Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Kong Zi Xue Yuan / Confucius Institute

Penulis : Budi Wijaya Yao Pingbo

Pendahuluan

Tiongkok sebagai negara besar dengan penduduk lebih dari 1,3 milyar merupakan negara yang patut diperhatikan dan diperhitungkan oleh negara-negara lain. Dianggap merupakan pasar yang besar, Tiongkok mendapa prioritas. Keberhasilan Tiongkok dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) juga memacu negara lain untuk giat memperkuat dan memberkali dirinya. Antara lain adalah adanya pengenalan dan (bahkan) kewajiban untuk memasukkan pelajaran bahasa Tionghoa di sekolah-sekolah di banyak negara. Di Amerika pun bahasa Tionghoa juga menjadi mata pelajaran yang diajarkan.
Dalam kunjungan ke Tiongkok, Minggu 29 Oktober 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan perdaganan bilateral Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok dalam 5 tahun mendatang sebesar USD. 30 milyar (Rp 273 triliun). Apa yang terkait dengan perdagangan ini? Tentulah sumber daya manusia dengan alat komunikasi berupa bahasa Tionghoa.
Seiring dengan kemajuan Tiongkok diberbagai bidang membuat banyak mahasiswa yang lebih memilih belajar di Tiongkok daripada di luar negeri lainnya. Selain terbuka lapangan kerja dan pasar yang luas, belajar di Tiongkok lebih ekonomis. Tidak salah kalimat dalam Al Quran "Belajarlah sampai ke Negeri Tiongkok."
Tiongkok bagai gayung bersambut kini malah mengenalkan dan mempopulerkan pendirian Kong Zi Xue Yuan / Confucius Institute diberbagai negara. Tujuan Kong Zi Xue Yuan adalah mengenalkan kebudayaan Tionghoa melalui bahasa. Sama dengan tujuan dari British Council milik negara Inggris, Erasmus Huis milik Belanda, Goethe institute milik Jerman, Alliance Francaise milik Perancis dan sebagainya. Dengan target untuk mendirikan 100 Confucius Institute di berbagai benua, proyek Confucius Institute adalah proyek negara dan pemerintah Tiongkok untuk berperan di dunia. Kini sudah puluhan Confucius institute berdiri di berbagai negara seperti Amerika, Australia, Korea, Jepang, dan bahkan negara ketiga seperti Bangladesh pun Confucius Institute sudah berdiri.
Bagaimana pula dengan umat Khonghucu Indonesia ? Berapa banyak tokok dan pengurus lembaga Khonghucu yang didominasi orang muda mengerti dan menguasai bahasa Tionghoa? Bukankah belajar agama Khonghucu harusnya juga belajar bahasanya karena kitab-kitabnya semua asalnya ditulis dalam bahasa Tionghoa?

Kong Zi Xue Yuan dan Kong Jiao Xue Yuan
Apa beda kedua institut? Kong Zi Xue Yuan dengan Kong Jiao Xue Yuan? Sekilas arti keduanya adalah sama yaitu Confucius Institute / Academy. Lalu bedanya hanya terletak pada kata Zi (dari kata Kong Zi / Nabi Kongcu) dan Jiao (dari Kong Jiao / agama Khonghucu).
Kong Zi Xue Yuan adalah lembaga yang didirikan tahun 2004 yang lalu oleh pemerintah dan negara Tiongkok untuk mengenalkan kebudayaan Tionghoa melalui bahasa. Pada prakteknya di beberapa negara Confucius Institute bekerjasama dengan dan terletak di dalam universitas nyaris sama seperti Lembaga-lembaga yang didirikan oleh negara-negara di atas meskipun secara formal tidak ada batasan tentang hal ini. Di Jepang lokasi Confucius Institute berada di Kyoto Museum untuk perdamaian dunia meskipun bekerjasama dengan Ritsumeikan University.
Beberapa Confucius Institute telah didirikan seperti pada 15 Juni 2004 The University of Maryland, Amerika mendirikan Maryland Confucius Institute. 15 Juni 2004 Menteri Pendidikan Uzbekistan dengan the NOCFL (the National Office for teaching Chinese as a Foreign Language) menandatangani kerjasama pendirian the Taskent Confucius Institute. 21 Juni 2004 The NOCFL dan Stockholm University Swedia mengadakan perjanjian untuk mendirikan the Stockholm Confucius Institute - Eropa Utara, yang pertama di Eropa. 22 Juni 2004, Nairobi University - Kenya setuju mendirikan the Nairobi, Confucius School, yang pertama di Afrika. 17 September 2004 China dan Inggris setuju bernegosiasi membuka Confucius Institute di London. 21 November 2004, Confucius Institute dibuka di Seoul, Korea Selatan.
Kong Jiao Xue Yuan adalah lembaga yang sering didirikan oleh para raja / sarjana jaman dulu di Tiongkok maupun di luar negeri Tiongkok. Misalnya di Hongkong pada tahun 1930 Dr.Chan Woon Cheung dan beberapa sarjana mendirikan Kong Jiao Xue Yuan (Confucian Academy) dengan tujuan untuk memajukan Confucianism (agama Khonghucu) dan memajukan pendidikan dan memperbaiki moral masyarakat. Selain melalui penerbitan dan distribusi buku-buku dengan moral Khonghucu, Confucian Academy Hongkong juga memiliki 3 buah sekolah yaitu Confucian Tai Shing Primary School (tingkat SD), Confucian Sam Lok Chow Mud Wai School dan Confucian Ho Kwok Pui Chun College.
Di Korea lembaga Gukjagam, pada jaman dulu disebut Gukhak atau Seonggyungwan, adalah institut pendidikan tertinggi pada jaman dinasti Goryoeo. Letaknya di ibukota Gaegyeong (kini kota Kaesong) dan memberikan pelatihan tingkat tinggi Chinese Classics (kitab-kitab Konfusiani). Didirikan pada tahun 992 selama pemerintahan Seongjong. Institut yang sama seperti ini dikenal sebagai Gukhak juga didirikan di bawah Unified Silla.
Di Vietnam pada tahun 1070 didirikan Van Mieu / Boen Bio / Wen Miao (kuil kesusastraan) pada masa dinasti Ly untuk menghormati Nabi Kong Zi dan murid-muridnya. 6 tahun kemudian didirikan Quoc Tu Giam (sekolah bagi putra-putra bangsa). Pada mulanya hanya untuk anak-anak pejabat, tetapi kemudian dibuka untuk masyarakat umum. Pada tahun 1484, Raja Le Thanh Tong menitahkan agar nama-nama para sarjana yang brilian yang telah lolos ujian negara tingkat tinggi diukir di dalam pilar dan diletakkan di Van Mieu / Boen Bio.

Tionghoa Hwee Koan
Tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa di Indonesia juga sangat perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Wujud partisipasi etnis Tionghoa di Hindia Belanda dinyatakan dalam pembentukan Tionghoa Hwee Koan. Pada 17 Maret 1900 telah didirikan perkumpulan Tionghoa Hwee Koan di Batavia (kini Jakarta). Tujuan Tionghoa Hwee Koan antara lain adalah memajukan pendidikan dan melestarikan adat istiadat Tionghoa khususnya agama Khonghucu. Berdirinya Tionghoa Hwee Koan memberikan inspirasi bagi orang Tionghoa lainnya untuk mendirikan lembaga pendidikan sejenis di beberapa kota di Indonesia.
Di Surabaya masyarakat Khonghucu Boen Bio mendirikan Tionghoa Hak Hauw pada 6 Juli 1907 dan berdasarkan rapat tanggal 30 Agustus 1907 berganti nama menjadi Tionghoa Hak Tong dengan lokasi bekas persil Boen Thjiang Soe (kini Boen Bio) di Jalan Kapasan. Dalam perjalanannya sekolah ini pun berganti nama menjadi Tionghoa Hwee Koan Kapasan. Karena misi sekolah Tionghoa Hwee Koan ini memberikan pendidikan kepada semua orang tanpa pandang bulu, dan pada kenyataannya banyak orang Tionghoa miskin yang harus ditampung di sekolah tersebut, maka perjalanan sekolah ini akhirnya terhuyung-huyung meskipun pada kenyataannya ada pengusaha sekaliber Liem Seeng Tee diangkat sebagai ketua Tionghoa Hwee Koan Surabaya (3 Juni 1928) dimana beliau mendonasikan 1% keuntungan penjualan rokok Sampoerna / Djie Sam Soe. Tetap saja Tionghoa Hwee Koan tersendat-sendat apalagi ditunjang dengan kenyataannya makin banyaknya orang Tionghoa kaya yang berganti sekolah ke HCS (Hollandsch Chineseeche School) yang dianggap lebih berkualitas karena dikelola oleh Belanda.
Sekolah-sekolah yang dikelola kaum peranakan Tionghoa dianggap tidak / kurang bermutu, sementara sekolah-sekolah yang dikelola misionaris atau orang Barat dianggap lebih bermutu.

Hubungan Republik Indonesia (RI) – Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
Hubungan RI dan RRT pada dekade ini mengalami masa-masa mesra. Hubungan seperti ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Soekarno. Namun pada masa pemerintahan Soeharto dimana RRT diduga terlibat dalam pemberontakan G 30S PKI, hubungan RI dan RRT tidak saja beku seperti es malahan berimplikasi pada sendi kehidupan bermasyarakat orang-orang Tionghoa di Indonesia. Berbagai sendi kehidupan bermasyarakat dari orang Tionghoa mendapat halangan dan diskriminasi. Bahkan puncaknya adalah Mei 1998 yang sangat kelam dimana orang Tionghoa menjadi bulan-bulanan penjarahan dan perkosaan. Toko-toko dibakar, nyawa melayang dan badan hangus yang terperikan.
Pengalaman sejarah ini tidak boleh tidak diperhatikan meskipun pada hakekatnya tidak perlu terlalu dirisaukan. Pepatah mengatakan bahwa tidak ada musuh abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Saat ini kedua negara merasakan memiliki kepentingan yang sama. Memang sejarah akan berulang. Ada pasang dan ada surut. Begitulah sejarah.

Perlukan Kong Zi Xue Yuan?
Melihat sejarah dan misi Kong Zi Xue Yuan, kehadirannya boleh saja disambut di Indonesia. Umat Khonghucu boleh menyambutnya. Bukankah meskipun belum ada Kong Zi Xue Yuan, banyak perkumpulan dan perusahaan orang Tionghoa sudah menjalin hubungan dengan pemerintah RRT di bidang pendidikan, perdagangan dan social lainnya. Kalaupun hubungan RI dan RRT kembali melemah dan bahkan memanas seperti era tahun 1967an sampai 1990an, tentu orang Tionghoa akan kena getahnya juga meskipun tidak terlibat dan mengadakan kerjasama dengan pemerintah RRT.
Bagaimana dengan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) atau Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) ? Sejarah menunjukkan bahwa MATAKIN dan MAKIN tidak pernah terlibat kerjasama dengan dan menjadi penerima bantuan dari RRT. Namun meskipun begitu, MATAKIN dan MAKIN pada akhirnya harus menanggung juga derita. Agama Khonghucu menjadi tidak diakui dan mendapat diskriminasi dalam hak-hak sipilnya. Mati segan, hidup tak mau. Dan banyak umat yang harus menjadi agama lain. Sementara tempat ibadahnya yang biasanya klenteng harus berganti nama.
Kong Zi Xue Yuan boleh berdiri disamping MATKIN / MAKIN. Karena kalau pun bukan orang Khonghucu yang mendirikan, tentu akan ada orang non Khonghucu yang memulainya.
Persoalannya adalah apakah Kong Zi Xue Yuan akan menjadi counterpart dalam arti complementary part dari MATAKIN atau malah kompetitor. Juga persoalan yang muncul adalah sebagian orang Khonghucu akan protes karena nama besar Nabi Agung Kong Zi hanya dipakai sebagai pusat bahasa dan kebudayaan pemerintah Tiongkok. Seakan-akan terlalu kecil perannya.
Kondisi di Indonesia memang berbeda dengan negara lain. Di Indonesia dan Korea, Khonghucu adalah agama. Dan sebagian umat Khonghucu adalah umat militan yang merasa tidak rela agama besar seperti Khonghucu hanya dianggap filsafat atau moral saja. Dan tidak rela kalau Khonghucu dianggap budaya saja. Mereka bersedia menggugat dan digugat sekedar mempertahankan agamanya. Sejarah telah mencatatnya.
Kebudayaan dan Agama
Kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1980) mendefinisikan kebudayaan sebagai semua seni, kepercayaan, lembaga social dan lain-lain dari masyarakat. Sedangkan The American Heritage Dictionary (1994) mendefinisikan kebudayaan sebagai tingkah laku, seni, kepercayaan, lembaga dan semua produk dan pemikiran hasil kerja manusia, khususnya yang ekspresikan dalam sebuah masyarakat tertentu atau periode tertentu.
Kalau menilik definisi di ata maka sebenarnya Khonghucu akan menduduki peringkat di atas agama karena dalam kebudayaan sudah mencakup semua nilai, tingkah laku, seni, kepercayaan dan termasuk lembaganya. Bukankah dalam Khonghucu mencakup semua nilai di atas. Khonghucu bukan saja sebuah kepercayaan (agama) melulu.
Pengalaman seorang Cheng Tien-his,LL.D, seorang duta besar Tiongkok untuk Inggris pada tahun 1947, menyatakan bahwa pada saat duduk dibangku kuliah beliau menerima kuliah sejarah dari dosen terpelajar yang menggolongkan orang Tionghoa sebagai orang yang semi beradab. Dr.Cheng barulah mendapat jawaban atas keheranannya setelah membaca salah satu bacaan dari Prof.Bertrand Russel “Bangsa Tionghoa adalah bangsa besar…Mereka tidak akan mau mengadopsi keburukan-keburukan kita untuk mendapat kekuatan militer, tetapi mereka akan sudi mengadopsi kebajikan kita untuk memajukan kebijaksanaannya. Saya kira mereka adalah satu-satunya bangsa di dunia yang sejatinya mempercayai bahwa kebijaksanaan adalah lebih berharga daripada batu permata rubi. Maka dari Bangsa Barat mengganggapnya sebagai tidak baradab.” Bagi beliau, tidak merupakan masalah apakah orang Barat menganggapnya sebagai orang yang tidak beragama. Bagi beliau yang paling utama ialah memiliki prinsip-prinsip baik. Dan memang inilah kenyataan sebagian besar orang Tionghoa di manapun di dunia.
Di Indonesia juga terjadi hal yang sama. Banyak orang Tionghoa yang merasa tidak perlu memiliki agama sepanjang hidupnya berbuat bajik dan tidak merugikan orang. Mereka ini sebenarnya praktisi dari ajaran Nabi Kong Zi tanpa harus mengaku sebagai umat agama Khonghucu. Mereka seringkali memiliki agama KTP (Kartu Tanda Penduduk) saja. Maka kata Prof.Tu Wei Ming, dimana-mana ditemukan orang Kristen Khonghucu, Islam Khonghucu, Buddha Khonghucu dan lain-lain.
Dengan kondisi sudah dipulihkannya hak-hak sipil umat agama Khonghucu, sudah saatnya semua tokoh Khonghucu memikirkan perjuangan berikutnya. Kita tidak perlu terjebak pada perang wacana apakah Khonghucu adalah agama atau lainnya. Kita jadikan Khonghucu sebagai pengikat orang Tionghoa untuk keselarasan agung (great harmony). Mereka boleh saja mengaku beragama apa saja tetapi mereka tidak akan dan tidak boleh melupakan akarnya.

Indonesian Confucius Institute - Penutup
Indonesian Confucius Institute sebenarnya bisa juga diperluas tidak sekedar pusat Bahasa dan Kebudayaan. Juga tidak sekedar sekolah formal. Melainkan bisa sebagai juga pusat kajian Confucianism untuk perdamaian dan keselarasan agung dunia (great harmony / Da Dong). Mengenai nama boleh memakai nama Indonesian Confucius Institute (ICI), Indonesian Confucius Academy (ICA), Concucius Center (CC), Confucian Education Center (CEC), Center for Confucian Studies (CCS) dan sebagainya asalkan marketable (layak jual), berwibawa dan mudah diingat dan diucapkan.
Kerjasama dengan Republik Rakyat Tiongkok atau Hongkong atau Taiwan dan sebagainya perlu dipertimbangkan lebih saksama, terutama dampak dan prospek ke depannya. Yang lebih penting jangan sampai kita terjebak dan terseret oleh kepentingan negara asing karena akan berimplikasi yang negatif pada lembaga agama kita.




3 komentar:

  1. the one and only way for chinese in body, heart and mind is confucianism.

    BalasHapus
  2. Saat ini beberapa rohaniwan dan tokoh agama Khonghucu sedang berjuang mendirikan KONG JIAO SHU YUAN Sekolah Tinggi Agama Khonghucu , yang akan mencetak cendikiawan / sarjana agama Khonghucu , dan telah didirikan Yayasan XIN RULIN sebagai penanggung jawab pendirian dan kelangsungan Setakhong
    Semoga misi ini didukung oleh umat agama Khonghucu

    BalasHapus
  3. semoga niat baik dan usaha baik para rohaniwan dan tokoh agama khonghucu diberkati oleh Tian
    shanzai

    BalasHapus

TERIMA KASIH