. Saya merasa bahagia dengan melakukan.
Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang tinggi yang tak terperikan.
Memberi Tanpa Pamrih
Bai Fang Li mulai
memberikan sumbangan kepada panti asuhan sejak 1986. Ia tidak pernah meminta
imbalan apa pun. Ia bahkan tidak tahu anak yang mana yang diuntungkan dari
sumbangannya. Selama 20 tahun berikutnya, Bai Fang Li mengayuh becaknya untuk
satu tujuan: memberikan sumbangan kepada anak-anak di panti asuhan untuk
membantu mereka hidup dengan lebih baik. Selama 20 tahun, secara total ia telah
menyumbangkan penghasilannya sebanyak RMB 350.000 (sekitar Rp 500 Juta) ke
panti asuhan.
Ketika usianya
mencapai 90 tahun, ia membawa seluruh sisa tabungannya sebanyak RMB 500
(sekitar Rp 750.000) ke sebuah sekolah panti asuhan bernama Yao Hua. Tidak
banyak, tapi itu adalah seluruh uang yang dimilikinya.
Bai Fang Li berkata
dengan sedih, "Saya sekarang sudah terlalu tua dan lemah, saya tidak kuat
lagi mengayuh becak, dan tidak dapat melanjutkan memberi sumbangan. Ini mungkin
adalah sumbangan terakhir saya" Semua guru dan siswa di sekolah itu
tersentuh dan menangis mendengarnya.
Pada
bulan Mei 2005, di usianya yang ke 93, Bai Fang Li di diagnosa mengidap kanker
paru-paru. Ia meninggal di rumah sakit setempat empat bulan kemudian. Ratusan
orang yang menghadiri pemakamannya menangis, mereka merasa sangat kehilangan
ditinggalkan oleh orang tua yang baik hati itu. Ribuan orang lainnya merasa
tersentuh oleh pengabdiannya yang tidak kenal pamrih. Bai Fang Li meninggal
dalam keadaan miskin, ia tidak meninggalkan apapun selain semangat pengabdian
dan cinta tulusnya kepada sesama. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu
kalau selama ini ayahnya menyumbang ke panti asuhan.
Print this page
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH