Penulis : Tan Sudemi
“Sepeninggal Raja Wen, bukankah
kitab-kitabnya Aku yang mewarisi?”
“Bila Tian Yang Maha Esa, hendak
memusnahkah Kitab-kitab itu, Aku sebagai orang yang lebih kemudian, tidak akan
memperolehnya. Bila Tian tidak hendak memusnahkan Kitab-kitab itu, apa yang
dapat dilakukan orang-orang negeri Kuang atas diriKu?” (Lun Yu IX : 5)
1.
Latar Belakang
Setelah wafatnya Nabi Agung Kongzi,
Ru Jiao (agama Khonghucu) dilanjutkan
penyebarannya oleh murid-murid Nabi Kongzi. Karena jarak yang memisahkan dan
terutama sekali oleh kurangnya pendalaman akan makna hakiki dari ajaran suci
ini yang kemudian muncul beratus aliran[1]beserta
berbagai tafsiran. Periode ini merupakan pengalihan zaman Chun Qiuatau Zaman Musim Semi dan Musim Rontok (722 SM-476 SM) yang
merupakan masa menurunnya kekuasaan dan kewibawaan Dinasti Zhou ke tangan raja muda pemimpin kepada zaman Zhan Guoatau Zaman Perang Antar Negara (476 SM-221 SM) yang
memunculkan tujuh kekuatan negara (Qi,
Yan, Zhao, Wei, Han, Chu, Qin) yang terus saling berperang dan tidak lagi
mengakui kekuasaan Dinasti Zhou.Di
antara ketujuh negara, Negeri Jin adalah negeri yang paling kuat dan agresif
yang ingin menaklukan keenam negara tersebut.
Dalam zaman yang diliputi kegelapan
dan penderitaan ini ternyata Tian tidak menghendaki ini berlarut dengan segala
kerusakan dalam agama Khonghucu dan Tian telah menurunkan Mengzi (372 SM-289
SM) yang menegakkan dan meluruskan kembali kemurnian ajaran suci agama
Khonghucu.Mengzi menerima bimbingan agama ini dari ibunya dan dari ajaran salah
satu seorang murid Zi Si, cucu Nabi Kongzi yang menjadi murid Zeng Zi.Mengzi
memberikan penegasan dan penglurusan dari ajaran suci agama Khonghucu.Pada
akhirnya agama Khonghucu terselamatkan dari penyimpangan dan penyelewengan dari
kemurniannya.
Pada masa Chan Guo ini muncul seorang tokoh patriotisme dan sastrawan yang
bernama Chu Yuan (Khut Gwan)yang mencintai tanah airnya.
Chu Yuan (Khut Gwan) ialah seorang menteri besar dan setia
dari negeri Chu (Cho), beliau seorang tokoh yang paling berhasil menyatukan
keenam negeri itu untuk menghadapi negeri Jin (Chien). Karena itu orang-orang
negeri Jin (Chien) berusaha menjatuhkan nama baik Chu Yuan (Khut Gwan). Mereka
berhasil meretakkan hubungan Chu Yuan dengan Rajamuda Negeri Chu (Cho). Chu
Yuan (Khut Gwan) di pecat dan dihukum buang ke wilayah lain. Pada akhirnya
Negeri Chu (Cho) berhasil ditaklukan Negeri Jin (Chien).Ketentraman Khut Gwan
dihancurkan oleh berita binasanya ibukota Negeri Chu.Khut Gwan kemudian mengakhiri
hidupnya di sungai Miluo (Bik Loo).Chu Yuan (Khut Gwan) meninggal tepat pada
hari Twan Yang.[2]Setiap
hari Suci Twan Yang[3]
yang jatuh pada tanggal 5-5 Imlek, umat Khonghucu juga memperingati dan
mengenang jasa-jasa baik Chu Yuan (Khut Gwan).
Sesudah Mengzi wafat muncul tokoh
lain ialah Xunzi (Suncu)[4],
seorang cendekiawan yang cerdas, berpengetahuan luas, banyak pengalaman dan
pengagum Nabi Kongzi. Namun Xunzi lebih menekankan perhatiannya pada pemecahan
masalah politik dalam menghadapi kemelut pada zaman itu daripada masalah
spiritual.
Kaisar terakhir Dinasti Zhou adalah
Ji Yan yang bergelar Nanwang memerintah tahun 314-256 SM. Kaisar sendiri,
seorang keturunan yang lemah dan tidak berarti dari keluarga Zhou yang
budiman,dan akhirnya menjadi penakut.
Sepanjang 59 tahun pemerintahannya (314
SM-256 SM), ia berulang kali mengubah posisi aliansinya. Ketika raja Zhao dari
Qin berhasil merebut kota Yangcheng dari Han pada tahun 256 SM, raja Nanwang
yang ketakutan mengubah posisinya menjadi mendukung Aliansi Anti-Qin dan
memutus hubungan antara Yancheng dengan negeri Qin. Raja Qin yang mengetahui
hal ini menjadi marah dan memerintahkan agar pasukan Qin menyerang Zhou Barat
tempat bertahtanya Raja Nanwang. Mendengar ibukotanya akan diserang, Raja
Nanwang menjadi ketakutan dan buru-buru
menuju kota Xianyang untuk memohon ampun dari Qin. Ia berjanji akan menyerahkan
36 kota beserta 30 ribu penduduknya kepada Qin sebagai permohonan maaf. Raja
Zhao menerima permohonan itu dan melepaskan raja Nan kembali ke Zhou.[5]
Belakangan, Qin tetap menyerang
ibukota Zhou pada tahun 256 SM serta membuang kaisar dan Bangsawan Penguasa
Dinasti Zhou Belahan Barat ke Lingxian yang terletak di Provinsi Henan
sekarang.Kaisar Zhou Nanwang serta Bangsawan Penguasa Dinasti Zhou Belahan
Barat wafat pada tahun itu juga.Pihak Qin lalu merampas harta pusaka Dinasti
Zhou yang berupa 9 bejana perunggu[6]dan
mengirimkannya ke Xianyang.Peristiwa ini mengakhiri Dinasti Zhou yang telah
berkuasa selama kurang lebih delapan abad.[7]
Dengan kematian Kaisar Nanwang dari
Zhou dan dipindahkannya 9 bejana perunggu (Ding) ke Qin, dinasti Zhou
dinyatakan berakhir dan penanggalan kemudian beralih kepada penanggalan
kerajaan Qin.Meskipun demikian, Periode Negera Berperang belum berakhir sampai
pada penyatuan Tiongkok oleh Raja Zheng dari Qin atau Qinshihuang.
Tidak lama kemudian Raja Zhao
melakukan pemujaan terhadap Tian dan memohon restu sebagai Tianzhu (Putera
Tuhan) dan menyebut dirinya sebagai Kaisar.Rajamuda-rajamuda lainnya marah dan
menolak untuk mengakui dirinya sebagai kaisar.
Pada tahun 247 SM, Ying Zheng yang
masih remaja naik tahta menggantikan ayahnya yang meninggal dunia secara
mendadak. Setelah menghabiskan waktu selama 17 tahun, ia akhirnya menerima
penyerahan wilayah Negara bagian yang masih tersisa, yaitu Qi. Dengan
menyerahnya raja Qi, Ying Zheng secara langsung menjadi penguasa mutlak atas
Tiongkok. Wilayahnya membentang luas ke timur sampai utara semenanjung Korea,
ke barat sampai ke Lintao (sekarang kecamatan Minxian di Gansu), ke selatan
sampai ke pesisir Guangdong (atau bahkan bagian utara Vietnam) dan ke utara
sampai Liaodong, (sekarang kota Shenyang di Liaoning). Daerah seluas ini belum
pernah dikuasai secara tunggal sejak zaman dinasti Xia sekalipun.[8]
Setelah menaklukan negeri Qi, Yin
Zheng menobatkan dirinya sebagai Kaisar Dinasti Qin dengan gelar Shih Huangdi
pada tahun 221 SM, ia memerintah dari tahun 221 SM-210 SM. Pada periode Dinasti
Qin, agama Khonghucu memasuki babak baru, upaya untuk melenyapkan Ru Jiao
(agama Khonghucu) dan tekanan politik terhadap pengikut kaum Ru Jioa.
2.
Berdirinya
Dinasti Han
Dikisahkan
akibat perebutan kekuasaan di Negeri Lu, menyebabakan kekacauan dan keamanan
yang tidak terkendali membuat rakyat hidup sengsara.Nabi Kongzi meninggalkan
Negeri Lu menuju Negeri Qi.Dalam perjalanannya Nabi Kongzi beserta
murid-muridnya melewati kaki gunung Tai San, mendengar tangisan suara wanita
yang sangat memilukan hati.Nabi Kongzi menyuruh Zi Gong untuk mencari dan
menemukan wanita itu. Wanita itu menangis di depan makam, ketika ditanya ia
menjelaskan bahwa mertuanya, suaminya, dan kini anaknya telah mati diterkam
harimau. Dengan terkejut, Zi Gong menanyakan, “Mengapa, Anda tidak meninggalkan
tempat ini?” wanita itu menjawab, setidak-tidak ditempat ini, tidak ada
pemerintah yang berlaku kejam terhadap kami.Dengan amat menyesal dan terharu Zi
Gong meninggalkan wanita itu dan menceritakan hal ini kepada Nabi Kongzi.Nabi
Kongzi dengan hati yang pedih bersabda, “Hai, murid-murid-Ku, ingatlah
pemerintah yang kejam itu lebih ditakuti daripada buasnya harimau.”
Kaisar Shih Huangdi berhasil
menyatukan neger-negeri terpisah menjadi satu Negara, Dinasti Qin.Sistem
pemerintah dirubah dari feodalisme menjadi pemerintah terpusat, kerajaan yang
semula dipimpin oleh rajamuda, diganti menjadi wilayah provinsi dan dipimpin
oleh seorang gubernur. Semua tuan tanah dan petani yang memiliki tanah harus
mendaftarkan area tanah yang mereka miliki dan harus membayar pajak kepada
pemerintah. Sehingga kepemilikan tanah mereka diketahui dan dilindungi Negara. Kaisar
Shih Huangdi juga berhasil menstandarkan sistem pengukuran dan mata uang. Salah
satu keberhasilannya adalah menyatukan aksara-aksara yang berbeda menjadi satukesatuan dan disebarkan ke seluruh negeri. Aksara ini
kemudian diteruskan oleh Dinasti Han yang saat ini lebih dikenal sebagai bahasa
dan huruf Hanzi atau bahasa Mandarin.Selain itu menstandarkan lebar jalan-jalan
dan panjang as roda-roda kereta di perbaiki. Untuk melindungi negra dari
serangan suku-suku dari Xiongnu, ia memerintahkan pembangunan tembok raksasa
yang menelan korban nyawa tidak sedikit.
Selama masa pemerintahannya, Kaisar
Shih Huangdi didampingi oleh seorang Perdana Menteri bernama Li Si.Li Si yang
memang anti terhadap pengikut agama Khonghucu menghasut Kaisar Shih Huangdi
untuk melenyapkan agama Khonghucu.
Li Si berkata “Kaisar-kaisar dari
zaman dahulu tidak begitu bijaksana seperti sangkaan kita. Kerajaan mereka
selalu kacau balau dan dalam peperangan. Pemerintahan Baginda sekarang ini
adalah lebih baik, karena lihatlah! Kerajaan ini aman, meskipun hanya
diperintah oleh seorang saja! Pujangga-pujangga ini terlalu banyak membaca
buku-buku kuno, sehingga mereka hanya ingat kepada zaman yang telah silam saja
dan tidak dapat melihat waktu sekarang ini! Apa yang dikatakan meraka adalah
omong kosong belaka, tetapi dapat menimbulkan keonaran, karena Baginda dicela
dimuka umum sebagai raja yang tidak seperti raja-raja di zaman yang lalu. Saya
usulkan, supaya semua buku-buku kuno dibakar, dan setiap orang yang
membicarakan tentang zaman yang sudah lalu dan mencela keadaan sekarang ini,
harus dihukum mati.”[9]
Li Si telah membantu Qin Shih
Huangdi menjadi raja besar, tetapi kemudian ternyata ia pula yang telah
membantu raja itu di dalam kekalapannya, yaitu melenyapkan segala hasil
kebudayaan lama yang diprasangkakan dapat membahayakan cita-cita kerajaan
barunya. Di dalam pemerintahan yang bersifat diktator dan totaliter itu
ternyata masih ada para Phoksu / Boshi (sarjana dan rohaniwan) Ru Jiao atau
Agama Khonghucu yang berani mengeluarkan pendapat dan kritik, bahkan sering
terang-terangan; maka Li Si telah mengusulkan dilakukan larangan memiliki dan
membaca Kitab-kitab Suci Konfuciani : dilakukan perampasan dan pembakaran
Kitab-kitab Suci pada tahun 213 SM. Para Boshi yang berani menentang ditangkap
dan dihukum menjadi pekerja paksa membuat tembok besar, bahkan ada 460 orang
Boshi pada tahun berikutnya 212 SM dihukum kubur hidup-hidup di ibukota Ham
Yang / Xian Yang.[10]
Selama pemerintahan Kaisar Shih
Huangdi, rakyat hidup menderita, selain kerja paksa, rakyat pun diwajibkan
membayar pajak yang sangat mahal hingga dua pertiga hasil panen, faktor inilah
yang mendorong pemberontakan yang dipimpin oleh para petani.
Selama masa pemerintahannya, Kaisar Shih Huangdi banyak melakukan proyek-proyek besar seperti pembangunan Istana Epang, pembangunan Tembok Raksasa untuk menghalau suku-kuku barbar Xiongnu di utara, kaisar mengerahkan 300 ribu pasukan ditambah dengan ratusan ribu rakyat ke utara, tidak hanya itu saja, kaisar juga memerintahkan ratusan ribu penduduk dan para tahanan untuk membangun Mausoleum Lishan, makam Kaisar Shih Hudngdi.
Selama masa pemerintahannya, Kaisar Shih Huangdi banyak melakukan proyek-proyek besar seperti pembangunan Istana Epang, pembangunan Tembok Raksasa untuk menghalau suku-kuku barbar Xiongnu di utara, kaisar mengerahkan 300 ribu pasukan ditambah dengan ratusan ribu rakyat ke utara, tidak hanya itu saja, kaisar juga memerintahkan ratusan ribu penduduk dan para tahanan untuk membangun Mausoleum Lishan, makam Kaisar Shih Hudngdi.
Akibat tekanan yang dirasakan oleh
rakyat begitu beratnya kehidupan, timbullah keinginan untuk melakukan gerakan
perlawanan dan pemberontakan untuk menggulingkan dinasti Qin, yang digerakan
kaum petani.Salah satu gerakan perlawanan dipimpin Liu Bang.Kemenangan Xiang Yu
dan Liu Bang untuk mengakhiri kekuasaan Dinasti Qin tercapai.Xiang Yu
mengangkat keturunan Negeri Chu menjadi kaisar, Raja Chu Huai wang. Xiang Yu
kemudian membagi 18 wilayah atau negeri kerajaan bawahan seperti yang berlaku
pada masa dinasti Zhou yang dipimpin para rajamuda.Liu Bang menjadi Rajamuda
Negeri Han meliputi provinsi Sichuan dan Hanzhong. Pembagian kerajaan-kerajaan
ini terjadi pada tahun 206 SM dan nama Dinasti Han yang kelak didirikan oleh
Liu Bang berasal dari nama kerajaan yang dibagikan oleh Xiang Yu kepadanya.
Pembagian wilayah ini ternyata
tidak memuaskan kelompok pendukungnya, akibatanya Tiongkok kembali dilanda
perang saudara.Dalam petempuran antara Liu Bang dan Xiang Yu yang akhirnya
dimenangkan oleh Liu Bang. Xiang Yu yang terdesak oleh pasukan Liu Bang yang
tidak mau menyerahkan diri akhirnya mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.Liu
Bang secara pribadi memimpin upacara pemakaman untuk menghormati Xiang Yu, ia
tetap menghormati Xiang Yu sebagai seorang jenderal dan pahlawan besar, rekan
seperjuangan menumbangkan dinasti Qin. Setelah memakamkan Xiang Yu, Liu Bang
akhirnya didaulat para pendukungnya menjadi kaisar, Liu Bang menjadi Kaisar Pertama
Dinasti Han (206 SM-221 M) dengan gelar Han GaoZu (206-195 SM). Pada periode
Dinasti Han, agama Khonghucu memasuki babak baru yakni Periode Pemulihan
Kedudukan dan Restorasi Kitab-kitab Suci Ru Jiao (Agama Khonghucu).
3. Kebangkitan Ru Jiao (Agama Khonghucu)
3. Kebangkitan Ru Jiao (Agama Khonghucu)
“O,Tian Yang Maha Esa Nampak belum juga menghendaki damai sejahtera di dunia ini. Kalau dikehendaki damai sejahtera di dunia saat ini, selain aku siapa pulalah (dapat membawakannya?Betapa aku tidak bermurung?” (Mengzi IIB:13 ayat 5)
Han Gau Zu mengganti nama ibu kota dinasti Qin, Xianyang,
menjadi Chang’an yang berarti Perdamaian Abadi. Amnesti umum diumumkan untuk
merayakan kemenangannya.Berbeda dengan Kaisar dinasti Qin, Shih Huangdi, Han
Gau Zu memperlakukan rakyatnya dengan lebih manusiawi dan hukum yang
diberlakukan tidaklah sekeras pada masa sebelumnya.Kaisar Han Gau Zu
menyelenggarakan upacara penghormatan besar di makam Nabi Agung Kongzi di Qufu.Agama
Khonghucu yang sempat dilarang pada Dinasti Qin, diizinkan kembali hidup dan
berkembang.
Pada periode pemerintahan Kaisar Han Wu Di (140 SM – 74 SM), agama Khonghucu mencapai
puncak kejayaannya, dibawah penasihat Boshi
dan cendekiawan agama Khonghucu, Dong Zhong Shu, pada tahun 136 SM, Kaisar
Han Wu Di menetapkan agama Khonghucu sebagai Agama Negara Dinasti Han dan pada
tahun 104 SM, menetapkan penanggalan Dinasti Xia, yang dikenal sebagai
penanggalan Imlek sebagai penanggalan resmi Dinasti Han, seperti yang diserukan
Nabi Kongzi dalam Kitab Lun Yu Bab XV : 11 Yan
Yuan bertanya bagaimanakah mengatur pemerintahan. Nabi bersabda, “Pakailah
penanggalan Dinasti Xia.”Pemerintahan Dinasti Han juga memberlakukan sisem
penerimaan pegawai kerajaan berdasarkan ujian Negara.Sebagian besar materi
ujian adalah pengetahuan tentang Ru Jiao.Pemerintah Dinasti Han membangun
perguruan pendidikan dari tingkat Kabupaten hingga ibukota kekaisaran.
Ketetapan Kaisar Han Wu Di mengubah perjalanan sejarah Tiongkok selama lebih
dari 2000 tahun kemudian, yang mana pengaruh agama Khonghucu itu melahirkan
suatu budaya dan bangsa yang lebih dikenal dengan nama Bangsa dan Budaya Han.
Pengaruh agama Khonghucu juga menyebar ke Negara-negara tetangga seperti Korea, Jepang dan Vietnam.Agama Khonghucu ke Korea sekitar tahun 108 SM dari Korea agama Khonghucu kemudian diperkenalkan ke Jepang. Pengaruh agama Khonghucu maupun budaya bangsa Han sangat kuat pada bangsa Korea dan Jepang. Agama Khonghucu pernah menjadi landasan utama bagi pemerintahan Korea maupun Jepang. Masuknya agama Khonghucu di Korea dan Jepang menandai masuknya sejumlah kitab suci agama Khonghucu yang akhirnya mempengaruhi aksara di Jepang maupun Korea yang dipengaruhi aksara Hanzi (Mandarin) Tiongkok, dalam bahasa Korea dikenal Hanja sementara dalam bahasa Jepang dikenal dengan nama Kanji. Budaya membungkuk dan sujud berasal dari ajaran agama Khonghucu, yang mana diajarkan bahwa yunior bisa memberikan penghormatan kepada yang senior. Umumnya membungkuk ini akan dilakukan saat menyambut seseorang yang penting atau sudah tua, meminta maaf, wujud terimakasih, dan juga wujud rasa malu biasanya membungkuk juga dilakukan terhadap jenazah serta pada perayaan-perayaan tertentu. Ketiga negara ini mengajarkan murid-muridnya membungkuk jika bertemu dengan guru. Dalam tradisi Agama Khonghucu nilai-nilai Li (kesusilaan) dijunjung tinggi sehingga dapat dilihat pengaruh pakaian yang dikenalkan :
Pengaruh agama Khonghucu juga menyebar ke Negara-negara tetangga seperti Korea, Jepang dan Vietnam.Agama Khonghucu ke Korea sekitar tahun 108 SM dari Korea agama Khonghucu kemudian diperkenalkan ke Jepang. Pengaruh agama Khonghucu maupun budaya bangsa Han sangat kuat pada bangsa Korea dan Jepang. Agama Khonghucu pernah menjadi landasan utama bagi pemerintahan Korea maupun Jepang. Masuknya agama Khonghucu di Korea dan Jepang menandai masuknya sejumlah kitab suci agama Khonghucu yang akhirnya mempengaruhi aksara di Jepang maupun Korea yang dipengaruhi aksara Hanzi (Mandarin) Tiongkok, dalam bahasa Korea dikenal Hanja sementara dalam bahasa Jepang dikenal dengan nama Kanji. Budaya membungkuk dan sujud berasal dari ajaran agama Khonghucu, yang mana diajarkan bahwa yunior bisa memberikan penghormatan kepada yang senior. Umumnya membungkuk ini akan dilakukan saat menyambut seseorang yang penting atau sudah tua, meminta maaf, wujud terimakasih, dan juga wujud rasa malu biasanya membungkuk juga dilakukan terhadap jenazah serta pada perayaan-perayaan tertentu. Ketiga negara ini mengajarkan murid-muridnya membungkuk jika bertemu dengan guru. Dalam tradisi Agama Khonghucu nilai-nilai Li (kesusilaan) dijunjung tinggi sehingga dapat dilihat pengaruh pakaian yang dikenalkan :
Hanfu pakaian khas Bangsa Han
(Tiongkok)
|
Hanbok pakaian khas
Bangsa Korea
|
Kimono pakaian khas Bangsa Jepang
|
|
| |
Sumber gambar : http://harifahrelf.blogspot.co.id
|
Demikian juga agama Khonghucu menyebar ke wilayah selatan yakni Indochina (Vietnam, Kamboja dan Laos), Vietnam yang berbatasan langsung dengan daratan Tiongkok pengaruh tradisi Ru Jiao lebih kental dibanding kedua negara Indochina lainnya. Agama Khonghucu masuk diperkirakan pada masa Dinasti Han. Salah satu dari sekian banyak peninggalan bangunan agama Khonghucu adalah Kelenteng Van Miau yang terletak di Jalan Quoc Tu Giam, jantung Kota Hanoi, Vietnam. Salah seorang mahasiswa teknik arsitektur dari Universitas Nasional Hanoi, yang mengawali kunjungannya, ia berdiri di depan kimsin Nabi Agung Kong Zi di atas singgasana yang bernuansa merah, ia merapatkan kedua tangannya di depan dagu, pelan-pelan kepalanya menunduk sebagai wujud rasa hormatnya. Ajaran agama Khonghucu tersebut sarat nilai-nilai keseimbangan dalam konteks hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan sesamanya, serta hubungan antara manusia dengan alam semesta. Oleh warga Vietnam, ajaran diterjemahkan sebagai etos belajar dan bekerja keras dengan menjunjung tinggi budi pekerti.[11]
Sewaktu mendirikan kuil itu tahun 1070, Raja Ly Thang Tong mungkin tidak menduga bahwa dua patung di kuilnya itu akan begitu populer. Sejarah pendirian Kuil Van Mieu di atas tanah 5,5 hektar itu memang tak lepas dari misi menghormati ajaran Kong Zi. Dalam perkembangannya, seiring tingginya minat masyarakat berguru ajaran Nabi Kong Zi. Enam tahun kemudian, Ly Thang Tong mempermaknya menjadi sekolah tinggi bernama Quoc To Giam. Institusi pendidikan yang juga dikenal dengan sebutan School of The Elite of Nation ini akhirnya berkembang sebagai bagian dari pusat pengkajian berbagai disiplin ilmu yang berkait dengan ajaran Ru, sosial, ekonomi dan budaya. Tak heran jika kuil itu juga dikenal sebagai universitas pertama di Vietnam. Dari situlah muncul sosok Chu Van An yang tampil mendidik calon-calon guru demi menyebarkan ilmu pengetahuan melalui berbagai jenis aksara. Pada masa itulah kerjasama pengkajian kebudayaan antar bangsa di dataran Indochina berkembang pesat. Kuil Van Mieu mengalami masa kejayaan sebagai universitas pada tahun 1482-1780. Kutipan-kutipan naskah kuno yang lahir dari pemikiran warga Kuil Van Mieu terabadikan dalam prasasti dan artefak-artefak. Tidak salah jika ia disebut Kuil Kesusastraan. Untuk mengenang jasa-jasa nya, patung Chu Van An diletakkan dalam altar ruang pemujaan berjejer dengan patung leluhur bangsa Vietnam.[12]
4. Restorasi Kitab-kitab Suci Agama Khonghucu
Menurut Ws.Ongkowijoyo, “Tentang keaslian kitab-kitab antar ke dua aliran ini, mana yang lebih murni selalu menjadi perdebatan yang tak kunjung habis antar sinolog. Namun sesungguhnya bukan kritik akan mana yang lebih asli dan murni yang membedakan kedua aliran tersebut, tetapi lebih cendrung karena titik pandang yang berlainanlah yang membedakannya. Apa lagi bila dikaji akan bunyi kitab antara ke duanya pada pokoknya sama. Memang harus diakui, karena dari orang yang ahli, menguasai dan hafal aka isi kitab/ajaran Nabi, Kim Bun (Jin Wen) sebagai pembanding. Namun karena itu dikerjakan oleh keturunan Nabi yang menguasai ajaran Nabi sebagai darah dagingnya dan juga dikerjakan oleh para ahli dari kepustakaan Negara, ditambah bila dalam Kim Bun (Jin Wen) tercampur dengan paham tradisi dan hal-hal yang aneh berdasar kepercayaan, maka pada akhirnya orang cendrung beranggapan Ko Bun (Ke Dou Wen) lebih mewakili akan kebenaran ajaran Nabi. Lepas dari gejala dan perbedaan itu namun dalam kecendrungan akan mitos dan tekanan dalam uraian dari Kim Bun (Jin Wen); maupun kecendrungan untuk berpijak akan nilai falsafah dengan pengajian rasionil dari Ko Bun (Ke Dou Wen). Ke dua aliran ini pada hakekatnya sama bertujuan menegakkan Agama Khonghucu dengan dasar dan pokok yang sama dan satu adanya”.
4. Restorasi Kitab-kitab Suci Agama Khonghucu
Walaupun dalam jaman pemerintahan Qin Shi Huang itu
umat Khonghucu mengalami penindasan dan penganiayaan yang sangat mengerikan,
namun tidak berarti mereka menjadi lenyap dan patah semangatnya. Mereka berusaha
menyelamatkan Kitab-kitab Suci itu meski harus menanggung resiko sangat
besar. Ada yang menghafal isi kitab suci, ada yang menyembunyikan kitab suci di
dalam tembok rumah atau menanamnya. Setelah hancur Dinasti Qin dan tidak ada
larangan, mereka mulai menggali kembali kitab-kitab itu.[13]
Pada masa pemerintahan Han Wu Di inilah proyek
penggalian kembali dan usaha untuk merestorasi kembali ajaran agama Khonghucu
dilakukan secara resmi.Kaisar Han Wu Di mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
untuk melaksanakan proyek restorasi ini. Pada umumnya kitab-kitab suci ditulis
dengan kepingan-kepingan bambu disamping itu ada juga yang ditulis di kain
sutera, sehingga banyak kitab-kitab suci yang rusak disamping itu kebijakan
Kaisar Qin Shi Huang yang menyatukan huruf-huruf yang berbeda menjadi satu
kesatuan, sehingga banyak huruf kuno yang sulit dibaca kembali pada masa
Dinasti Han.
Diantara para tokoh dan Boshi Agama Khonghucu ialah
kakek Fu Sheng yang berasal dari Negeri Qi. Kakek Fu Sheng memahami dan
menghafal isi Kitab Suci Shu Jing, sehingga dapat menyusun kembali beberapa
kitab suci, meskipun tidak lengkap. Kitab Suci Shu Jing agama Khonghucu
misalnya dari 100 bab, beliau hafal dan mampu membukukan kembali 29 bab. Teks
Shu Jing yang dibukukan kembali oleh Kakek Fu Sheng inilah kemudian terkenal
sebagai Kitab Shu Jing dengan huruf baru yang disebut Jin Wen.[14]
Pada jaman pemerintahan Han Wu Di (140-85 SM), telah
ditemukan pada tembok kediaman keturunan Nabi Agung Kongzi sejumlah kitab suci
Agama Khonghucu dalam bentuk kepingan-kepingan bambu yang masih dalam keadaan
baik, yaitu Teks Kitab Shu Jing, Chun Qiu Jing, Xiao Jing, Lun Yu dan lain-lain.
Tidak diketahui dengan jelas, berapa lama Kitab-kitab Suci Agama Khonghucu itu
disembunyikan, namun tampaknya keturunan keluarga Nabi Agung Kongzi
menyembunyikan pada masa pemerintahan Dinasti Qin.Namun Kitab-kitab Suci Agama
Khonghucu ini ternyata ditulis dengan huruf-huruf kuno yang sudah tidak dikenal
atau digunakan di jaman Dinasti Han, sehingga masyarakat pada waktu itu sudah
tidak mampu mambacanya.Huruf-huruf kuno itu disebut hurf Ke Dou Wenatau huruf berudu, karena memang hurufnya menyerupai anak
katak (berudu).Huruf kuno itu diperkirakan merupakan huruf yang biasa digunakan
orang-orang Negeri Lu sekitar abad ke V sebelum masehi.[15]
Berkat ketekunan Kong An Guo yang merupakan
keturunan ke XII dari Nabi Agung Kongzi, akhirnya dapatlah diterjemahkan
Kitab-kitab Suci Agama Khonghucu tersebut dalam huruf Jin Wen, huruf yang digunakan pada saat itu. Kong An Guo ini
termasyhur sebagai Boshi di antara para pemuka Agama Khonghucu jaman itu. Kong
An Guo juga merupakan kepala keluarga Kong. Dalam usaha beliau untuk memahami
tulisan yang berhuruf kuno itu, Kong An Guo membanding-bandingkan Kitab-kitab
Suci yang berhuruf kuno tersebut dengan Kitab-kitab Suci agama Khonghucu
berhuruf Jin Wen, yaitu huruf yang digunakan untuk menulis kembali Kitab Suci
Agama Khonghucu masa Dinasti Han, yaitu inskripsi dari Kakek Fu Sheng, akhirnya
tulisan kuno itu dapat dibaca dengan baik. Terjemahan Kitab-kitab Suci Agama
Khonghucu pada tahun 97 SM diserahkan kepada Perpustakaan Kerajaan. Di dalam
daftar Kepustakaan Kerajaan Han yang disusun oleh Liu Xin dicatat adanya Kitab
Shu Jing dalam huruf kuno terdiri atas 58 bab. Jelas ini adalah merupakan Kitab
Shu Jing yang telah disalin oleh Kong An Guo itu. Kemudian Kong An Guo juga
diminta untuk memberi tafsir atas Kitab Suci Agama Khonghucu itu. Demikianlah
akhirnya Kitab-kitab Suci Agama Khonghucu itu sebagian besar dapat
dilestarikan. Hanya Kitab Musik atau Yue Jing saja yang hampir musnah sama
sekali. Karena begitu banyak bab-bab yang hilang, maka bagian yang masih
tinggal dimasukkan ke dalam Kitab Li Ji bab XVII dengan judul Yue Ji (Catatan
Musik). Di antara Kitab-kitab Suci Agama Khonghucu yang selamat dan tidak
terganggu pada masa Dinasti Qin adalah Kitab Suci Yi Jing dan Mengzi.
Dengan demikian dapatlah
disimpulkan pada jaman Dinasti Han ada dua versi Kitab Suci Agama Khonghucu
- Jin Wen yaitu kaum yang menggunakan Kitab-kitab Suci dengan huruf baru sebagai pegangan. Mereka dominan pada jaman Dinasti Han awal (206 SM – 24 SM).
- Ke Dou Wen yaitu kaum yang memakai kitab-kitab dengan huruf kuno sebagai pegangan. Mereka dominan pada jaman Dinasti Han kemudian.
Sesungguhnya yang membedakan ke dua pergerakan ini
hanyalah masalah kitab-kitab yang mereka gunakan sebagai pegangan, yang mana
kaum Ke Dou Wen memakai kitab sebelumnya belum dikenal (karena disembunyikan ketika
ada larangan pada masa Dinasti Qin) dan baru diketemukan pada masa pertengahan
Dinasti Han. Di mana ketika Kitab-kitab Suci Agama Khonghucu ditemukan pada
sekitar abad pertama sebelum masehi masih dalam huruf dengan gaya tulisan Dinasti Zhou (Ke Dou Wen).
Sedangkan kaum Jin Wen lebih dulu memahami dengan petunjuk kitab-kitab yang
disusun dari ahli yang menghafal dan menguasai kembali ajaran Agama Khonghucu.
BERSAMBUNG
[1]
Pada masa Zhan Guo muncul sejumlah pemuka agama antara lain Mozi, Zhuangzi,
Xunzi yang melahirkan perbedaan pandangan pada masing-masing agama.
[2]
Tim Penyusun. Kitab Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu. (Solo
: MATAKIN, 1984).h.71
[3]Twan
Yang ialah hari suci bersujud ke hadirat Tian Yang Maha Esa yang dilakukan umat
Khonghucu sejak zaman purbakala.Twan artinya lurus, terang yang menjadi
sumber.Yang artinya positif atau matahari.Twan Yang berarti saat matahri
memancarkan Cahaya paling keras.Hari raya ini dinamai pula Twan Ngo. Ngo
artinya saat antara jam 11.00 s.d 13.00 siang. Pada saat demikian, matahari
melambangkan curahnya Rakhmat Tian.Cahaya matahari sumber kehidupan, lambing
rakhmat dan kemurahan Tian atas manusia dan segenap makhluk hidup.(Tim
Penyusun. Kitab Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu. (Solo :
MATAKIN, 1984).h.70)
[4]
Xunzi nama kehormatannya Xun Qing, juga penegak aliran legalis Fa Jia, seorang
naturalis, tokoh Ru, penulis Kitab Xun Zi. Han Fei Zi murid Xunzi, seorang
pemikir besar dan memperluas cakupan dari faham Fa Jia pemikirannya berfokus
pada seni memerintah negara yang tertuang dalam Kitab Han Feizi.Selama periode
akhir dinasti Zhou pengaruh Xun Zi lebih kuat daripada Mengzi.Aliran Fa Jia
menganjurkan sistem pemerintahan terpusat dan penegakkan hukum positif untuk
menegakkan kejayaan negara.Berbeda dengan Mengzi yang mempunyai premis fitrah
manusia itu baik, Xun zi berkeyakinan bahwa fitrah manusia itu buruk karena
itulah harus dikendalikan secara eksternal dengan hukum positif, pandangan
Mengzi, seorang idealis dan Xun Zi seorang naturalis berbeda secara
diametral.Ini adalah cikal bakal dari pemikiran Neo Konfusian.(Rip Tockary.Ru Jiao Dalam
Prespektif Sejarah. (Bogor,The House of Ru,2002)h.35
[5]
Michael Wicaksono. Qin Kaisar Terakota. (Jakarta : PT.Elex Media
Komputindo,2013) h.87
[6]
Sembilan bejana perunggu disebut Ding, merupakan panci perunggu besar
berdinding tebal berkaki tiga dengan dua buah pegangan besar disisinya. Bagian
luar dari Ding biasanya diukir dengan motif yang melambangkan kekuasaan seperti
harimau, phoenix ataupun naga. Shouwen Jiezi, kamus besar huruf-huruf kanji
Tiongkok mendefinisikan Ding sebagai, benda
berkaki tiga dan bertelinga dua, menjadi alat untuk memasak berbagai bahan
makanan. Yu mengumpulkan logam dari Sembilan provinsi, kemudian menempa Ding di
kaki gunung Jingshan. Sebagai lambing kekuasaan, ditetapkan bahwa hanya Putera Langit
yang boleh memiliki Sembilan Ding dikediamannya. (Michael Wicaksono.
Qin Kaisar Terakota. (Jakarta : PT.Elex Media Komputindo,2013) h.85
[7]
Ivan Taniputera. History of China. (Jogyakarta : Ar-Ruzz Media,2008) h.90
[8]
Michael Wicaksono. Qin Kaisar Terakota. (Jakarta : PT.Elex Media
Komputindo,2013) h.237
[10]Tim MATAKIN.Kitab Suci Wu Jing I Shi Jing. (Jakarta : Pelita Kebajikan,2010) h.xxv
[9]Elizabeth Seeger. Penerjamah Ong Pok Kiat dan Sudarno. Sedjarah Tiongkok Selajang Pandang. (Jakarta : Groningen,1957) h.113
[11] Harian umum Kompas, 02 Juni 2004
[12] ibid
[13]Tim MATAKIN.Kitab Suci Wu Jing I Shi Jing. (Jakarta : Pelita Kebajikan,2010) h.xxvii
[14]Tim MATAKIN.Kitab Suci Wu Jing I Shi Jing. (Jakarta : Pelita Kebajikan,2010) h.xxviii
[13]Tim MATAKIN.Kitab Suci Wu Jing I Shi Jing. (Jakarta : Pelita Kebajikan,2010) h.xxvii
[14]Tim MATAKIN.Kitab Suci Wu Jing I Shi Jing. (Jakarta : Pelita Kebajikan,2010) h.xxviii
[15]Tim MATAKIN.Kitab Suci Wu Jing I Shi Jing. (Jakarta : Pelita Kebajikan,2010) h.xxviii
SlotsCity Casino: Slot Machines & Casinos - Mapyro
BalasHapusCheck out the SlotsCity Online 제주도 출장안마 Casino in Las Vegas 김해 출장마사지 and get 150 FREE SPINS every day! Use our amazing coupons for 여주 출장샵 slots 계룡 출장안마 and table games to enjoy! 오산 출장마사지