Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Kisah Penyair Besar Qu Yuan ( 3407 – 2789 SM )

Setiap tanggal 5 bulan 5 Imlek, umat Ru Jiao melaksanakan persembahyangan suci Duan Yang atau Twan Yang, di mana Tian, pencipta segenap alam semesta beserta isinya memberikan segala kehidupan dan penghidupan bagi segenap makhluk hidup ciptaannya. Persembahyangan  Duan Yang sudah dilaksanakan para raja-raja suci purba jauh sebelum kelahiran Qu Yuan. Namun persembahyangan Duan Yang dikalangan masyarakat lebih mengenal Qu Yuan seorang tokoh Ru Jiao yang berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan untuk rakyat yang lebih dikenal dengan nama Pecun atau lomba perahu naga. Qu Yuan memanfaatkan hari suci keagamaan Twan Yang sebagai peringatan kepada para penguasa untuk lebih mencintai dan mensejahterahkan rakyat. Dibawa ini kami mengisahkan kembali tokoh Qu Yuan atau Khut Gwan.

( Tradisi lomba perahu naga, makan bakcang di Tiongkok atau di beberapa negara Asia lainnya, adalah untuk memperingati kebesaran penyair Tiongkok, Qu Yuan ).

Sebuah tradisi yang telah berlangsung lebih dari 2000 tahun lamanya di Tiongkok, festival Duan Wu, yang jatuh pada setiap tanggal 5 bulan ke-5 menurut kalender Imlek. Perayaan itu diselenggarakan di seluruh Tiongkok, terutama bagian selatan dan tengah daratan Tiongkok. Di mana-mana orang mengadakan lomba perahu naga dan makan bakcang. Tetapi, dibalik kegembiraan semua itu, tercatat sebuah kisah tragis yang heroik.

Dalam sejarah Tiongkok, lebih 2000 tahun yang silam, tepatnya pada zaman perang antar negara-negara (475 – 221 SM), ada sebuah negara bernama Chu Guo. Di sana terdapat seorang pejabat muda lagi bijaksana bernama Qu Yuan, yang waktu itu baru berusis sekitar 25 tahun. Ia seorang terpelajar yang sangat berpotensi dan sangat luar biasa, dan ia sangat mencintai negeri kelahirannya.

Pada waktu itu di Chu Guo, pendidikan anak-anak kaum bangsawan sangat diperhatikan, walaupun Qu Yuan berasal dari keluarga bangsawan yang mulai mengalami kemunduran. Ia lahir serta besar pada masa dan situasi seperti itu. Tempat kelahirannya di sekitar Three Gorges, sungai Yang she yang termasyur itu. Qu Yuan sangat rajin belajar dan sangat berbakat, memiliki pengetahuan luas, dalam dan mahir. Tidak heran jika hasil karya-karyanya di kemudian hari begitu spektakuler, bernilai tinggi, kaya dan beragam. Malah ia telah menciptakan sebuah bentuk seni sastra yang sama sekali baru pada waktu itu.

Qu Yuan pernah menulis sebuah puisi berjudul “Memuji Jeruk Mandarin”. Ia memberikan penilaian sangat tinggi terhadap pohon jeruk. Ini berbeda dengan kebanyakan cendekiawan maupun penyair Tiongkok, yang lebih suka pada pohon bambu yang memiliki unsure filosofi “Budi pekerti lurus”, tak sudi membungkuk untuk mengambil hati orang yang berkuasa atau berharta.

Menurutnya, pohon jeruk berakar sangat dalam di tanah, penuh semangat hidup, tumbuh lebat menghijau. Buah jeruk itu kombinasi warnanya, kulit berwarna campuran. Rasanya manis dan aromanya sangat harum, menyebar ke segala penjuru, semua  ini sangat menonjol, hingga terurai sifat dirinya. Qu Yuan memuji pohon jeruk, juga dengan kuat dan teguh mempertahankan integritas moral dirinya sendiri. Ia bersifat lapang dada, bercita-cita tinggi luhur, tidak mengejar hal-hal rendahan. Berpikiran jernih, bebas berdiri di dunia, tak mau mengikuti timbul tenggelamnya arus. Oleh sebab itu, Qu Yuan menjadikan pohon jeruk sebagai symbol sekaligus gurunya.

Pada waktu itu, ia melihat negara tetangganya, yaitu Qung Guo yang lebih besar dan kuat, bagaikan harimau ingin menerkam mangsanya, selalu mengincar dan ingin menyerang Chu Guo. Raja Chu Guo yang kecanduan dalam menikmati kemewahan hidup, membuat Qu Yuan sangat prihatin dan khawatir. Ia ingin mengadakan pembaharuan politik, untuk menghalau musuh kuat yang selalu mengintainya.

Karena kepiawainya, sehingga pada mulanyaa, raja sangat mempercayainya dan memberikan Qu Yuan wewenang besar, sehingga ia dapat berbuat hal-hal yang bermanfaat bagi Negara dan rakyat. Namun, sekelompok pejabat tinggi yang curang, melihat Qu Yuan mendapat kepercayaan raja, sebagai ancaman bagi kedudukan mereka. Oleh sebab itu, mereka bersekongkol dengan bangsawan lain, menfitnah Qu Yuan dihadapan raja. Raja seorang yang bodoh, dengan dipengaruhi kelompok pejabat tinggi yang curang, sehingga memecat Qu Yuan dan mengusirnya serta tidak mengizinkannya kembali ke ibukota. Waktu itu,usia Qu Yuan sekitar 50 tahun.

Sebenarnya, Qu Yuan lebih condong sebagai seorang politikus daripada seorang penyair. Namun, kegagalannya dalam karier berpolitik membuat ia sangat kecewa. Karena ia sangat mencintai tanah air serta rakyat yang menderita, namun ia tidak lagi diberikan kesempatan untuk berbakti kepada negara, sehingga kekecewaan yang luar biasa itu, ia lampiaskan dalam karya syair, untuk menunjukkan kepada raja dan dunia bahwa ia sebenarnya adalah seorang yang jujur dan luhur hatinya.

Qu Yuan berkelana di luar selatan daratan Tiongkok selama lebih 10 tahun lamanya. Suatu ketika raja Chu Guo, Chu Huai Wang tertipu, mati di Qung Guo. Setelah putra mahkota Chu Xiang Wang, raja ini malah lebih bodoh, sehingga tidak sedikit wilayah Chu Guo dirampas oleh Qung Guo. Setelah Qu Yuan mendengar rentetan kabar buruk itu, hatinya sangat duka. Karena mencemaskan nasib tanah airnya, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke negerinya.

Dalam perjalanan kembali ia menyaksikan penderitaan rakyat. Pemandangan menyedihkan di daerah pendudukan musuh, sedangkan para pejabat pemerintah tetap hidup mewah tanpa memikirkan nasib negara. Ini benar-benar sangat memprihatinkan dan menyedihkan. Qu Yuan seorang patriotic, karena terguncang dan marah sekali, sehingga ia sebentar menangis, sebentar tertawa, seperti orang tak waras. Selama dalam perjalanan, ia telah banyak menulis puisi. Salah satu karya representatifnya adalah LI SAO, artinya kemurungan karena meninggalkan negara serta kampong halaman.

LI-SAO merupakan puisi lirik terpanjang di zaman Tiongkok kuno, yang juga merupakan puisi  lirik terpanjang dalam sejarah sastra dunia, yang dihasilkan oleh seseorang (bukan semacam balada yang telah beredar dalam masyarakat lalu disalin seseorang ke dalam bentuk tulisan).

LI SAO berjumlah 373 baris, terbagi menjadi delapan bagian, namun pada umumnya dapat dibagi atas tiga bagian :
1. meniru atau mencontoh
2. menyaru, menyamar
3. khayalan
Puisi ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, antara lain Inggris, Rusia, Jerman, Prancis, Jepang dan Italia.

Pada maksud tertentu, LI SAO ini boleh dianggap sebagai cerita atau peristiwa yang dialami penyair sendiri. Seluruh puisi berawal dari penuturan silsilah penyair, latar belakang keluarga serta cita-citanya sejak muda. Dengan imajinasi dan bahasa hiperbois, dirangkaikan dengan kisah seperti dalam dongeng yang bertemu dewa-dewi, mengendarai angina menjulang tinggi, berlanglang buana di angkasa.
Pada masa hidupnya Qu Yuan, adalah masa di mana banyak terdapat corak mitologi atau dongeng. Oleh sebab itu, ia memanfaatkan apa yang lazim digunakan dalam balada rakyat. Karena ia membenci kelompok pejabat yang jahat dan licik, maka dalam puisinya, ia perlu menonjolkan dirinya yang suci dan bermoral tinggi, sebagai perbandingan. Ini merupakan suatu bentuk cara pengungkapan, terjadi karena dibutuhkan oleh isinya. Jika tidak demikian, sosok mulia yang dibuat dalam syair itu akan gagal, sehingga apa yang ingin ia sampaikan pun tak tercapai.

Akhirnya tibalah ia ditepi sungai Mi Luo. Tersiar lagi sebuah berita buruk, kini sadarlah ia bahwa negaranya tak dapat lagi terselamatkan. Ini membuat ia bertambah gelisah dan sedih. Walaupun siang dan malam ia ingin berbakti kepada negaranya, dan senantiasa memperhatikan penderitaan rakyat. Namun, orang jahat dan licik sedang berkuasa, sehingga cita-cita luhurnya tak tercapai. Dengan perasaan gundah, pertentangan gejolak dalam dada Qu Yuan yang patriotic itu, dan ia tak sudi menyaksikan kehancuran negaranya. Ahirnya ia memutuskan : cita-cita tak tercapai, lebih baik mati ! demi tanah negeri yang ia cintai. Ia nekat, dengan memeluk batu terjun ke sungai Mi Luo hingga tewas. Ia wafat dalam usi sekitar 60 tahun.

Rakyat sangat menghormati dan mencintai Qu Yuan. Begitu mereka mendengar berita bahwa Qu Yuan telah bunuh diri dengan cara terjun ke sungai Mi Luo, berduyun-duyun orang datang ingin mengangkat jenazahnya. Karena khawatir jenazah Qu Yuan yang mereka sangat hormati itu dimakan ikan, maka mereka menaburkan nasi ke sungai, untuk memberi makan pada ikan, agar ikan tidak makan jenazah Qu Yuan.

Kita di Indonesia juga mengenal bakcang. Bakcang yang kita makan sekarang adalah penjelmaan dari nasi yang diberikan pada ikan. Malah kini terdapat berbagai macam bakcang, ada yang berisi tausa, daging dan kuning telur asin, ada pula berisi daging ham.

Sedangkan mengapa bisa sampai ada lomba perahu naga ? waktu itu rakyat sangat khawatir, semua perahu mencarinya ke segala penjuru, suasana sangat panik. Kini lomba perahu naga, juga disebabkan ingin menunjukkan suasana tersebut. Bahkan, lomba perahu naga juga dilaksanakan di Amerika, Australia dan Selandia Baru.

Seorang penyair patriotic seperti Qu Yuan, yang senantiasa ingin berbakti kepada negaranya, pantas diteladani. Dan Qu Yuan pantas mendapat penghormatan tersebut.

4 komentar:

  1. Terima kasih atas artikel yang sangat membantu saya memahami budaya Tionghoa.
    Keep up the good work!

    BalasHapus
  2. Penyair qu yuan bisa kita lihat gambarannya di film seri berjudul the song of phoenix yg dimainkan ma ke.bagus banget

    BalasHapus
  3. Apakah ada sekarang yang seperti qu yuan???

    BalasHapus
  4. Qu Yuan...mgkn masih ada, tp hanya 1 diantara 1000...Song of phoenix, kyle ma ke, my favorite

    BalasHapus

TERIMA KASIH