Rabu, 27 Januari 2021
Penulis Gunadi Prabuki, S.Pd
Pertanyaan “apakah budaya atau agama”
(tentang apapun). Adalah pola pertanyaan yang sebenarnya sedang menggiring
orang untuk berpikir bahwa agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda, yang
terpisah, dan tidak saling terkait satu sama lain.
Pertanyaan “apakah hara raya Imlek budaya
atau agama” jelas menggiring orang untuk berpikir bahwa jika Imlek budaya
berarti Imlek bukan ajaran agama, dan jika Imlek adalah ajaran agama berarti
Imlek bukanlah budaya. Ada juga pernyataan (bukan pertanyaan) dengan pola yang
hampir mirip. “Imlek bukan sekedar perayaan dari agama tertentu, tapi Imlek
adalah budaya orang Tionghoa.” Pertanyaan ini jelas mau menggiring orang untuk
berpikir bahwa budaya lebih tinggi dari agama, sehingga selanjutnya orang
berpikir bahwa Khonghucu mengadopsi Imlek yang budaya menjadi Imlek yang agama.
Pernyataan lain yang serupa adalah: “Imlek
bukan sekedar budaya orang Tionghoa, tapi memiliki makna dan nilai-nilai
agamis.” Pernyataan ini (meskipun) terasa lebih tepat karena memposisikan agama
di atas budaya, namun juga masih bernuansa ‘dikotomi’ antara agama dan budaya.
Sebagai ilustrasi saya akan sampaikan kaitan antara budaya dan agama. Salah
satu budaya yang sangat kental dalam masyarakat Tionghoa adalah perihal cara
memanggil. Hal ini untuk menunjukkan dengan jelas “siapa punya hubungan apa
dengan siapa”.
Ketika mendengar seseorang memanggil A’ih pada seorang wanita paruh baya,
kita menjadi tahu bahwa mereka punya hubungan persaudaraan yang dekat, karena A’ih menegaskan dan menjelaskan sebagai
kakak/cici dari ibu atau orang yang dianggap kakak/cici oleh ibu. Begitupun
panggilan yang lain pada seseorang akan menunjukkan seberapa dekat hubungan
mereka. Encek berarti adik laki-laki
ayah, Empe berarti kakak/koko ayah.
O,oh berarti adik perempuan ayah, Akoh berarti kakak/cici dari ayah. Engku
berarti adik laki-laki dari mama dan A’kuh berarti kakak/koko dari mama. Orang
tidak perlu lagi bertanya-tanya apa hubungan kita dengan orang yang kita sebut
A’ih, karena orang Tionghoa sudah jelas akan hal ini. Sekali lagi, bahwa semua
itu untuk menunjukkan “dekat jauhnya hubungan”.
Budaya tentang cara memanggil itu bersumber
dari satu ajaran tentang kesusilaan. Dalam kitab catatan kesusilaan tersurat:
“Adapun Kesusilaan (Li) itu akan menetapkan dekat jauhnya hubungan; untuk
menempatkan apa hal-hal yang harus dicurigai/diragukan; untuk membedakan mana
hal-hal yang sama dan yang berbeda; dan untuk mencerahkan mana hal yang benar
dan mana yang salah.” Ini menunjukkan bahwa budaya yang berkembang pasti
bersumber dari sebuah ajaran (agama). Budaya menghormat dengan merangkapkan
tangan (bai/soja), begitu mengakar kuat pada masyarakat Tionghoa, (bahkan dua
orang yang akan bertarung hidup dan mati lebih dahulu menghormat dengan Bai. red).
Dahulu kitab catatan kesusilaan banyak
membahas tentang cara aturan menghormat dengan Bai. Dalam Liji I B. 11.22 & 23 tersurat 11.
22. Bila seorang pembesar atau pejabat biasa saling bertemu biarpun tidak sama
tinggi rendah peringkatnya, bila tuan rumah menghormati sang tamu, ia harus
lebih dahulu menghormat dengan bai
kepada tamunya; sebaliknya bila tamu itu menghormati tuan rumah ia harus lebih
dahulu menghormat dengan bai kepada
tamunya; sebaliknya bila tamu itu menghormati tuan rumah ia harus lebih dahulu
menghormat dengan bai kepada tuan
rumah. 23. Di dalam segala persoalan bila bukan dalam acara berbela sungkawa
dan bukan menemui penguasa negara, tidak ada yang tidak saling membalas
menghormat dengan bai. bila seorang
pembesar menjumpai seorang penguasa negara, penguasa itu wajib menghormat
dengan bai sebagai pernyataan
penghargaan (atas segala hal yang dibawa utusan). Bila seorang pejabat biasa
menjumpai seorang pembesar (negeri yang kunjungi), sang pembesar menghormat
dengan bai sebagai penghargaan. Bila keduanya bertemu pertama kali di negeri
sendiri (ketika pulang tugas utusan), yang menjadi tuan rumah wajib menghormat
dengan bai sebagai penghargaan. Seorang penguasa kepada pejabat biasa tidak
membalas hormat dengan bai; tetapi bila orang itu bukan menteri/pembantu
sendiri, ia wajib membalas hormat dengan bai.
Seorang pembesar kepada para menteri/pembantunya biar mereka berkedudukan
rendah wajib membalas menghormati dengan bai. Antara laki-laki dan perempuan
saling membalas hormat dengan bai.
Banyak lagi hal budaya dalam masyarakat
Tionghoa yang tentu bersumber dari sebuah agama. Christopher Dowson: Great
Religon are Building a Foundation Great Civilization (Agama-Agama Besar adalah
Bangunan Dasar bagi Peradaban-Peradaban
Besar). Dengan kata lain, agama besar melahirkan budaya besar.
Pertanyaan selanjutnya adalah:
“Ajaran/agama apa sebagai sumbernya?”
Jika itu semua termuat dalam kitab Li Ji
maka menjadi jelas bahwa sumbernya adalah ajaran Ru yang tidak lain adalah
Khonghucu.
Sejak hari raya Imlek diresmikan sebagai
hari libur nasional, berita tentang makna dan sejarah Tahun Baru Imlek serasa
bertebaran dimana-mana. Medsos (Media sosial) menjadi wahana untuk
mengungkapkan rasa yang selama terpendam sangat dalam di lubuk hati orang
Tionghoa. Sebutan Imlek menjadi begitu akrab di telinga semua orang. Menyebut
Imlek dan mengucapkan ‘Gong Xi Fa Cai’ menjadi terasa ringan dibibir banyak
orang. Kegembiraan terpancar pada wajah-wajah orang Tionghoa (taka da lag beban
seperti dulu-dulu). Kemeriahan merayakan Tahun Baru Imlek nampak disetiap sudut
dimana komitmen Tionghoa berkumpul. Fenomena ini adalah satu sisi dari dampak
positif. Namun di sisi lain, ada sedikit kekhawatiran tentang pergeseran makna
dan sejarah Imlek.
Berita tentang makna dan sejarah Imlek
yang bertebaran, sebagian lurus tulus tanpa kepentingan. Sebagian tak banyak
mengerti sejatinya Imlek. Sebagian lagi ingin memisahkan antara Budaya dan
ajaran. Apapun kenyataan, bagi umat Khonghucu Tahun Baru Imlek bukan sekedar
eforia belaka. Bukan sekedar kegembiraan tanpa makna. Tahun Baru adalah
momentum “memperbaharui diri.”
Pada tempayan Raja Thong terukir kalimat,
“Bila suatu hari dapat membaharui diri, perbaharuilah terus tiap hari dan
jagalah agar baharu selama-lamanya!” (Da Xue. II : 1) Di dalam Khong koo
tertulis, “Jadilah rakyat yang baharu.” (Su King V.9.2).
Tentang tradisi dan budaya yang
berkembang, adalah bukti betapa kuat sumber ajaran yang mendasarinya. “Agama
besar adalah bangunan dari budaya besar.”
Sumber : Buku Kenangan Perayaan Hari Raya
Tahun Baru Imlek Nasional 2568 Kongzili, Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia, 04 Februari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH