Penulis : Nyonya Ulfat Aziz-us-Samad
Latar Belakang
Dengan berlalunya waktu, maka agama China telah merosot ke penyembahan hantu dan roh dari alam ditambahkan kepada keimanan Shang-ti. Di setiap rumah ada ruangan tempat nenek moyang, di mana penyembahan dan pengorbanan disajikan kepada para arwah. Tetapi tidak hanya dalam keluarga saja arwah itu dipuja. Kaisar pun melakukan pengorbanan dalam kapasitas publik terhadap semua raja-raja sebelumnya dalam upacara-upacara yang melelahkan dan seringkali ada hantu-hantu untuk sesajen. Namun demikian, agama tidaklah terpisah dari kehidupan. Tidak ada golongan pendeta yang khusus untuk menanganinya, setiap orang harus ikut dalam upacara sesaji yang dibebankan kepadanya. Upacara agama itu ditentukan oleh adat dengan rinciannya, dan bilamana seseorang menghadirinya, berarti dia telah melaksanakan kewajibannya. Agama adalah suatu rangkaian tindakan yang dikerjakan dengan cocok dan tepat, orang yang cocok selalu berkorban demi tujuan yang tepat dengan cara yang tepat pula. Sekitar abad keenam sebelum Masehi tampak ada keadaan tanpa hukum yang besar pengaruhnya di China. Baik kehidupan politik, maupun keagamaan menjadi rusak dan merosot dari kemuliannya yang semula. Peradaban besar yang ditegakkan di China oleh penguasa dinasti Chou hanya tinggal bayangan saja. Dalam keadaan semacam inilah, dua agama China yang besar, yakni Kong Hu Chu dan Tao lahir. Dari segenap agama-agama di China, maka Kong Hu Chu telah meninggalkan kesan yang kuat dalam kehidupan dan kebudayaan China. Untuk hampir 25 abad, Kong Hu Chu dianggap oleh China sebagai Guru yang pertama tidak karena ketiadaan Guru sebelum beliau, tetapi karena beliau mengatasi mereka dalam derajatnya.
Pada tahun 528 sM, Kong Hu Chu melepaskan jabatannya di pemerintahan karena berkabung atas kematian ibunya. Selama berduka dalam jangka tiga tahun, dia mengabdikan diri dengan belajar dan bermeditasi. Kadang-kadang dia muncul dari pengasingannya sebagai guru di masyarakat dan cepat menarik segolongan besar murid muridnya yang berbakti. Kemasyhurannya meningkat, tetapi sebelum berumur 50 tahun, dia belum memasuki kehidupan umum. Beliau ditunjuk sebagai Hakim Ketua dari kota Chung-tu dan segera dipromosikan pada kedudukan Menteri Tenaga Kerja dan Kehakiman. Jadi dia mendapatkan kesempatan untuk mempraktekkan ajaran-ajarannya dan membangun suatu model administrasi. Beliau mendatangkan perdamaian di seluruh negeri, menghilangkan penindasan, dan memberi keadilan tanpa bayaran. Pelanggaran kesusilaan dan kejahatan hampir-hampir lenyap. Di dalam segenap kehidupan pribadinya beliau disiplin untuk meneliti peraturan-peraturan yang telah diajarkannya.
Suatu kebijaksanaan yang betul-betul menjunjung keadilan semacam ini, pasti mendatangkan musuh, dan musuh Kong Hu Chu bekerja hati-hati untuk menggeser kedudukannya.
Kong Hu Chu mendakwahkan “ Pada usia 50 tahun saya menerima risalah Tuhan”. Maka pada tahun 497 sM dengan segera ia mengikuti panggilan Ilahi, dan selama empat belas tahun bersama sekelompok kecil muridnya yang berbakti, dia pergi dari satu tempat ke tempat lain, seringkali dalam ancaman bahaya maut, diremehkan, dan kesengsaraan. Akhirnya ia diizinkan untuk kembali ke tanah kelahirannya, yakni Lu, dia sudah berusia lanjut 68 tahun. Beliau menghabiskan sisa akhir hayatnya dalam menyiarkan risalah-risalah wahyunya, dan menerbitkan buku-buku klasik China. Dia menyadari bahwa gagasan-gagasannya jauh lebih penting daripada langsung dicobakan secara mendadak dalam praktek. Beliau wafat pada tahun 479 sM. Suatu gambaran yang sangat berkesan dari kepribadian dan cara hidupnya, tampak dalam riwayat-riwayat yang diceritakan oleh murid-muridnya, termasuk di dalamnya Lun Yu (Cerita dari Kong Hu Chu). Di sana ditulis:
“Dalam saat-saat senggangnya, Tuan kelihatan ramah dalam bersikap, dan berseri-seri wajahnya (7:4) Tuan sangat lemah lembut, namun ketat (disiplin), anggun tetapi tidak sombong, sangat dihormati walaupun rendah hati. Bilamana Tuan berada di antara penduduk desanya, beliau tampak sederhana dan tulus seolah-olah dia awam dalam berbicara. Namun bilamana beliau dalam kuil kuno atau dalam majelis, maka beliau berbicara dengan hati-hati. Dalam majelis ketika beliau berbicara dengan pejabat yang lebih tinggi, maka beliau berbicara penuh keakraban dan tepat. Bila dihadapan Pangeran, beliau menghormat dalam gerakan yang tenang dan tepat (10:2) Bilamana seorang temannya meninggal dunia sedangkan dia tidak berkeluarga, maka beliau akan berkata “Biarkan saya yang akan mengurus pemakamannya” Atas hadiah dari seorang teman, bahkan meskipun hadiahnya berupa sebuah kereta ataupun kuda, beliau tidak akan membungkuk kecuali kalau hadiah itu dimaksudkan sebagai pengorbanan.”(10:15)
“Dia yang menyakitkan Tuhan, maka tiada satu pun yang dapat menerima doanya” (Analects, 3:13).
“Ada tiga perkara yang harus ditakuti oleh seorang yang mulia: perintah – perintah Tuhan, alim ulama, dan kata-kata hikmah orang dahulu. Orang picik adalah orang yang tidak tahu menahu akan perintah Tuhan, tidak merasa takut pada Nya, tidak menghormati alim-ulama, mengejek kata-kata hikmah orang dahulu. “ (Analects, 16:8)
“ Tuhan telah menugaskan kepada saya suatu risalah Ketuhanan. Apa yang dapat dilakukan oleh Huan T’uei (seorang perwira militer yang menggesernya) kepadaku?” (Analects, 7:23)
“Bila sudah menjadi Kehendak Tuhan, bahwa sistem Ilahi diabaikan, maka anak cucu kita tidak akan mendapat lagi bagian dari ilmu keimanan ini. Tetapi dengan Kehendak Tuhan, sistem ini tidak tersia-sia, apakah yang dapat dilakukan orang-orang Kuang terhadapku.” (Analects, 9:5)
Kong Hu Chu percaya bahwa dunia ini dibangun berdasarkan landasan moral. Bilamana manusia dan negara menjadi rusak akhlaknya, maka tata-susunan alam akan terganggu. Akan ada bencana peperangan, banjir, gempa bumi, paceklik yang panjang, dan wabah penyakit. “Jadi”, tulis Alfred Doeblin, “berlawanan dengan arus pemikiran kita yang materialistis dan menjadikan manusia itu objek tak berdaya dalam mengadapi arus peristiwa yang bebas serta tanpa arti, maka tingkah laku kita itu dapat mempengaruhi dan sesungguhnya telah mempengaruhi peristiwa-peristiwa dunia, karena kita ini memiliki kekuatan rohani yang mempengaruhi kekuatan rohani dunia, dan suatu pilihan nasib manusia yang tidak tergantung kepada Langit itu tidak mungkin, seperti tidak mungkinnya alur peristiwa di dunia ini tidak tergantung kepada manusia. Kesengsaraan, kegagalan peristiwa-peristiwa yang mengerikan adalah jeritan peringatan dunia yang menderita, yang menjerit menyeru manusia untuk mengembalikan tata susunan dan kembali ke jalan yang benar. Jadi Kong Hu Chu dan ajaran orthodoksnya meningkatkan pengertian kita. Kita mengembangkan suatu kewajiban yang mendalam agar bertindak wajar dan tidak ditujukan untuk takut hukuman. Kong Hu Chu menjadikan kita para penjamin tata dunia yang teratur, dan jangan melalaikan kewajiban kita sekejap pun, karena suatu gerakan itu diikuti oleh gerakan yang lain, dan hanya suatu perniagaan kontanlah yang berlaku.”[1]Kong Hu Chu menaruh penghargaan yang tinggi kepada ummat manusia, percaya bahwa manusia itu dianugrahi suatu Cahaya Ilahi. Beliau berkata: “Manusia yang membuat tata susunan ini besar, dan bukan sistemnya yang membuat manusia itu besar.” (Analects, 15:29). Dia percaya bahwa manusia itu fitrahnya baik dan akan kembali kepada kemuliaan bila suatu contoh teladan ditegakkan oleh atasan atau golongan penguasa. Dia tidak percaya adanya beban gaib, dosa asal, atau dosa yang diwariskan. Beliau adalah teman dari kehidupan dan manusia, seperti yang dikenal dengan baik bahkan tanpa beban dari dosa asal ini sudah cukup menderita dan senantiasa diancam oleh dua bahaya, yakni anasir-anasir perusak yang mencederainya dan penguasa yang jahat. Kong Hu Chu membela manusia, bahkan seekor binatang ataupun makhluk hina dianggap baik dalam fitrahnya, dan sangat cemas kalau mereka dibinasakan. Beliau percaya bahwa manusia itu tidak memerlukan juru selamat yang secara mukjizat akan menghapus segala dosanya. Apa yang diperlukan manusia adalah seorang guru ketulusan yang dengan sepenuhnya mempraktikkan ajaran-ajarannya dapat menjadi contoh teladan bagi manusia lainnya. Kong Hu Chu sendiri adalah Guru semacam itu yang dibangkitkan oleh Tuhan. Analects mengajarkan kepada kita kepercayaan atas evolusi kemanusiaan yang sejati. Di sini digambarkannya kebenaran atau kemuliaan manusia: “Dia yang mula pertama mempraktikkan apa yang diajarkannya, dan kemudian mengajarkan apa yang dipraktikkannya”. (Analects, 2:13) “ Orang yang mulia memahami apa yang benar, dan orang yang rendah hanya mengenal apa yang dapat dijual.” (Analects, 4: 16). “Orang yang mulia mencintai jiwanya; orang yang rendah mencintai harta bendanya. Orang yang mulia senantiasa ingat betapa ia dihukum karena kesalahan-kesalahannya; orang yang rendah selalu mengingat hadiah-hadiah apa yang diperolehnya” (4:11). Orang yang mulia itu berwibawa dan ramah tamah serta tidak sombong, tetapi orang rendah itu sombong dan tidak berwibawa (13:26). “ Orang mulia itu dapat memahami pandangan orang lain tetapi tidak sepenuhnya menyetujui, orang yang rendah itu setuju sepenuhnya dengan pandangan orang lain tetapi tidak memahaminya.” (13:23) “Orang besar mempunyai pandangan universal tanpa prasangka, orang picik berprasangka dan tidak universal pandangannya” (2:14)Dari segi etika, Kong Hu Chu menekankan pada senasib sepenanggungan, atau timbal balik menyuburkan simpati dan kerja sama yang harus dimulai dalam keluarga, kemudian diperluas secara bertahap ke perkumpulan. Beliau menekankan pentingnya lima hubungan kemanusiaan utama yang sudah menjadi adat-istiadat di antara bangsa China: (1) penguasa dengan rakyatnya, (2) ayah dengan anaknya, (3) saudara tua dengan adiknya, (4) suami dengan istrinya, dan (5) sahabat dengan temannya. Kong Hu Chu melihat bahwa kekacauan yang timbul di China ketika raja tidak bertingkah laku sebagai raja, rakyat tidak bertindak sebagai rakyat, bapak tidak berbuat sebagai bapak, dan seterusnya. Maka dia merasa bahwa langkah pertama ke arah perombakkan dunia yang kacau, ialah dengan cara setiap orang harus menyadari dan memenuhi kewajibannya sendiri dengan tepat. Suatu kali, Kong Hu Chu ditanyai, “Adakah satu kata yang dapat berlaku sebagai prinsip dalam hubungan hidup?” Dia menjawab: “Barangkali kata ‘timbal balik’ adalah yang tepat. Janganlah berbuat sesuatu kepada orang lain yang kalian sendiri tidak ingin orang lain berbuat demikian terhadapmu.” (Analects, 15: 24) Menurut Kong Hu Chu, kemuliaan yang harus disuburkan di atas segalanya ialah kasih antara sesama manusia (Jen). Etikanya, kebijakannya, cita-cita hidupnya, semuanya mengalir dari kemuliaan yang utama ini. Jen berisi cita-cita Kong Hu Chu untuk menyuburkan hubungan antara manusia, mengembangkan kemampuan manusia, menggabungkan kepribadian seseorang, dan memegang hak azasi manusia. Tzu Tang bertanya kepada beliau tentang Jen, dan beliau menjawab: “Kemampuan untuk melaksanakan lima sifat mulia di dunia membentuk Jen. Ketika ditanya lagi apakah itu, beliau berkata: “Itu adalah kehormatan, kedermawanan, ketulusan, ketekunan, dan kasih sayang.” (Analects, 17 : 6). Beliau juga mengatakan bahwa Jen terdiri dari “menyayangi sesama.” Kong Hu Chu menginginkan kemajuan manusia sepanjang :Jalan peradaban yang benar”, yang dijamin oleh penguasa yang baik , yang memimpin di depan dan menegakkan suatu contoh teladan, serta para pembantunya yang baik menjalankan hukum sesuai kerangka agama yang tertulis. Dia menginginkan agar seluruh negeri disusun sebagai suatu lembaga pendidikan, kerja keras harus dimulai, dan atau dengan para penguasa terlebih dahulu, sebab bilamana penguasa memberi contoh buruk maka dia akan menjerumuskan seluruh rakyat dalam kesengsaraan. Menurut ajaran Kong Hu Chu tiada sedikit pun diragukan bahwa tujuan satu-satunya dari suatu negara adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan hukum Tuhan. “ Pemerintah hanyalah menempatkan segala perkara dengan benar. Bila Anda sendiri memberi contoh teladan yang benar, siapakah yang berani menyeleweng”. (Analects, 12 : 17)
“ Apabila penguasa sendiri berbuat apa yang benar, dia akan mempunyai pengaruh terhadap rakyat, bahkan tanpa memberi perintah-perintah, dan bilamana penguasa sendiri tidak melaksanakan apa yang benar, segala perintahnya akan sia-sia tanpa guna.” (13 : 6)
“ Bilamana penguasa menepati kewajibannya sendiri, memerintah adalah suatu yang sangat mudah, dan jika dia tidak menepati kewajibannya, bagaimana dia dapat menyuruh orang lain menepatinya?” (13 : 13)
“ Pimpinlah rakyat itu dengan alat-alat kekuasaan dan awasi serta aturlah mereka dengan ancaman hukuman, dan rakyat akan mencoba keluar dari penjara, namun mereka tidak akan punya rasa hormat atau pun rasa malu. Bimbinglah rakyat dengan akhlak mulia, dan awasi serta aturlah dengan aturan-aturan kebenaran, maka rakyat akan menaruh rasa hormat serta patuh.” (2 : 3)
Sekitar dua ratus tahun terakhir dari dinasti Chou, terlibat dalam peperangan antara negara. Ini masa kekacauan politik, ketiadaan hukum, dan pertumpahan darah. Penguasa kerajaan Chou ditantang oleh beberapa pangeran feodal yang bahkan mengangkat dirinya dengan jabatan raja. Maka timbullah tujuh negara besar yang terus menerus terlibat dalam peperangan satu sama lainnya. Di atas puing-puing kota yang jatuh, dan mayat-mayat bergelimpangan, maka tumbuhlah para politisi yang licik dan jenderal yang kejam ke tampuk kekuasaan serta menjadi penguasa tiran yang semuanya serakah menumpuk kekayaan di atas pengorbanan rakyat banyak. Ketika para raja dan pejabat dari negeri yang saling berperang itu memuaskan hawa nafsu dan selera mereka semaunya, maka sebaliknya para petani benar-benar terinjak di bawah tiga beban, yakni peperangan, pajak, dan kerja paksa.
Namun dalam masa peperangan antara negara itu, maka menonjol hal kebebasan berfikir. Masa itu kita menyaksikan bangkitnya apa yang dinamakan ‘Seratus Aliran’ dalam filsafat dan agama yang saling bersaing dengan ajaran Kong Hu Chu untuk mendapat pengakuan dari rakyat. Jika tidak muncul seorang yang bernama Mencius pastilah agama Kong Hu Chu telah ditenggelamkan oleh para saingannya. Generasi berikut sudah pantas menghormati Mencius sebagai perawi kedua yang hanya setingkat di bawah Tuan yang mulia itu sendiri.
Sumbangan Men Tzu terhadap agama Kong Hu Chu terletak dalam penekannya atas kebaikan yang mendasar dalam fitrah manusia. Menurut dia manusia mewarisi empat sifat mulia: hati manusia (Jen), ketulusan (Yi), sopan santun (Li), dan kebijaksanaan (Chih). Dia berkata:
“ Dengan memuliakan sifat-sifat dasarnya, maka manusia dapat dianggap baik. Itulah sebabnya kukatakan bahwa sifat-sifat dasar manusia itu baik. Bilamana ia menjadi jahat, hal itu bukanlah kesalahan sifat-sifat dasarnya. Perasaan kasih sayang itu sudah biasa bagi segenap manusia, perasaan malu itu sudah biasa bagi setiap orang, rasa hormat itu sudah biasa bagi semua orang, perasaan benar atau keduanya membentuk kearifan. Rasa kemanusiaan, ketulusan, keselarasan, dan kearifan itu tidak diajarkan, hal itu sudah tertanam dalam fitrah kita.”[1]Namun sifat manusia itu dapat menjadi rusak akibat berhubungan dengan kehidupan yang kasar. “Seorang ksatria”, kata Mencius, “adalah seseorang yang tidak kehilangan hati nuraninya, seperti anak kecil telanjang bulat.” Hati seorang bayi, katakanlah, adalah suatu lambang yang serupa dengan sumber semua kebajikan dalam fitrah kita yang kita harus pegang teguh. Namun ironinya, kita seperti ketika anjing atau ayam yang tersasar, kita bersusah payah mencarinya, dan sangat sedikit di antara kita yang tertarik untuk menemukan kembali kebajikan fitriah kita.”
Masalah selanjutnya yang menjadi perhatian Mencius ialah pemerintahan yang baik. Mengikuti tradisi aliran Kong Hu Chu, dia tetap berpendirian bahwa pemerintah yang baik tidaklah tergantung kepada kekuatan kekerasan, namun harus dengan contoh teladan yang ditegakkan oleh para penguasa:
“Segenap manusia mempunyai hati-nurani yang tidak tega melihat penderitaan orang lain. Raja-raja zaman dahulu memiliki kalbu yang penyayang, dan karena itu mereka mempunyai suatu pemerintahan yang penyayang. Setelah itu memerintah dunia adalah sama mudahnya dengan membalik telapak tangan.”
Tumbuh dari konsep “pemerintahan berperikemanusiaan” adalah pengenalan Mencius terhadap peranan rakyat dalam pemerintahan:
“ Rakyat memiliki tingkat kedudukan yang tinggi dalam negara, roh bumi dan biji-bijian datang kemudian, dan penguasa adalah perkara yang penghabisan.”
Pemerintahan yang baik harus tumbuh berakar dari rakyat dan tidak ditentukan dari atas. Rakyat tidak saja menjadi pokok melainkan juga pengadilan terakhir dari penguasa. Tujuan pemerintah adalah mendidik dan memperkaya serta memperbaiki kesejahteraan mereka secara menyeluruh.
Berbeda dengan Kong Hu Chu, Mencius, dan banyak lainnya, Hsun adalah seorang agnostic (kurang percaya akan barang gaib, pent. ) Dia tidak percaya pada Tien (Langit) sebagai Dzat Pribadi Ilahi Yang Esa. Tien tidak lebih dari keberagaman hukum alam, dan segala perobahan alam semesta, pergerakan bintang, pergeseran matahari dan rembulan, pergantian musim dan lain sebagainya adalah berlakunya hukum yang besar. Hsun Tzu berkata, bahwa manusia itu sendirilah dan bukanlah Tien yang bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri bagi tujuan keberuntungan atau pun bencana yang menimpa dirinya.
“ Bilamana bahan makanan dan pakaian disediakan dengan cukup dan digunakan secara ekonomis, maka Tien tidak dapat memiskinkan negeri. Jikalau rakyat disantuni dengan cukup dan enersi mereka diperkerjakan di musim tanam, Tien tidak dapat mengganggu rakyat. Jika Tao diikuti dan tidak ada penyimpangan dari hal itu, maka Tien tidak akan menurunkan kesengsaraan.”[1]
Hsun Tzu menolak segala macam takhayul seperti pengeramatan, ramalan, serta pemujaan benda-benda. Dia juga mempertanyakan manfaat doa: “Jika manusia berdoa minta hujan, lalu turun hujan, bagaimana pengertiannya? Saya akan katakan: Bukan perkara aneh. Hujan tokh akan tetap turun meskipun tidak ada orang yang berdoa meminta hujan.”[2]Gagasan aneh lainnya dari Hsun Tzu adalah bahwa fitrah manusia pada dasarnya jahat sehingga manusia harus berusaha mencari kebajikan. Dalam hubungan ini dia melancarkan serangan langsung kepada Mencius, ia menuduhnya gagal dalam membedakan apa yang menjadi bakat alami dan apa yang harus diusahakan dalam diri manusia. Bilamana kemuliaan yang dianggap Mencius sebagai yang terpenting untuk mengembangkan akhlak manusia, yakni kasih sayang sesama manusia (Jen), dan ketulusan (Yi), maka cara yang ditekankan sekali oleh Hsun Tzu adalah ritual (Li) dan musik (Yeo). Dia berpendapat bahwa ritual dan musik adalah sarana yang paling efisien untuk menekan apa yang dianggapnya sebagai sifat dasar manusia yang jahat.
Namun dengan bangkitnya dinasti Han (206 sM – 220 M) kebebasan berfikir muncul kembali di China. Tung Chun-shu yang salah satu dari pembaharu terbesar pada awal dinasti Han, mengusulkan kepada Kaisar bahwa kesatuan hanya dapat diperoleh dalam kerajaan bilamana agama Kong Hu Chu diangkat mengatasi aliran-aliran pemikiran yang lain. Universitas China pertama didirikan di ibukota Han, yakni Chang-an untuk menyalurkan jalan-jalan kesucian dari penguasa-penguasa lama, dan meningkatkan perkembangan moral serta intelektual dari Kerajaan”. Alat pengukur lain yang penting untuk mengangkat ajaran Kong Hu Chu ialah mulai diadakan sistem ujian yang berdasarkan lima Kitab Klasik. Tujuan dari ujian-ujian ini ialah untuk menghasilkan pegawai pemerintan yang memiliki integritas pendidikan dan moral serta mengabdi kepada ajaran Kong Hu Chu. Tung Chung-shu mencoba membangkitkan kembali ajaran yang murni dari Kong Hu Chu tidak sekedar sebagai filsafat, sebagaimana tampak pada perkembangannya belakangan, melainkan juga sebagai agama yang sepenuhnya dengan aspek-aspek kerohanian akhlak dan budaya, bersangkut paut sebanyak mungkin dengan kehausan jiwa manusia yang abadi untuk keselamatan dan dengan jalan-jalan Tuhan dalam hubungan dengan sesama manusia dan dengan alam semesta seperti juga dengan prinsip-prinsip hubungan yang benar dan keadilan sosial. Dia percaya atas keunggulan manusia bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya terletak dalam kemampuannya untuk menerima Wahyu Ilahi dan meleburkan hubungan pribadi serta wataknya sesuai dengan wahyu tersebut. Katanya:
“Manusia menerima ketentuan dari Tuhan dan karenanya dia lebih unggul dari makhluk lainnya. Makhluk-makhluk lain menderita kesukaran dan kesedihan serta tidak dapat mempraktikkan Jen (kasih sayang) dan Yi (ketulusan), manusia sendiri mempunyai kemampuan melaksanakannya.”[1]
Pandangan Tung terhadap fitrah manusia adalah seperti suatu kompromi antara pandangan Mencius dan Hsun Tzu. Dia setuju dengan Mencius bahwa sifat dasar manusia berisikan kemampuan untuk berbuat kebajikan, namun dia beranggapan bahwa permulaan ini tidaklah dengan sendirinya, bukti yang cukup bahwa sifat manusia itu selamanya baik karena sifat dasar manusia itu tidak hanya berisi bakatnya melainkan juga perasaannya. Manusia harus menunjukkan kemauan, dan perasaannya kepada perintah-perintah Tuhan agar dia menjadi baik. Dia juga menekankan hubungan antara tingkah laku manusia dan alam semesta. Perbuatan manusia yang jahat ditunjukkannya akan berakibat bencana dan penyimpangan:
“Mula-mula Tuhan mengirimkan peringatan dan bila setelah diberi peringatan manusia masih belum mau mengerti, maka Dia akan menakutinya dengan kegoncangan-kegoncangan. … Asal usul dari segala bencana dan goncangan itu adalah akibat langsung dari dosa-dosa yang ada dalam negeri itu.”[1]
Ketika kemenangan agama Kong Hu Chu hampir-hampir terjamin pada masa-masa awal dinasti Han, timbullah pada saat yang sama dalam barisan ahli fikir Kong Hu Chu suatu pertentangan yang pahit tentang penafsiran Kitab Klasik dan status pribadi Kong Hu Chu. Aliran Kitab Baru meningkatkan derajat Kong Hu Chu sebagai Tuhan Juru Selamat. Berlawanan dengan pandangan ini Aliran Kitab Lama tetap percaya bahwa Kong Hu Chu hanyalah seorang Nabi dan pahlawan. Namun ternyata aliran Kitab Baru memperoleh keunggulan selama masa itu. Pada tahun 59 suatu awal pemujaan terhadap Kong Hu Chu dimulai ketika Kaisar Ming dari dinasti Han, yang belakangan memerintahkan untuk beribadah kepada Kong Hu Chu, tadinya ditetapkan di Klenteng Lu kemudian ke segenap pemerintahan di kota-kota . Ini jelas menegakkan Kong Hu Chu menjadi dewa pendidik.Setelah hancurnya dinasti Han, datanglah masa panjang dari kekacauan moral dan politik di China, di mana ajaran Kong Hu Chu seolah-olah kehilangan pegangan di antara para terpelajar. Kebanyakan dari mereka lari ke agama Tao dan agama Buddha untuk mencari ilham. Tetapi usaha untuk melipatgandakan penuhanan kepada Kong Hu Chu semakin menjadi-jadi di kalangan pengikutnya, mungkin ini sebagai kompetisi tajam menghadapi agama-agama saingannya. Pada tahun 178 , patung Kong Hu Chu digunakan untuk pertama kalinya di kelenteng sebagai ganti dari ayat-ayat Kitab Suci. Selanjutnya hal ini diikuti dengan pembuatan patung-patung kayunya pada tahun 505 M. Pada tahun yang sama, kelenteng yang pertama untuk menghormati Kong Hu Chu dibangun di kota Nanking. Ketika China dipersatukan kembali oleh dinasti Tang pada abad ketujuh, pemujaan terhadap Kong Hu Chu benar-benar telah tegak.
Masa dinasti Sung (960 – 1280) dan dinasti Ming (1368 – 1644) tercatat adanya kebangkitan dan perkembangan aliran Li Hsueh Chia atau aliran penelaahan Li, yang biasa di Barat dikenal sebagai “Neo Confucianism”. Namun pemberian nama tersebut salah, karena tidak ada pemurnian kebangkitan agama Kong Hu Chu. Para ahli Neo Confucianism tak diragukan lagi memang ahli fikir Kong Hu Chu, namun aktivitas intelektual mereka diilhami dan ditentukan oleh spekulasi atas keunggulan guru Ch’an (Zen). Jadi Neo Confucianism adalah semacam penggabuangan atau revisi dari etika, moral, dan kepercayaan masa lampau serta prinsip-prinsip Kong Hu Chu yang seluruhnya telah bercampur dengan agama Buddha dan Tao. Tidak dipungkiri lagi ini adalah satu dan sistem yang paling penting dikembangkan di China. Pengaruh intelekktual yang telah terjadi di China pada masa lampau, kebudayaan dan pemikiran yang telah diambil dari negeri-negeri asing, semuanya membentuk kerangka falsafah ini dan mengkristal di dalamnya.
Sesudah Kitab Himpunan ini, maka kita menemukan enam Kitab Klasik kaum Kong Hu Chu yang katanya ditulis atau disunting oleh Kong Hu Chu. Kitab-kitab itu adalah:
1. Shu Ching (Kitab Sejarah). Aslinya berisi seratus dokumen sejarah dari para dinasti kuno China dan meliputi suatu periode panjang antara abad duapuluh empat hingga abad kedelapan sebelum Masehi. Katanya Kong Hu Chu telah mengatur dokumen-dokumen ini secara kronologis dan menulis kata pengantarnya pula. Dokumen-dokumen ini mengalir bersama ajaran-ajaran keagamaan dan moral. Kong Hu Chu menyunting dokumen-dokumen ini agar para siswanya menjadi akrab dengan fakta-fakta berkenaan dengan bangkit dan runtuhnya dinasti-dinasti tersebut. Dari seratus dokumen yang telah disusun nya hanya duapulah delapan yang ada dalam Kitab Sejarah.
2. Shih Ching (Buku Syair). Ini adalah kumpuluan sajak-sajak yang popular dan ditulis selama limaratus tahun pertama dari dinasti Chou. Maksud Kong Hu Chu dalam menyunting kitab ini adalah menjadikan pengikutnya berbudaya dan ahli dalam menggunakan kata-kata serta untuk menekankan nilai-nilai moral dalam syair-syair tersebut. Beliau memilih 305 sajak dari lebih 3000 buah yang dikumpulkan.
3. Yi Ching (Kitab Perobahan). Buku ini menawarkan suatu sistem filsafat yang sangat menarik. Kitab ini menerangi apa yang disebut prinsip-prinsip dalam Yin (lelaki) dan Yang (wanita).4. Li Chi (Kitab Upacara-Upacara). Kong Hu Chu menyetujui beberapa upacara tradisional untuk mendisiplinkan rakyat dan akan membawa perbaikan, kemuliaan, serta kekayaan terhadap sikap sosial mereka. Beliau menerangkan asal usul dan pentingnya upacara kuno dan menyebut bahwa li adalah penyebaran rasa hati. Mengeritik praktik-praktik yang merendahkan pada masa belakangan, beliau mengatakan bahwa li tanpa rasa hati tiada lain pelecehan terhadap upacara-upacara keagamaan.
5. Yeo (Kitab Musik). Pada masa Kong Hu Chu, musik sangat erat sangkut pautnya dengan sajak. Maka ketika beliau menyunting puisi-puisi lama, beliau menyusun suatu pengaturan musik yang mengiringi setiap sajak-sajaknya. Beliau kadang-kadang merevisi nada yang lama atau menciptakan lagu baru. Sayang tak sebuah pun dari musik-musik ini masih ada.
6. Ch’un Ch’iu (Kitab Bersambungnya Musim Semi dan Musim Gugur). Ini adalah catatan kronologis dari peristiwa-peristiwa utama di negeri Lu dari tahun pertama pemerintahan Pangeran Ai (481 sM). “Tema sentral dari buku ini”, tulis Chu Chai, “adalah untuk membangun norma-norma pemerintahan yang baik, membimbing pangeran pangeran yang menyeleweng kembali ke tempatnya yang tepat, dan mengutuk menteri-menteri yang salah urus sehingga dengan demikian akan mengokohkan persatuan dan perdamaian dunia.”
Penting pula untuk memahami agama Kong Hu Chu, yakni tiga Kitab lainnya yang berisi penyajian yang sangat awal dari doktrin agama Kong Hu Chu. Ini adalah:1. Ta Hsueh (Pelajaran Besar). Kitab ini secara tradisional dinisbahkan kepada Tseng Tsan, satu dari murid-murid utama Kong Hu Chu. Tema sentral buku ini adalah memupuk perkembangan pribadi, yakni (a) manifestasi dari sifat-sifat mulia, (b) kasih sayang sesama manusia, dan (c) tetap teguh dalam kebajikan yang tertinggi. Delapan perkara etis politis (atau delapan “kawat-kawat kecil”) yang mendorong perkembangan pribadi adalah: (i) penyelidikan, (ii) memperluas pengetahuan, (iii) ketulusan dalam fikiran, (iv) pensucian hati, (v) memperkaya pribadi (vi) tata krama kekeluargaan, (vii) tata pemerintahan, (viii) jaminan perdamaian dunia.
2. Chung Yung (Doktrin Jalan Tengah). Kitab ini ditulis oleh cucu Kong Hu Chu, Tzu-ssu, adalah sajian sistematis dari doktrin hakiki (Chung), dan kenyataan normal (Yung). Untuk menjamin ketepatan hakekat dan kenyataan normal itu tidak cukup hanya dengan mengeja suatu jalan tengah; hal ini lebih diartikan sebagai keharmonisan dengan alam semesta. Jadi jalan kepada hakiki dan kenyataan normal melibatkan rasa keadilan, semangat toleransi, keadaan harmonis, dan doktrin persamaan manusia. Ini adalah suatu cara bertindak yang mencegah seseorang menjadi ekstrim. Ini juga suatu keadaan fikiran di mana akal budi manusia dan perasaan mencapai keharmonisan yang sempurna.
3. Hsiao Ching (Buku klasik tentang kewajiban untuk taat). Buku ini adalah bentuk percakapan antara Tsung Tzu dan Kong Hu Chu. Beliau menerangkan pandangan bahwa “tugas untuk taat adalah dasar dan sifat yang mulia serta sumber budaya.” Menurut beliau tugas ketaatan itu tidak hanya suatu kemuliaan di dalam rumah tangga saja, melainkan juga memancarkan pengaruhnya ke segenap tingkah laku hidupnya, baik moral, politik, maupun sosial. Konsep itu berasal dari ikatan kekeluargaan biasa dan meluas ke pada hubungan-hubungan lain, hingga akhirnya mencapai tingkat Jen yang berarti kasih sayang penuh manusia terhadap segenap ummat
Untuk penyajian agama Kong Hu Chu yang belakangan, marilah kita tengok tiga kitabnya yang lain:1. Kitab Mencius. Ini terdiri dari tiga ceramah di mana Mencius berhadapan dengan pangeran-pangeran feodal, para menteri, para sahabat, dan murid-muridnya. Ini termasuk satu dari empat kitab suci agama Kong Hu Chu. Tiga lainnya adalah Himpunan dari Kong Hu Chu, Pelajaran yang Besar, dan Ajaran Hakiki.
2. Buku dari Hsun Tzu. Aslinya terdiri dari tigaratus dan duapuluh dua artikel tetapi setelah disunting dan disarikan karangan-karangan tersebut dalam edisi standar sekarang bisa diperolah dalam tigapuluh dua bagian.
3. Ch’un Ch’iu Fan-lu (Aneka ragam embun di musim semi dan gugur). Kitab ini ditulis pada permulaan dinasti Han oleh Tung Chung-shu, yang membangkitkan dan menegakkan agama Kong Hu Chu sebagai Agama Negara sepenuhnya. Buku ini berisi beberapa ceramah yang penuh renungan tentang sifat manusia, falsafah, sejarah, dan ilmu tentang bencana alam , serta keadaan-keadaan yang tidak wajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH