Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Meng Zi 孟 子 Tokoh Besar Kedua Setelah Nabi Kong Zi 孔 子

Meng zi atau Mencius atau Bingcu dialek Hokkian (372 s.M – 289 s.M) sering menggunakan cerita-cerita untuk mengajarkan nilai moral. Inilah beberapa di antaranya:
A. Rasa Malu
Di negeri Qi 齐 (Cee dialek Hokkian) ada seorang laki-laki dan dua orang isterinya. (Di negeri Tiongkok jaman Meng zi adalah dianggap biasa seorang laki-laki menikahi lebih dari seorang isteri dan hidup dalam satu rumah yang sama).
Laki-laki itu tiap sore pulang dalam keadaan setengah mabuk, kepada isterinya ia membuat tentang makanan enak dan anggur pada pesta yang diselenggarakan teman-temannya yang penting kedudukannya. Suatu hari, salah seorang isterinya menjadi curiga dan menanyainya tentang kawan-kawan yang sering menjamu anggur dan makan itu.
“Mereka ialah orang-orang kaya dari kalangan atas. Tetapi sudah barang tentu orang seperti kamu takkan tahu akan mereka, bahkan kalau kukatakan namanya. Maka bersabarlah!”
Isteri itu tidak menekannya lebih lanjut, tetapi jawaban yang selalu mengetak itu menimbulkan kecurigaannya.
Isteri itu menjadi heran, “Kalau ia benar-benar mempunyai sangat banyak teman kaya dan penting, mengapa ia belum pernah mengundangnya? Mengapa tiada seorang teman pun yang membalas berkunjung?”
Terbakar oleh keinginantahuannya, isteri itu memutuskan bahwa salah seorang di antaranya akan mengikuti suaminya, ke mana sesungguhnya tiap kali mengatakan dirinya telah di undang oleh seorang yang kaya dan berkuasa untuk berpesta.
Keesokan harinya, sang suami seperti biasa meninggalkan rumah. Salah seorang isterinya secara rahasia mengikuti suaminya dari jauh. Ia mengikutinya lewat banyak jalan dan lorong yang tidak terhitung banyaknya yang langsung menuju kebagian lain kota itu. Tempat itu bukan sebuah kota besar, maka semestinya akan segera menjumpai wajah-wajah yang tak asing. Tetapi anehnya, tidak seorang pun dalam perjalanan itu ada orang yang berhenti dan menyapa suaminya. Alangkah mengherankan dan tidak wajar.
Menjelang tengah siang hari, mereka sampai ke sebuah kuburan dekat batas kota. Alangkah terkejutnya isteri itu melihat sang suami berjalan memasuki tempat pemakaman dan mendekati sebuah keluarga yang sedang bersembahyang di hadapan makam leluhurnya. Betapa gemetar isteri itu melihat suaminya meminta makanan dan anggur kepada orang-orang itu untuk mengisi perutnya. Setelah usai makan dan minum pemberian satu keluarga, ia kembali mendekati keluarga lain sampai perutnya kenyang.
Terpaku dengan rasa kejijikan dan kekecewaan, isteri itu pulang untuk menceriterakan kejadian mengejutkan itu. Kedua orang isteri itu menangis dengan sedihnya. Mereka meratapi dirinya yang telah menikah dengan orang yang sedemikian tidak punya rasa malu. Peristiwa itu dirasakan sebagai tamparan berat bagi mereka berdua.
Sementara itu, sang suami tidak sadar bahwa rahasianya telah terbongkar, ia pulang seperti biasa dan membual, “Hari ini adalah giliran si Ong yang menyelenggarakan pesta. Kamu tahu betapa mewah makanan yang disajikan …”
Meng zi Sang Penegak berhenti bicara sampai di sini untuk menjelaskan dengan cerita yang menggambarkan betapa pentingnya rasa tahu malu itu. Rasa tahu malu yang datang dari dalam diri itu dapat mencegah kita dari prilaku yang bertentangan dengan dasar moral yang luhur. Lebih lanjut Meng zi menambahkan, bila kita ingin meraih suatu keberhasilan lewat cara yang meninggalkan rasa malu dan moral luhur, kita tidak hanya menghinakan diri sendiri, tetapi juga merampok rasa hormat dan harga diri sendiri. (lihat Meng zi IV B. 33).
B. Sang Ikan Sudah Bahagia

Zi Chan 子 产 (Cu San dialek Hokkian), seorang pejabat tinggi di negeri Zheng 郑 国 (negeri Tin dialek Hokkian), suatu ketika diberi seekor ikan hidup. Ia memerintahkan kepada pembantunya agar ikan itu dipelihara di kolam halaman rumahnya. Tetapi, pembantu itu telah memasaknya untuk makan malamnya. Pembantu itu berceritera kepada Zi Chan demikian :
“Tuan, ketika pertama saya menaruh ikan itu ke dalam kolam, kelihatannya sudah tidak hidup. Tetapi, sekejab kemudian ikan itu melompat-lompat hidup, kemudian ikan itu hilang ke kedalaman kolam dengan mengibas-ibaskan ekornya. “Mendengar penuturan itu Zi Chan berkata, “Oh, alangkah berbahagianya ikan itu.”
Pembantu itu tertawa kecil dalam hati : “Ikan itu telah menghangatkan perutku, tetapi ia mengira ikannya telah berenang di kolam. Kata orang-orang Zi Chan pandai, ha, ha!”
Pembantu itu mentertawakan karena merasa betapa mudahnya ia dapat mengelabui tuannya yang katanya adalah seorang pejabat yang hebat.
Di sini, Meng zi menunjukkan betapa kebodohan mempercayai sesuatu tanpa menanyakan segala sesuatu yang kita lihat atau yang kita dengar.
C. Membebaskan lembu

Meng zi, seperti halnya Nabi Kong zi (孔 子), seringkali berkeliling ke berbagai negeri, mengajarkan orang-orang bagaimana hidup bermoral, berpulang kepada Jalan Suci yang di ridhoi Tian dan memberi nasehat tentang bagaimana memerintah dengan adil dan cinta kasih kepada para penguasa.
Dalam perjalanan kelilingnya, Meng zi pernah tinggal agak lama di negeri Qi 齐 sebagai tamu kehormatan Raja Xuan齐宣 王 (Qi Xuan Wang) atau Cee Swan Ong dialek Hokkian. Dalam sebuah percakapan tidak resmi, raja meminta nasehat Meng zi bagaimana agar dapat menjadi raja yang benar.
“Orang akan menjadi raja yang benar dengan mengamalkan pemerintahan yang disemangati cinta-kasih sehingga dapat membawakan perdamaian dan kesejahteraan bagi rakyat.”, kata Meng zi.
“Apakah Bapak piker saya dapat membawakan perdamaian dan kesejahteraan bagi rakyat?” tanya sang raja.
“Ya, tentu saja Baginda mampu,”jawab Meng zi.
“Apa yang menyebabkan Bapak berpikir bahwa saya mampu?” tanya raja.
“Saya mendengar bahwa suatu ketika Baginda memerintahkan lembu korban dibebaskan karena Baginda tidak tahan melihat kesedihan dan ketakutan nampak dimata lembu yang dibawa ke altar untuk disembelih. Apakah hal itu benar?” kata Mengzi.
“Ya, itu benar”, raja mengangguk.
“Itu menunjukkan bahwa Baginda bisa menjadi raja yang benar. Baginda tersentuh oleh kesedihan lembu yang tanpa kesalahan harus mati. Bila Baginda meluaskan kebaikan ini dan menaruh peduli kepada rakyat Baginda, Baginda pasti akan membawakan kedamaian dan ketentraman negara.”
D. Raja Xuan Kebingungan

Pada kesempatan lain. Mengzi mengungkapkan problem di bawah ini kepada Raja Swan:
“Suatu hari ada orang yang harus bepergian jauh. Sebelum berangkat, ia mempercayakan isteri dan anak-anaknya kepada seorang kawannya untuk menjaga dan merawatnya. Tetapi ketika ia kembali, ia mendapati isteri dan anak-anaknya kelaparan dan kedinginan. Akan Baginda apakah sahabat semacam itu?” demikian Mengzi bertanya.
“Putuskan persahabatan itu,” jawab sang raja.
“Katakanlah, ada seorang pejabat tinggi. Baginda memberinya tanggung jawab yang penting dan tugas negara. Baginda kemudian mendapati pejabat itu ternyata tidak dapat menegakkan disiplin atas anak buahnya. Apakah yang akan Baginda lakukan atas pejabat itu?”, tanya Meng zi
Raja Swan mendadak menyadari akan dirinya dan menjadi resah. Ia melihat ke sana, ke sini dan tidak menjawab pertanyaan Meng zi, cepat-cepat ia mengubah materi pembicaraan.
Meng zi yang cerdas itu mencoba menjebak sang raja untuk menjawab. Beliau merasa berkewajiban dan bertanggung jawab, meskipun dengan perasaan tidak enak, untuk mengguncang hati raja dari kelekatannya terhadap kesenangan sendiri dan membujuknya untuk mengambil tata pemerintahan yang disemangati cinta kasih. Meng zi merasa, inilah jalan satu-satunya untuk memperjuangkan nasib rakyat. Peristiwa itu menunjukkan keberanian moral dan cinta Meng zi yang wajib menjadi cermin bagi para pengikutnya.
E. Tokoh Besar Ke Dua Setelah Nabi Kong Zi 孔子
Meng zi menegaskan bahwa Tian telah mengarunia manusia dengan watak sejati yang aslinya baik. Beliau menegaskan bahwa manusia dikarunia empat benih kebajikan di dalam dirinya, bila semuanya itu berkembang penuh lewat pendidikan dan pembinaan diri, akan menumbuhkan individu yang berkesadaran moral luhur. Seperti Nabi Kong zi, Meng zi yakin bahwa semua manusia dikarunia kemampuan yang sama untuk mencapainya. Karenanya, beliau mendorong kita untuk mempunyai keberanian moral untuk hidup berlandas prinsip-prinsip kita dan tidak tergoyahkan oleh kekayaan dan kekuasaan.
Mengzi, yang gerak dan lakunya selalu mencerminkan kebajikan yang dikhotbahkan, meninggalkan kesan yang mendalam kepada semua yang mengenalnya. Setelah meninggal dunia, murid-muridnya berkumpul bersama mencatat ajaran-ajarannya dan percakapan-percakapannya dengan orang lain. Catatan-catatan itu dikumpulkan menjadi sebuah kitab yang mengangkat perkembangan lebih lanjut Ajaran Agama Khonghucu (Ru Jiao) yang asli, dan meluruskan dari tafsiran-tafsiran yang menyimpang. Inilah Kitab Meng zi yang terkenal dan lestari terwariskan sampai kini. Sungguh, Meng zi tidak hanya berperan sangat penting dalam misi penyebaran Agama Khonghucu (Ru Jiao), beliau sendiri adalah sosok pribadi yang menjadi contoh kebajikan yang diajarkan dalam Agama Khonghucu. Karenanya, beliau diakui sebagai tokoh besar ke dua setelah Nabi Kong zi dalam agama Khonghucu (Ru Jiao).
Meng zi yang hidup pada jaman Peperangan Antar Negara itu, melihat banyak aliran-aliran yang menyimpang tanpa kendali, beratus aliran bermunculan, kita bersyukur ke hadirat Tian, Meng zi dikarunia kecerahan, semangat dan kemampuan untuk menegakkan dan meluruskan ajaran yang benar dan lurus, dan tanpa kompromi menunjukkan berbagai aliran yang menyimpang itu. Di samping membimbing murid-muridnya mawas diri dan membina prilaku, beliau juga menekankan perlunyaa pembangunan iman dan kehidupan rohani. Beliau mengajarkan, “Belaksa benda tersedia lengkap di dalam diri, kalau memeriksa diri ternyata penuh iman, sesungguhnya tiada kebahagiaan yang lebih besar dari ini. Sekuat diri laksanakanlah Tepasarira, untuk mendapatkan cinta kasih tiada yang lebih dekat dari ini.” (Meng zi VII A : 3), beliau juga berkata, “Yang benar-benar dapat menyelami hati, akan mengenal watak sejatinya, yang mengenal watak sejatinya akan mengenal Tian. Tentang usia pendek atau panjang, jangan bimbangkan. Siaplah dengan membina diri. Demikianlah menegakkan Firman.” (Meng zi VII A :1).
Karena itu, Kitab Meng zi, meskipun ditulis seratus tahunan setelah wafat Nabi Kongzi, kitab ini dinamai sebagai Kitab Suci dan menjadi kitab yang terakhir dalam Kitab Suci Si Shu.
print this page Print this page

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH