Penulis : Rip Tockary
Proses diferesiasi, integrasi dan alam garnasi etnis di negeri kita terjadi sejak masa lampau secara alamiah dan berjalan lancar. Praktis tidak ada friksi etnis sepanjang sejarah kuno. Problematika justru mencul ketika kesadaran ber "kita" dan "mereka" berkembang sejalan dengan kemajuan peradaban. Kita kehilangan perspektif kesejahteraan karena biasanya kajian dan bahasan interaksi etnis khususnya antara etnik Tionghoa dan pribumi dibatasi penggal waktunya, umumnya dari sejak zaman pra kemerdekaan hingga akhir Orde Lama. Memang banyak juga lebih awal misalnya penggal waktu antara zaman VOC hingga kini, tetapi paling banter sejak zaman Majapahit.
Kader Ru Jiao (Agama Khonghucu) patutlah memperluas koridor perspektif kesejarahan hingga awal dari proses pembentukan Bangsa Indonesia agar diperoleh suatu kefahaman yang komprehensif. Hal ini terutama untuk memperkukuh kehidupan kebangsaan dari penghuni bumi Nusantara ini. Disampng itu perlu kita kaji sejauh mana Firman Shang Di yang diwahyukan via Nabi Kong Zi bahwa, ".......Di empat penjuru lautan semua manusia bersaudara". (Lun Yu XII:5) berdiri atas dasar kebenaran yang teguh.
Pembinaan faham kebangsaan sejak awal abad ini yang diupayakan melalui media pendidikan formal maupun non formal memang telah berhasil membangkitkan solidaritas yang lebih luas dibanding masa lalu tetapi perspektif kebangsaan baik dalam kalangan terdidik apalagi yang kurang terdidik masih jauh dari memadai. Peristiwa kezaliman rasia Mei 1998, menunjukkan bahwa hingga menjelang abad ke-21 ini sebagian besar orang Indonesia masih berada pada taraf sentimen kehidupan perkauman dan belum banyak menghayati semangat kebangsaan dan kemanusiaan yang benar. Perjalanan proses pengindonesiaan yang masih harus ditempuh rupanya masih amat jauh dan bahkan semakin mendaki dan meretasi bukit berbatu dan terjal.
Saya ingin mengajak semua kader Ru Jiao untuk menapakitilasi sejarah nenek moyang kita sejak periode sangat dini agar kita dapat memahami siapakah sebenarnya kita dan siapa pula mereka itu? Apakah kita itu termasuk mereka atau sebaliknya? Atau dengan perkataan lain adakah kita dan mereka itu sebenarnya bertumpang tindih? Rekontruksi sejarah adalah pekerjaan yang rumit dan tidak sederhana, tetapi harus kita lakukan juga karena kita perlu memiliki kesadaran batin mengenal diri kita dan orang lain secara mendalam.
Nenek Moyang Bangsa-Bangsa Nusantara Datang Secara Bertahap
Pada awal dinasti Shang sekitar abad ke 16 SM kurang lebih satu zaman dengan Nabi Musa di Mesir, negeri Tiongkok dihuni oleh dua suku yang mengembangkan kebudayaannya masing-masing. Suku Yu sangat beraneka hidup di arah pesisir Tiongkok Tenggara dan suku Han lebih homogen bermukim di sepanjang Sungan Huang He di bagian dalam utara Tiongkok. Suku Han bertutur dalam suatu bahasa Tibeto Burman yang kemudian berkembang menjadi bahasa Han atau Mandarin. Sedang bahasa suku Yu tergolong ke dalam bahasa Khmer dan bahasa Austronesia, ke dalam bahasa-bahasa Melayu. Sebagian besar etnik Han bergeser ke selatan Sungai Huang He dan berbaur dengan etnik Yu. Maka terjadilah percampuran darah dan arkuturasi kebudayaan di antara mereka.
Suku Han tinggal di pedalaman sangat terikat pada tanah mereka, hidup sebagai petani sawah, sedang suku Yu yang telah bercampur dengan Han mengarahkan pandangannya ke lautan dan berusaha untuk menjadikan lautan sebagai sumber penghidupan. Semangat bahari suku Yu mendorong mereka mengarungi lautan dan beremigrasi ke selatan menuju bumi Nusantara. Maka proses pembentukan kebudayaan Nusantara berawal di sini. Mereka berbaur dengan penduduk Nusantara yang sudah ada lebih dahulu dan sudah lama mempribumi. Siapakah mereka ini ?
Migrasi Telah Di Mulai Sejak Zaman Purba
Ketika pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan masih bersatu dengan daratan Asia, nenek moyang etnik Yu sudah mulai menyebar ke kawasan Nusantara. Ini kira-kira terjadi 50.000 tahun yang lalu. Mereka bergerak secara terpisah dalam kelompok-kelompok kecil mungkin hanya terdiri dari satu atau beberapa keluarga besar saja. Berangkat dari kawasan pegunungan di Tiongkok Tengah mereka ke selatan menyusuri tepi pantai. Berhenti pada berbagai lokasi menurunkan puak-puak yang berbeda. Pendatang Mongoloid ini menduduki daratan Asia Tenggara dan berbaur dengan ras Papua Melanosoid yang berkulit hitam dari India. Kemudian datang pula ras Kaukosoid Weddoid yang kulitnya lebih tenang.
Kemahiran membuat rakit bambu mendorong sebagian dari mereka untuk menyeberangi ke Sulawesi selanjutnya menuju ke Papua dan Australia. Lebar laut yang memisahkan daratan Jawa Kuno dengan Sulawesi hanya sekitar 30 km, sedang pulau Papua masih bersatu dengan Australia. Inilah gelombang pertama manusia perahu yang berasal dari Tiongkok daratan.
Para ahli paleontologi terkejut mengetahui tengkorak orang Aborigin kuno yang ditemukan dalam Danau Wilandra, New South Wales ternyata identik dengan profil tengkorak manusia neolitik yang ditemukan di tepi Sungai Yang Tze, Tiongkok. Mereka memiliki komposisi genetik yang sama, kendati rupa luarnya mengesankan perbedaan yang nyata. Rupanya manusia perahu gelombang pertama adalah nenek moyang dari etnik Melanesia, yang mencukup bangsa Papua dan Aborigin Australia. Mereka semua berasal dari Asia Tenggara bukan Afrika.
Ke arah Timur, gelombang manusia menyeberang Selat Berring menuju Alaska dan Amerika Utara. Mereka inilah nenek moyang bangsa Indian. Mengapa mereka memiliki penampilan yang sangat berbeda. Proses isolasi menyebabkan konsentrasi komposisi genetik tertentu. Selain itu faktor interaksi geografis beserta faktor iklim dengan unsur-unsur bawaan.
Gelombang Kedua
Migrasi yang lebih besar diperkirakan terjadi pada kurun waktu tahun 14.000 hingga 4.000 SM. Jika migrasi gelombang pertama bertitik awal pada pedalaman Tiongkok Barat, maka gelombang kedua berangkat dari Tiongkok bagian Selatan. Mereka inilah menjadi nenek moyang dari suku Melayu dan Polinesia ang berjiwa pelaut. Jalur yang ditempuh nenek moyang bangsa-bangsa Asia Tenggara ini tidak satu. Sekitar 9.000 SM, terjadi pergerakan penduduk dari Tiongkok menyeberangi selat Formasa dan menetap di Taiwan. Tahun 7000 hingga 5500 SM mereka berpindah lagi menuju Filipina, untuk kemudian mencapai pulau Sulawesi pada tahun 4000 SM. Dari sini terjadi percabangan ada yang menyebar ke arah Maluku dan berhenti di Pulau Bismarck. Tahun 1300 SM tiba di Fiji. Gerakan ke arah Barat menuju ke Jawa, Sumatera lalu ke Malaysia Jalur via.Indo China terjadi pada kurun waktu yang sama.
Imigran yang datang bergelombang akhirnya menemukan tempat tinggal baru dan hidup secara terpisah-pisah. Karena terisolasi satu sama lain mereka mengembangkan bahasa dan adat istiadat yang berbeda. Mereka masih di persatukan oleh suatu kebudayaan yang sama adanya nekara drum perunggu. Kawasan Laos dan Tiongkok Selatan hingga Sulawesi termasuk dalam kebudayaan Dong son.
Para pendatang menurunkan bangsa-bangsa Asia Tenggara, sebagian dari mereka berhasil mencapai Kalimantan, Sumatera dan Jawa terjadi pada abad ke 6 hingga 7 abad SM. Mereka kelak menurunkan suku bangsa yang lebih modern seperti Jawa, Sunda, Melayu dan sebagainya. Konon kulit mereka lebih terang dari yang terdahulu karena telah bercampur dengan etnik Han yang berkulit terang. Penamaan pulau seperti Jawa baru terjadi pada abad ke 3 masehi.
Perjalanan mereka tidak berakhir di sini. Kelompok yang bermukim di Sulawesi mengembangkan teknologi membuat perahu yang lebih modern. Dengan kapal yang kokoh mereka melanjutkan perjalanan ke arah Madagaskar. Ada dugaan kuat bahwa akhirnya mereka mencapai kawasan Peru kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan Selatan. Gambaran yang direkam dalam catatan Columbus dan penjelajah Spanyol lainnya tentang perahu yang ditemukan di benua Amerika sangat mirip dengan perahu yang ditemukan di Vietnam dan Taiwan. Teknologi yang digunakan ternyata memiliki sangat banyak kesamaan, juga ada kesamaan dalam hal teknik membuat kain dari serat kayu di antara suku Otomi di Meksiko dengan orang Toraja. Rasanya hal ini tidak mungkin hanya suatu kebetulan.
Mulai abad pertama hingga abad ke 14 M, juga terjadi migrasi etnis Dravida asal India Selatan, membawa serta agama Hindu dan kemudian agama Buddha. Sebagian besar menyusur laut Benggala, kemudian tiba di Burma, Kamboja, Thailand hingga Malaysia. Ada pula yang menyeberang hingga Sumatera bagian utara (Aceh, Sumatera Utara hingga Sumatera Barat), dan ada pula yang terus berlayar hingga Jawa Tengah, Jawa Timur bahkan hingga kepulauan Nusa Tenggara Timur. Kulit mereka lebih gelap, percampuran antara migran dari arah timur dengan daratan India menurunkan etnis yang kemudian disebut Indo China. Suku tertentu seperti Nias, Dayak (Kalimantan) dan Sulawesi tidak hanya banyak menerima campuran darah India, karena itu kulit mereka jauh lebih terang.
Etnik Tionghoa dari arah lebih ke Timur terus saja berdatangan ke Nusantara, kali ini mereka telah mengembangkan kebudayaan berdagang. Ada petunjuk orang Tionghoa dari zaman Han (lebih kurang abad 250 SM) berdatangan ke Jawa mereka menukarkan porselin dengan kayu cendana dari Timor. Kedatangan migran dari luar direkam dalam hikayat Sina Sian Malaka oleh orang Timor. Fa Xin berlayar ke Nusantara pada abad ke IV berhenti di Kalimantan dan menemukan komunitas Tionghoa di Sarawak, tempat ini dinamakan sebagai Guo Qin (negeri kaum Qin), nama ini kemudian berubah menjadi Kuching. Dalam perjalanan pulang ia singgah di Kalimantan Timur yang dinamakannya Guo Dai (negeri yang banyak penduduknya) tempat itu kini kita kenal sebagai Kutai.
Kemahiran bangsa Tiongkok dalam berlayar dan ilmu maritim sangat luar biasa, terlebih dengan ditemukannya kompas. Orang Arab mengenal penunjuk arah ini dari pelaut Tionghoa yang singgah di Hadramaut. Mereka menamakannya sebagai Quth Numa yang artinya bulatan yang ada jarumnya. Pelaut Eropa mengenal kompas dari bangsa Arab. Alat inilah yang banyak membantu pelaut Arab dan Eropa menjelajahi lautan.
Berkembangnya agama Buddha di Sriwijaya menyebabkan banyak pendatang dari Tiongkok dengan tujuan mempelajari agama. Sebagian dari mereka kemudian tidak kembali dan bermukim di sekitar Palembang. Ada pula yang melarikan diri ke Nusantara karena tidak menyetujui politik xenophobic isolatinism (tak suka orang asing) dari Kaisar Yuan Zhang pendiri dinasti Ming.
Sejak Sriwijaya dihancurkan Majapahit (1365) raja Palembang, Parameswara mengungsi ke Singapura lalu ke Malaka. Terjadi kevakuman kuasa di Palembang sehingga komunitas Tionghoa mengangkat sendiri pemimpin mereka Liang Tao Ming, asal Nan Hai, Guang Dong. Sultan Megat Iskandarsyah (Parameswara) meminta bantuan militer dari Kaisar Yung Lo untuk memberantas bajak laut asal Tiongkok dan menangkis agresi Kerajaan Siam (Ayuthaya).
Laksamana Zheng He ditugaskan untuk membasmi bajak laut dan berhasil menangkap Chen Tsu Yi salah satu gembong perampok.
Nusantara Suatu Pot Pouri : Aliran Genetik Terjadi Sepanjang Zaman
Jadi Nusantara ini rupanya merupakan suatu pot pouri atau melting pot dari pelbagai bangsa. Begitulah perjalanan umat manusia dahulu, sekarang dan pada waktu yang akan datang. Suatu bangsa terbentuk, berkembang, kemudian punah. Kita saksikan bangsa Amerika sedang dan mungkin terus dibentuk. Kedatangan manusia dengan ragam genetik dan budaya yang berbeda, bagaimana pun akan menghasilkan persilangan hayati dan budaya. Seratus tahun dari sekarang kita akan menyaksikan bangsa kulit putih yang terbaur dengan Afrika, Arab,India dan Tiongkok. Perbauran India, Spanyol, Anglo Saxon dan Afrika di Amerika Latin menghasilkan sintesa etnis yang sama sekali baru. Bangsa mana pun juga di dunia tidak pernah murni dan akan terus menerima masukan unsur genetik baru. Perkawinan antar bangsa dan ras akan justru semakin intensif.
Indoensia pun adalah bangsa yang masih dalam proses pembentukan (in the making), dimana perkawinan antara kulit putih, Melayu, Melanesia (Papua), Tionghoa dan Arab akan terus berlangsung. Istilah pribumi atau bumiputera boleh-boleh saja, asalkan kita tahu bahwa tidak ada permisahan yang absolut dan abadi. Antara kelompok pribumi dan pendatang tidak bersifat dikotomis tetapi suatu kontinuum. Oleh karena itu etnik Tionghoa tidak perlu ragu dalam membaur dengan suku-suku lain di Indonesia karena pada dasarnya kita semua bersaudara.
Etnik Yu dan Han sebenarnya memiliki hubungan yang sangat ideal. Nenek moyang kaum Han adalah kawula dari Raja Huang Di sedang asal usul kaum Yu modern dapat dirunut pada Raja Shun yang sangat dijunjung tinggi oleh Nabi Kong Zi. Keluarga Shun berasal dari pedalaman pegunungan Shandong. Menurut Meng Zi keluarga Shun adalah kaum barbar yang bermukim di Timur Zhong Guo kuno yang terletak di Timur Laut kawasan Hunan. Ibunda Raja Shun meninggal dan ayahnya menikah lagi. Atas anjuran istri keduanya, ayahnya berusaha membunuhnya. Shun melarikan diri ke arah Barat Hunan dan menetap di Li Shan dan kemudian mendirikan kerajaan Yu (23 SM).
Tionghoa Bukan Minoritas Tetapi Termasuk Komunitas Besar
Kita telah terlanjur menghadapkan Tionghoa dengan seluruh bumiputera. Dikhotomi ini tidak tepat, karena bumiputera tidak homogen. Pertama dapat dibagi menjadi Melayu dan Melanesia (Papua, sebagian Timor, Maluku dan sebagainya). Kedua Melayu dapat dipilah-pilah menjadi pelbagai suku mulai dari Manado, Batak hingga Aceh. Berapakah jumlah mereka masing-masing menurut kelompoknya. Di Flores saja tidak kurang dari 5 suku padahal jumlah mereka tidak lebih dari 700.000 jiwa. Bandingkan dengan etnik Tionghoa yang ditaksir berjumlah 7 juta jiwa. Etnik Tionghoa termasuk kelompok besar seperti halnya Jawa, Sunda, Madura, Minang dan Bali. Perspektif dari mental etnik Tionghoa harus berubah dari merasa inferior karena dianggap minoritas menjadi etnik dengan semangat dan perilaku sebagai mana layaknya salah satu kelompok yang besar.
Ikatan Emosional Suatu Hal Wajar
Sewaktu Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi di tembak mati di daerah Tamil Nadhu, India, sekelompok orang India di Singapura menyatakan rasa duka citanya secara bersama-sama dengan memanjatkan do'a di pelbagai Kuil Hindu. Tidak terdengar protes dari rakyat Singapura baik dari kalangan etnik Tionghoa maupun Melayu. Sebagai orang Indonesia saya merasa heran. Bagaimana mungkin orang Singapura walaupun mereka keturunan India dapat menyatakan rasa duka cita secara terbuka? Bukankah mereka ini warga negara Singapura? Adakah rasa kesingapuraan mereka perlu diragukan? Ternyata tidak! Salah seorang Menteri Singapura malah mengunjungi mereka untuk menyatakan rasa duka cita. Memang begitulah rasa simpati tidak dapat dibendung karena suatu status kewarganegaraan.
Kunjungan kesenian dan kebudayaan Tamil datang silih berganti, bahkan digalakkan oleh pemerintah Singapura. Demikian pula kunjungan kebudayaan Indonesia ke Suriname dan sebaliknya adalah sesuatu yang patut digalakkan. Kedatangan penyanyi Mus Mulyadi dan Emilia Contessa ke Suriname memuaskan kerinduan etnik Jawa yang bermukim disana. Hadiah seperangkat gamelan dari mantan Presiden Soeharto sangat dihargai oleh warga Jawa Suriname.
Hadirnya paguyuban budaya Korea, Jepang, Vietnam dan Tiongkok antara lain di Peru, Argentina, Amerika Serikat justru disambut baik oleh pemerintah setempat untuk membina kontak-kontak dagang, disamping itu mereka dapat memperlajari kebudayaan asing dan menambah khasanah kebudayaan dan teknologi. Ragam makanan dan minuman, musik dan kosakata diperkaya yang dibawa kaum imigran.
Semangat Pribumi Yang Baru
Semangat kepribumian (nativisme) mau tidak mau akan berakhir. Mantan Perdana Menteri Mahatir Muhammad yang dikategorikan bumiputera, ayahnya berasal dari India. Datuk Harris Saleh tokoh penting negeri Sabah kakeknya India asli. Tengku Abdurrahman Putra seorang founding father kerajaan Malaysia berasal dari Thailand. Orang Kelantan penganut agama Islam yang soleh banyak yang berdarah Tionghoa. Gelaran Che, yang banyak digunakan di negara bagian ini (misalnya Che Yan bin Che Akbar) mulanya merupakan panggilan kesayangan Tionghoa muslim. Kata Che (encik) artinya paman berasal dari bahasa Hokkian. Sedang kata baba (tuan muda) diambil dari bahasa Turki yang artinya tuan muda. Petinggi Malaysia dikategorikan bumiputra bukan karena darahnya, tetapi karena semangat patriotismenya yang kukuh. Rasa cinta tanah air semangat bela bangsa yang kuat bagi semua anak bangsa yang menjadikan mereka bumiputra yakni seorang putra Malaysia yang sejati.
Mantan Perdana Menteri Thailand seperti Banharn Silpaarcha dan Chuan Leekpai adalah orang Tionghoa. Raja Thailand dan dinasti Chakry berdarah Sichuan. Tokoh Jose Rizal (pahlawan Filipina) dari Filipina adalah etnik Tionghoa. Demikian pula baik dalam tubh Corazon Aquino maupun Marcos mengalir darah Tionghoa. Untuk sekedar melengkapi catatan secound Perdana Menteri Hunsen dari Kamboja adalah orang Teochiew. Mereka semua adalah Thailand asli, Kamboja asli, Filipina asli, karena mereka berjiwa patriot sejati, mencintai bangsanya sepenuh hati.
Senang atau tidak senang, Indonesia dimasa datang mungkin saja dipimpin oleh non bumiputra entah Arab, Tionghoa, India, Kaukosoid bahkan Afrika. Dapat saja dipimpin oleh mereka yang tidak menganut agama mayoritas. Seperti juga bisa saja negara lain dipimpin oleh etnik Indonesia. Dunia akan semakin bersatu, tidak ada sesuatu kekuatan yang mampu menahan, karena demikianlah kehendak Shang Di, Tuhan Yang Maha Besar, agar semua manusia menjadi bersatu.
Menuju Indonesia Yang Asli dan Sejati, Suatu Pandangan Jauh Kedepan
Dalam kehidupan politik yang modern pengertian nasion (bangsa) tidak dikaitkan dengan faktor etnis, tetapi dengan rasa solidaritas dengan sesama warga negara untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan bernegera. Keaslian tidaklah terkait pada faktor fisik melainkan pada semangat patriotisme. Indonesia yang asli haruslah bermakna Indonesia yang sejati, yang memiliki semangat cinta tanah air dan seluruh bangsa serta memandang semua komponen bangsa sebagai sesama.
Jadi keaslian dikaitkan dengan faktor biologis maka etnik Jawa yang tinggal di Suriname atau orang Ambon eks KNIL atau RMS yang tidak pernah menjadi Indonesia, kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia mereka berhak menjadi presiden. Jadi sepertinya lebih berhak dibandingkan dengan etnik Tionghoa, Arab, India atau Indo yang turun temurun hidup disni dan telah berbuat banyak bagi kesejahteraan bangsa. Apakah ini tidak bertentangan dengan rasa keadilan yang berketuhanan?
Orang Dayak misalnya yang tidak menganggap suku lain katakanlah Madura (dan juga sebaliknya) sebagai sesama, sesungguhnya belumlah mengIndonesia. Tegasnya mereka bukan orang Indonesia sejati atau asli. Mereka masih berkutat pada semangat kesukuan atau semangat perkauman.
Oknum Tionghoa yang mengacaukan ekonomi dan menyebabkan kehancuran bank, tidak membayar pajak dengan adil, menyelundupkan kekayaan negara, tidak dapat dikategorikan Indonesia yang sejati. Bahkan tidak dapat dikategorikan kedalam kelompok Indonesia sama sekali. Mereka yang membesarkan gaji karyawan Tionghoa dan mengecilkan gaji non Tionghoa sama sekali mngIndonesia, walaupun memakai nama Indoensia dan berbahasa Indonesia dengan fasih serta mengenal sejarah perjuangan bangsa dengan baik. Tidak dapat disangkal banyak oknum Tionghoa yang melakukan tindakan kriminal dalam bidang ekonomi dan perdagangan dan tentunya tindakan kriminal lainnya yang menyakitkan bangsa Indonesia secara keseluruhan, baik etnik Tionghoa maupun Melayu. Mayoritas kaum Tionnghoa seperti halnya kaum lain adalah manusia yang sederhana yang hanya menginginkan kesejahteraan untuk keluarganya.
Fenomena penjarahan toko-toko walaupun milik etnik Tionghoa tidak konsistensi produk hukum dari penguasa dalam kaitannya dengan etnik Tionghoa serta berbagai tindakan diskriminatif yang masih tampak walaupun dengan mata telanjang di Indonesia adalah petunjuk masih kuatnya budaya kesukuan pada sebagian kalangan di Indonesia. Kelompok rasialis ini bukan saja telah merusak kaum Tionghoa tetapi juga ekonomi negara.
Kontibusi etnik Tionghoa dalam perekonomian Indonesia dapat dikaji sejak awal kedatangan etnik Han di Nusantara katakanlah sejak periode zaman pra Islam. Introduksi teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian seperti pembuatan gula tebu, tanaman jati, pendulangan emas dan timah. Teknik pengolahan kedele menjadi tahu, kecap dan tauco misalnya diajarkan oleh orang Tionghoa.
Dalam kehidupan modern etnik Tionghoa menyumbangkan tenaganya dalam bidang perdagangan dan telah menyediakan jutaan lapangan pekerjaan bagi semua pihak. Tidak sedikit yang berkarya dalam bidang olah raga, ilmu pengetahuan, kedokteran, pendidikan dan hampir semua bidang profesi lainnya. Ada juga yang menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Hingga detik ini sumbangan pemikiran etnik Tionghoa dalam pelbagai sektor amat besar.
Etnik Tionghoa hendaknya tidak ragu-ragu dalam membina negara dan bangsa Indonesia karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negera ini. Jasa etnik Tionghoa membangun negara dan bangsa Indonesia tidak sedikit dan terus terang saja jauh lebih besar dari sebagian suku-suku lainnya. Demi tegaknya rasa keadilan kita jangan segan-segan mengklaim sumbangan para tertua kita selama perjalanan sejarah. Mulai sekarang etnik Tionghoa harus merasa benar-benar at home di negara ini. Setiap individu Tionghoa harus aktif menangkis tuduhan yang tidak adil, setiap individu Tionghoa harus menuntut kehormatan yang sama tinggi. Kerusakan sistem ekonomi dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat dilakukan oleh semua pihak tanpa kecuali, baik Melayu, Melanesia maupun Tionghoa, baik yang berstatus, swasta, pegawai negeri, polisi maupun militer.
Peran Umat Ru Jiao
Nabi Kong Zi adalah tokoh yang amat prihatin melihat kemunduran sesama warga negara kerajaan Lu. Beliau tidak tinggal diam. Memulai karyanya sebagai pengelola gudang pangan kerajaan bandingkan dengan fungsi sistem logistik (Bulog) pada zaman kini. Pikirannya yang cemerlang dalam bidang kerohanian dan moral tetapi juga menyangkut bidang pembangunan pertanian, perpajakan, pendidikan dan keguruan, penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan protokoler.
Kita patutlah berteladan kepada Nabi Kong Zi secara konsekuen. Kita mempunyai kesempatan emas untuk berbuat kepada negara seperti yang dulu pernah dilakukan Nabi Kong Zi. Umat Ru Jiao yang diam saja ketika negara dalam keadaan tidak menentu tidak boleh masuk dalam hitungan sebagai umat yang beriman. Kita wajib membela sesama kita yang dijarah rumah atau tokonya dan juga wajib melindungi sesama wanita korban perkosaan rasialistis. Setiap individu Ru Jiao harus senantiasa membina diri agar dapat menjadi kader penegak moral dan bekerja nyata untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi inti semangat Ru Jiao (agama Khonghucu) adalah semangat bela bangsa dan negara.
Keadaan demogrfi dan landsekap politik sekarang ini sangat berbeda. Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekan homogenitas diatas keragaman tidak mengikuti irama zaman. Kebudayaan yang kita hadapi bukan cuma nasional tetapi multinasional. Konfigurasi kebudayaan Indonesia akan semakin mendekati konfigurasi kebudayaan Amerika, Eropa, Arab dan Tiongkok, Jepang, Korea dan seterusnya disini. Keanekaragaman tidak hanya antar suku bangsa-bangsa yang telah ada, tetapi dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Jadi konsep kebangsaan zaman kini haruslah suatu konsep yang terbuka dan semakin menuju pada semangat internasionalisme.
Pergerakan semangat kebangsaan justru akan semakin mendekati Ru Jiao (agama Khonghucu) bahwa dari penjuru lautan dan daratan manusia bersaudara. Tetapi semangat kebangsaan baru dapat terhayati dengan sempurna jika dipraktekkan. Belajar tetapi tidak diterapkan bagai makan tidak ditelan, tidak ada faedahnya untuk kesejahteraan jiwa dan raga. Semoga Shang Di memberkati kita semua dan Semoga Ru Jiao (Agama Khonghucu) menerangi setiap relung kehidupan kita. Semoga umat Ru semakin jaya dan bercahaya. Shanzai! Shanzai!
Print this page
Indoensia pun adalah bangsa yang masih dalam proses pembentukan (in the making), dimana perkawinan antara kulit putih, Melayu, Melanesia (Papua), Tionghoa dan Arab akan terus berlangsung. Istilah pribumi atau bumiputera boleh-boleh saja, asalkan kita tahu bahwa tidak ada permisahan yang absolut dan abadi. Antara kelompok pribumi dan pendatang tidak bersifat dikotomis tetapi suatu kontinuum. Oleh karena itu etnik Tionghoa tidak perlu ragu dalam membaur dengan suku-suku lain di Indonesia karena pada dasarnya kita semua bersaudara.
Etnik Yu dan Han sebenarnya memiliki hubungan yang sangat ideal. Nenek moyang kaum Han adalah kawula dari Raja Huang Di sedang asal usul kaum Yu modern dapat dirunut pada Raja Shun yang sangat dijunjung tinggi oleh Nabi Kong Zi. Keluarga Shun berasal dari pedalaman pegunungan Shandong. Menurut Meng Zi keluarga Shun adalah kaum barbar yang bermukim di Timur Zhong Guo kuno yang terletak di Timur Laut kawasan Hunan. Ibunda Raja Shun meninggal dan ayahnya menikah lagi. Atas anjuran istri keduanya, ayahnya berusaha membunuhnya. Shun melarikan diri ke arah Barat Hunan dan menetap di Li Shan dan kemudian mendirikan kerajaan Yu (23 SM).
Tionghoa Bukan Minoritas Tetapi Termasuk Komunitas Besar
Kita telah terlanjur menghadapkan Tionghoa dengan seluruh bumiputera. Dikhotomi ini tidak tepat, karena bumiputera tidak homogen. Pertama dapat dibagi menjadi Melayu dan Melanesia (Papua, sebagian Timor, Maluku dan sebagainya). Kedua Melayu dapat dipilah-pilah menjadi pelbagai suku mulai dari Manado, Batak hingga Aceh. Berapakah jumlah mereka masing-masing menurut kelompoknya. Di Flores saja tidak kurang dari 5 suku padahal jumlah mereka tidak lebih dari 700.000 jiwa. Bandingkan dengan etnik Tionghoa yang ditaksir berjumlah 7 juta jiwa. Etnik Tionghoa termasuk kelompok besar seperti halnya Jawa, Sunda, Madura, Minang dan Bali. Perspektif dari mental etnik Tionghoa harus berubah dari merasa inferior karena dianggap minoritas menjadi etnik dengan semangat dan perilaku sebagai mana layaknya salah satu kelompok yang besar.
Ikatan Emosional Suatu Hal Wajar
Sewaktu Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi di tembak mati di daerah Tamil Nadhu, India, sekelompok orang India di Singapura menyatakan rasa duka citanya secara bersama-sama dengan memanjatkan do'a di pelbagai Kuil Hindu. Tidak terdengar protes dari rakyat Singapura baik dari kalangan etnik Tionghoa maupun Melayu. Sebagai orang Indonesia saya merasa heran. Bagaimana mungkin orang Singapura walaupun mereka keturunan India dapat menyatakan rasa duka cita secara terbuka? Bukankah mereka ini warga negara Singapura? Adakah rasa kesingapuraan mereka perlu diragukan? Ternyata tidak! Salah seorang Menteri Singapura malah mengunjungi mereka untuk menyatakan rasa duka cita. Memang begitulah rasa simpati tidak dapat dibendung karena suatu status kewarganegaraan.
Kunjungan kesenian dan kebudayaan Tamil datang silih berganti, bahkan digalakkan oleh pemerintah Singapura. Demikian pula kunjungan kebudayaan Indonesia ke Suriname dan sebaliknya adalah sesuatu yang patut digalakkan. Kedatangan penyanyi Mus Mulyadi dan Emilia Contessa ke Suriname memuaskan kerinduan etnik Jawa yang bermukim disana. Hadiah seperangkat gamelan dari mantan Presiden Soeharto sangat dihargai oleh warga Jawa Suriname.
Hadirnya paguyuban budaya Korea, Jepang, Vietnam dan Tiongkok antara lain di Peru, Argentina, Amerika Serikat justru disambut baik oleh pemerintah setempat untuk membina kontak-kontak dagang, disamping itu mereka dapat memperlajari kebudayaan asing dan menambah khasanah kebudayaan dan teknologi. Ragam makanan dan minuman, musik dan kosakata diperkaya yang dibawa kaum imigran.
Semangat Pribumi Yang Baru
Semangat kepribumian (nativisme) mau tidak mau akan berakhir. Mantan Perdana Menteri Mahatir Muhammad yang dikategorikan bumiputera, ayahnya berasal dari India. Datuk Harris Saleh tokoh penting negeri Sabah kakeknya India asli. Tengku Abdurrahman Putra seorang founding father kerajaan Malaysia berasal dari Thailand. Orang Kelantan penganut agama Islam yang soleh banyak yang berdarah Tionghoa. Gelaran Che, yang banyak digunakan di negara bagian ini (misalnya Che Yan bin Che Akbar) mulanya merupakan panggilan kesayangan Tionghoa muslim. Kata Che (encik) artinya paman berasal dari bahasa Hokkian. Sedang kata baba (tuan muda) diambil dari bahasa Turki yang artinya tuan muda. Petinggi Malaysia dikategorikan bumiputra bukan karena darahnya, tetapi karena semangat patriotismenya yang kukuh. Rasa cinta tanah air semangat bela bangsa yang kuat bagi semua anak bangsa yang menjadikan mereka bumiputra yakni seorang putra Malaysia yang sejati.
Mantan Perdana Menteri Thailand seperti Banharn Silpaarcha dan Chuan Leekpai adalah orang Tionghoa. Raja Thailand dan dinasti Chakry berdarah Sichuan. Tokoh Jose Rizal (pahlawan Filipina) dari Filipina adalah etnik Tionghoa. Demikian pula baik dalam tubh Corazon Aquino maupun Marcos mengalir darah Tionghoa. Untuk sekedar melengkapi catatan secound Perdana Menteri Hunsen dari Kamboja adalah orang Teochiew. Mereka semua adalah Thailand asli, Kamboja asli, Filipina asli, karena mereka berjiwa patriot sejati, mencintai bangsanya sepenuh hati.
Senang atau tidak senang, Indonesia dimasa datang mungkin saja dipimpin oleh non bumiputra entah Arab, Tionghoa, India, Kaukosoid bahkan Afrika. Dapat saja dipimpin oleh mereka yang tidak menganut agama mayoritas. Seperti juga bisa saja negara lain dipimpin oleh etnik Indonesia. Dunia akan semakin bersatu, tidak ada sesuatu kekuatan yang mampu menahan, karena demikianlah kehendak Shang Di, Tuhan Yang Maha Besar, agar semua manusia menjadi bersatu.
Menuju Indonesia Yang Asli dan Sejati, Suatu Pandangan Jauh Kedepan
Dalam kehidupan politik yang modern pengertian nasion (bangsa) tidak dikaitkan dengan faktor etnis, tetapi dengan rasa solidaritas dengan sesama warga negara untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan bernegera. Keaslian tidaklah terkait pada faktor fisik melainkan pada semangat patriotisme. Indonesia yang asli haruslah bermakna Indonesia yang sejati, yang memiliki semangat cinta tanah air dan seluruh bangsa serta memandang semua komponen bangsa sebagai sesama.
Jadi keaslian dikaitkan dengan faktor biologis maka etnik Jawa yang tinggal di Suriname atau orang Ambon eks KNIL atau RMS yang tidak pernah menjadi Indonesia, kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia mereka berhak menjadi presiden. Jadi sepertinya lebih berhak dibandingkan dengan etnik Tionghoa, Arab, India atau Indo yang turun temurun hidup disni dan telah berbuat banyak bagi kesejahteraan bangsa. Apakah ini tidak bertentangan dengan rasa keadilan yang berketuhanan?
Orang Dayak misalnya yang tidak menganggap suku lain katakanlah Madura (dan juga sebaliknya) sebagai sesama, sesungguhnya belumlah mengIndonesia. Tegasnya mereka bukan orang Indonesia sejati atau asli. Mereka masih berkutat pada semangat kesukuan atau semangat perkauman.
Oknum Tionghoa yang mengacaukan ekonomi dan menyebabkan kehancuran bank, tidak membayar pajak dengan adil, menyelundupkan kekayaan negara, tidak dapat dikategorikan Indonesia yang sejati. Bahkan tidak dapat dikategorikan kedalam kelompok Indonesia sama sekali. Mereka yang membesarkan gaji karyawan Tionghoa dan mengecilkan gaji non Tionghoa sama sekali mngIndonesia, walaupun memakai nama Indoensia dan berbahasa Indonesia dengan fasih serta mengenal sejarah perjuangan bangsa dengan baik. Tidak dapat disangkal banyak oknum Tionghoa yang melakukan tindakan kriminal dalam bidang ekonomi dan perdagangan dan tentunya tindakan kriminal lainnya yang menyakitkan bangsa Indonesia secara keseluruhan, baik etnik Tionghoa maupun Melayu. Mayoritas kaum Tionnghoa seperti halnya kaum lain adalah manusia yang sederhana yang hanya menginginkan kesejahteraan untuk keluarganya.
Fenomena penjarahan toko-toko walaupun milik etnik Tionghoa tidak konsistensi produk hukum dari penguasa dalam kaitannya dengan etnik Tionghoa serta berbagai tindakan diskriminatif yang masih tampak walaupun dengan mata telanjang di Indonesia adalah petunjuk masih kuatnya budaya kesukuan pada sebagian kalangan di Indonesia. Kelompok rasialis ini bukan saja telah merusak kaum Tionghoa tetapi juga ekonomi negara.
Kontibusi etnik Tionghoa dalam perekonomian Indonesia dapat dikaji sejak awal kedatangan etnik Han di Nusantara katakanlah sejak periode zaman pra Islam. Introduksi teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian seperti pembuatan gula tebu, tanaman jati, pendulangan emas dan timah. Teknik pengolahan kedele menjadi tahu, kecap dan tauco misalnya diajarkan oleh orang Tionghoa.
Dalam kehidupan modern etnik Tionghoa menyumbangkan tenaganya dalam bidang perdagangan dan telah menyediakan jutaan lapangan pekerjaan bagi semua pihak. Tidak sedikit yang berkarya dalam bidang olah raga, ilmu pengetahuan, kedokteran, pendidikan dan hampir semua bidang profesi lainnya. Ada juga yang menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Hingga detik ini sumbangan pemikiran etnik Tionghoa dalam pelbagai sektor amat besar.
Etnik Tionghoa hendaknya tidak ragu-ragu dalam membina negara dan bangsa Indonesia karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negera ini. Jasa etnik Tionghoa membangun negara dan bangsa Indonesia tidak sedikit dan terus terang saja jauh lebih besar dari sebagian suku-suku lainnya. Demi tegaknya rasa keadilan kita jangan segan-segan mengklaim sumbangan para tertua kita selama perjalanan sejarah. Mulai sekarang etnik Tionghoa harus merasa benar-benar at home di negara ini. Setiap individu Tionghoa harus aktif menangkis tuduhan yang tidak adil, setiap individu Tionghoa harus menuntut kehormatan yang sama tinggi. Kerusakan sistem ekonomi dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat dilakukan oleh semua pihak tanpa kecuali, baik Melayu, Melanesia maupun Tionghoa, baik yang berstatus, swasta, pegawai negeri, polisi maupun militer.
Peran Umat Ru Jiao
Nabi Kong Zi adalah tokoh yang amat prihatin melihat kemunduran sesama warga negara kerajaan Lu. Beliau tidak tinggal diam. Memulai karyanya sebagai pengelola gudang pangan kerajaan bandingkan dengan fungsi sistem logistik (Bulog) pada zaman kini. Pikirannya yang cemerlang dalam bidang kerohanian dan moral tetapi juga menyangkut bidang pembangunan pertanian, perpajakan, pendidikan dan keguruan, penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan protokoler.
Kita patutlah berteladan kepada Nabi Kong Zi secara konsekuen. Kita mempunyai kesempatan emas untuk berbuat kepada negara seperti yang dulu pernah dilakukan Nabi Kong Zi. Umat Ru Jiao yang diam saja ketika negara dalam keadaan tidak menentu tidak boleh masuk dalam hitungan sebagai umat yang beriman. Kita wajib membela sesama kita yang dijarah rumah atau tokonya dan juga wajib melindungi sesama wanita korban perkosaan rasialistis. Setiap individu Ru Jiao harus senantiasa membina diri agar dapat menjadi kader penegak moral dan bekerja nyata untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi inti semangat Ru Jiao (agama Khonghucu) adalah semangat bela bangsa dan negara.
Keadaan demogrfi dan landsekap politik sekarang ini sangat berbeda. Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekan homogenitas diatas keragaman tidak mengikuti irama zaman. Kebudayaan yang kita hadapi bukan cuma nasional tetapi multinasional. Konfigurasi kebudayaan Indonesia akan semakin mendekati konfigurasi kebudayaan Amerika, Eropa, Arab dan Tiongkok, Jepang, Korea dan seterusnya disini. Keanekaragaman tidak hanya antar suku bangsa-bangsa yang telah ada, tetapi dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Jadi konsep kebangsaan zaman kini haruslah suatu konsep yang terbuka dan semakin menuju pada semangat internasionalisme.
Pergerakan semangat kebangsaan justru akan semakin mendekati Ru Jiao (agama Khonghucu) bahwa dari penjuru lautan dan daratan manusia bersaudara. Tetapi semangat kebangsaan baru dapat terhayati dengan sempurna jika dipraktekkan. Belajar tetapi tidak diterapkan bagai makan tidak ditelan, tidak ada faedahnya untuk kesejahteraan jiwa dan raga. Semoga Shang Di memberkati kita semua dan Semoga Ru Jiao (Agama Khonghucu) menerangi setiap relung kehidupan kita. Semoga umat Ru semakin jaya dan bercahaya. Shanzai! Shanzai!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH