Oleh :
Mashudi,S.Pd
Guru SMPN 4 Tigaraksa
Sahabatku
yang baik ini, menuturkan kisahnya kepadaku, “Suatu hari ketika aku mengajar di
STM tomotif kelas 3, suasana tidak
seperti biasanya. Tenang, agak sunyi dan kondusif. Biasanya, kelas itu kelas
yang super ramai, gaduh, selalu berisik dan para siswanya super sibuk. Tapi,
hari itu sangat berbeda. Semua siswa, memperhatikan pelajaran yang aku
sampaikan dengan seksama dan sungguh-sungguh.
Di
tengah-tengah pelajaran, aku membuka kotak pensilku untuk mengambil spidol,
dengan sangat terkejut, aku mendapatkan beberapa jenis serangga yang sudah
mati. Mereka tahu, kalau aku termasuk orang yang takut dengan makhluk-makhluk
tersebut. Ini pasti kerjaan anak-anak itu. Aku berusaha mengontrol diri,
menahan emosi, meredam amarah. Aku lulus ujian hari ini.” Paparnya, mengakhiri
kisah singkatnya. Waktu kita
masih sekolah, jangankan “ngerjain” guru, bertemu saja kadang kita menghindar
bahkan cenderung takut. Zaman itu, kita benar-benar sangat hormat kepada
bapak-ibu guru kita. Mereka adalah orang-orang yang di kirim Tuhan sebagai
pembuka jalan, penerang dunia, pengantar ke langit bahagia. Wajib bagi kita
untuk selalu menghargai dan menghormati beliau-beliau itu. Wajib bagi kita
untuk selalu mendoakan dan memberikan yang terbaik untuk orang-orang mulia itu.
Tak sebesar depu pun, jiwa dan dirinya boleh terlukai, termasuk harkat,
martabat dan derajatnya.
Tetapi
anak-anak kita sekarang, adalah anak-anak yang terlahir di era informasi dan
teknologi yang super canggih. Modernisasi di pelbagai hal, penyerapan
pembudayaan yang melonggar, pelunturan pada tata karma, etika, akhlak, budi
pekerti dan sejenisnya. Adalah merupakan factor yang memungkinkan bergesernya
nilai-nilai penghormatan anak-anak kita kepada kita plus, minimnya pembelajaran
agama dan budi pekerti. Sehingga sangat memungkinkan, anak-anak kita bereaksi
melebihi batas kewajaran. Lalu adakah yang salah dalam ssstem pendidikan kita?
Kalau kita memang ada, siapakah yang bersalah? Gurukah, orang tuakan,
masyarakatkah, irjen, dirjen, menteri atau siapa lagi? Ataukan kita akan
mencari kambing hitam?
Anak-anak
kita adalah anak-anak yang hebat, cerdik, dan sedikit licik. Mereka pandai.
Pandai meniru tanda tangan orang tua jika tidak masuk sekolah. Pandai memainkan
HP, jemarinya begitu lincah ketika ber-sms-an. Laksana seorang operator
komputer tingkat tinggi. Mereka pandai
berbahasa yang kita tidak ketahui bahasanya. Mereka pandai berinternet-an.
Pandai membuka situs-situs “terlarang” mereka lebih menguasai teknologi (maaf)
ketimbang kita. Apalagi kita yang tergolong “gaptek” yang tidak mau belajar
berteknologi. Lalu siapa yang salah? Kitakah?
Andakah? Mereka lebih maju menerapa langkah ketimbang kita. Mereka sudah
pandai berlari, sementara kita baru mulai belajar berjalan mereka telah terbang
tinggi, melayang, mengudara, kita masih jalan di tempat. Kita terlalu lama
tertidur lelap dan terasa sulit terjaga dari tidur yang berkepanjangan. Lalu
siapa yang salah, anakkah? Ataukah memang kita sebagai orang tua (guru) yang
salah? Mungkinkah ada sesuatu yang salah atas diri kita? Ikhlaskan kita dalam
mengajar? Benarkan kita saat mengajar? Baguskan akhlak kita dihadapan mereka
dan di belakang mereka? Halalkan rezeki yang kita nikmati dari hasil kerja
kita? Tampaknya kita harus banyak bercermin dan memasang seluruh ruangan dengan
cermin, sehingga kita dapat menatap diri kita yang sesungguhnya setiap saat,
setiap detik, setiap menit dan setiap berkesempatan. Terutama cermin yang dapat
menangkap sinyal-sinyal qalbu dan pikiran kita. Qalbu dan pikiran yang bening ,
putih bersih. Yang setiap saat terbasuh
oleh sinar-sinar keimanan, oleh
cahaya-cahaya keilahian sehingga akan terbit serta ternikmatilah nuansa
kedamaian, kesejukan, ketentraman, keharmonisan dan keindahan pada diri kita.
Leo
Tolstoy, mengingatkan kepada kita, ”semua orang berpikir untuk mengubah dirinya
sendiri.” Kita tidak akan pernah berubah manakala kita tidak mau berubah. Tuhan
tidak pernah memberikan hadiah secara langsung dari langit. Tuhan akan memberikan
kita hadiah teristimewa berupa emas, intan, berlian dan mutiara dalam kemasan
kesulitan-kesulitan, dalam bungkus pemrosesan dan kesulitan terdapat “nilai”
yang amat sangat bermakna dan berhikmat. Miss Dessy telah bertindak tepat. Ia
mampu mengontrol diri, menahan emosi dan meredam amarah. I’m approud of you,
success forever….
Sumber
: Tabloid Pendidikan Edisi 27/Tahun II
28 Feb.-15 Mar.2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH