Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Laku Bakti

Penulis : Js.Bambang - Bandung

Kita sering berkata Laku Bakti, Laku Bakti.... tapi, pernahkah kita mengajarkan pada anak-anak tentang Laku Bakti?

Pernahkah terpikir jika suatu saat di masa tua nanti hidup sebatang kara tidak diacuhkan oleh anak-anak? Mungkin pada saat ini belum terpikirkan. Atau ada sebagian orang yang bertanya, mengapa hal itu harus dipikirkan, toh pada saatnya nanti kita akan tahu dan mengalaminya.

Memang pendapat ini tidaklah salah. Namun ada baiknya kalau kita mulai memikirkannya dari sekarang, karena jika menunggu saatnya tiba pasti sudah terlambat.

Sebenarnya ada satu hal yang diajarkan dalam agama Khonghucu yang patut mendapat perhatian untuk dilaksanakan yaitu Hauw (Bakti). Namun sayang sekali kita lebih sering hanya membicarakannya tanpa mau melakukannya. Kita lebih sering menuntut anak-anak untuk berlaku Bakti kepada orang tua tapi pernahkan kita memberi contoh kepada mereka?
Ada sebuah ilustrasi :
Pada suatu saat ada seorang umat Khonghucu yang disegani sehingga boleh dikatakan seorang tokoh. Pada awalnya, istri dan anak-anaknya adalah umat Khonghucu yang taat. Pada saat anak-anaknya usia sekolah, mereka mendapat pendidikan disekolah yang terbaik. Lewat pendidikan sekolah inilah kemudian mereka mulai belajar ajaran yang lain (karena merupakan suatu keharusan jika ingin memperoleh pendidikan disekolah tersebut). Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan bahkan tahun berganti tahun tapi bimbingan agama tidak lagi diberikan oleh ayahnya. Suatu saat anak yang sulung berkata, "Papa bolehkah saya pindah ke agama yang lain?" Ayahnya seorang umat Khonghucu yang baik berpikir "mengapa saya harus menolak permintaan anakku, di dalam ajaran Khonghucu dikatakan jangan kukuh dan jangan mengharuskan". Pemikiran sang ayah memang benar tetapi tanpa pemahaman arti yang sebenarnya dari ayat itu.

Kemudian sang ayah berkata kepada anaknya, "Kalau begitu pilihan kamu maka papa tidak akan menghalanginya asalkan kamu benar-benar menyakini keyakinan barumu". Setahun lewat ternyata sang anak sulung memang sangat taat pada agamanya. Sakinng taatnya dia kemudian mengajak adiknya untuk pindah dengan segala rayuan dan janji-janji yang manis. Pertama sang adik menolak tapi lama kelamaan akhirnya iman adiknya runtuh. Berpindahlah adiknya ke ajaran yang dianut kakaknya. Lama kelamaan semua anak dan kemudian istri sang tokoh ini berpindah keyakinan. Dan ternyata dalam keyakinan yang baru tersebut mereka menganggap bahwa tidak perlu repot-repot memikirkan ayahnya yang masih menganut ajaran Khonghucu.

Walaupun seluruh keluarganya telah berpinndah ajaran, namun sang tokoh ini masih tetap rajin datang ke Lithang untuk melaksanakan kewajibannya kepada Tian. Suatu saat sang tokoh ini jatuh sakit dan berpesan kepada anak dan istrinya, "Ayah ingin kalau ayah meninggal nanti dimakamkan secara agama Khonghucu." Pada saat itu anaknya yang sulung berkata, "Mengapa ayah tidak ikut saja bersama kami sehingga tidak merepotkan pada saat pemakaman nanti?" Mendapat jawaban seperti itu sang tokoh dengan perasaan yang luka, "Mengapa anak-anakku sampai seperti ini?"

Tapi pemikiran ini kiranya sudah sangat terlambat. Penyakit sang tokoh kemudian semakin parah. Sampai suatu ketika dalam keadaan yang sangat parah sehingga tak sadarkan diri sang tokoh dipindahkan keyakinannya oleh anak-anaknya melalui suatu upacara (yang katanya sakral). Dua hari kemudian sang tokoh meninggal dunia tanpa tahu apa yang telah diperbuat anak-anaknya terhadapnya. Mungkin kalau dia tahu dia pasti tidak akan pernah memaafkan anak-anaknya.

Tiba acara pemakaman, sang tokoh dimakamkan menurut keyakinan lain yang tidak pernah diyakininya. Setelah dimakamkan, makamnya tidak pernah dirawat dan disembahyangi oleh anak-anaknya. Mungkin kejadian diatas hanyalah sebuah ilustrasi. Namun dari sini kita dapat melihat bahkan mungkin mengatakan bahawa anak dan istri sang tokoh tersebut sungguh sangat tidak berbakti. Tapi sebenarnya  dalam hal ini, anak dan istri sang tokoh tersebut tidak terlalu bersalah. Pernahkah terpikir oleh kita mengapa mereka sampai tidak berlaku bakti seperti itu? Di sana terlihat jelas bahwa sebenarnya sang tokoh tersebut tidak mendidik anaknya untuk berlaku Bakti. Dan hal ini merupakan hal yang lumrah terjadi dikalangan kita. Kita hanya selalu menuntut agar anak-anak berlaku Bakti terhadap orang tua. Tapi ternyata kita sendiri tidak pernah memberikan contoh atau teladan kepada anak-anak kita. Kita selalu menuntut anak-anak kita untuk berlaku Bakti tapi pernahkah kita mengajarkan pada mereka untuk Laku Bakti?

Saat ini marilah kita merenungkan kembali dan kemudian mengambil tindakan untuk memperbaiki hal ini sebelum terlambat. Mulailah didik anak-anak kita sejak dini dengan sikap Bakti.

Sumber : Genta Rohani Karya ke-91 Desember 94

2 komentar:

  1. Artikelnya sangat bagus.
    Membuat saya selalu menanti postingan baru terus.
    Mantap!

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas dukungannya..

    BalasHapus

TERIMA KASIH