Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Bulan Chiet Gwee Bulan Berdana

Penulis : Tan Sudemi

Setiap tahun pada bulan 7 ( Chiet Gwee ) penanggalan Imlek  umat Ru Jiao ( Agama Khonghucu ) melaksanakan persembahyangan yang disebut Jing He Ping ( King Ho Peng ). Persembahyangan ini dilaksanakan selama dua kali :
  1. persembahyangan untuk arwah leluhur yang dilaksanakan pada tanggal 15 bulan 7 Imlek    persembahyangan ini dilaksanakan dirumah masing-masing
  2. persembahyangan untuk arwah umum yang dilaksanakan pada tanggal 29 bulan 7 Imlek persembahyangan ini dilaksanakan di Bio ( Kelenteng ). Persembahyangan yang dilaksanakan Bio sering disebut juga sembahyang rebutan.
Mengapa Bulan Chiet Gwee ini disebut bulan berdana ? Pada bulan 7 Imlek umat Ru Jiao diwajibkan untuk berdana. Berdana ini terbagi atas dua, yakni :
  1. berdana untuk arwah orang-orang yang telah meninggal yang diwujudkan dalam persembahyangan di setiap Bio atau Khongcu Bio serta Litang.
  2. berdana untuk kelompok fakir miskin
Sembahyang Jing He Ping sering disebut juga chiet gwee pua ( pertengahan bulan tujuh imlek ) karena umat Ru Jiao melaksanakan persembahyangan untuk arwah leluhur pada tanggal 15 bulan 7 Imlek. Pada bulan ini umat Ru Jiao pantang melaksanakan upacara perkawinan atau pesta-pesta, umat Ru Jiao diminta untuk selalu mawas diri dan memperhatikan lingkungan sekitarnya. Pada bulan ini senantiasa tidak lupa memanjatkan do’a  bagi mereka yang telah mendahului hidup untuk para leluhur, orang tua, saudara maupun kerabat, sahabat serta mereka yang tidak memiliki keturunan. berdana untuk arwah leluhur merupakan wujub dari laku bakti, “Sesungguhnya laku bakti itu ialah pokok kebajikan. Daripadanya agama berkembang. Tubuh, anggota badan, rambut dan kulit, diterima dari ayah dan bunda. Perbuatan tidak berani membiarkannya rusak, itulah permulaan laku bakti. Menegakkan diri hidup melaksanakan Jalan Suci, meninggalkan nama baik di zaman kemudian sehingga memuliakan ayah dan bunda, itu akhir laku bakti. Adapun laku bakti itu dimulai dengan mengabdi kepada orang tua, selanjutnya mengabdi kepada pemimpin dan akhirnya menegakkan diri”.

Umat Ru Jiao juga diwajibkan untuk menyisihkan penghasilan mereka berdana bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan sebagai wujud kepedulian sosial, Seseorang yang penuh cinta kasih menggunakan harta untuk mengembangkan diri. Seseorang yang tidak berperi cinta kasih menbabdikan diri untuk menumpuk harta” (Da Xue Bab X : 20).
“Pemimpin negara yang hanya mengutamakan harta saja, menunjukkan dia seorang yang berbudi rendah. Jika perbuatan berbudi rendah itu dianggap baik, maka akan datang malapetaka bagi negara itu. Bila hal ini sudah terjadi, meski datang seorang yang baik, ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Maka dikatakan suatu negara janganlah menganggap keuntungan, tetapi pandanglah kebenaran sebagai keberuntungan” ( Da Xue Bab X ayat 23 ).

Kekayaan tidak boleh ditumpuk untuk kepentingan diri sendiri, tetapi harus didistribusikan kepada sesama yang berhak sebagai wujud solidaritas dan tanggung jawab sosial. Perbedaan yang mencolok antara yang kaya dan miskin jika dibarkan terus sangat potensial memunculkan tindak kekerasan. Secara sosial, pada harta orang yang kaya ada hak bagi yang miskin. Ini artinya ada kewajiban bagi yang kaya untuk mendistribusikan kekayaannya kepada yang miskin. Sesuai dengan ajaran Ru Jiao ( Agama Khonghucu ), harta yang terdistribusi jauh lebih bermakna ketimbang harta yang menumpuk. Kewajiban mendistribusikan harta berlaku kepada semua orang yang memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hanya kebajikan berkenan kepada Tian, tiada jarak jauh tidak terjangkau, kesombongan mengundang rugi, kerendahan hati menerima berkah, demikianlah senantiasa Jalan Suci Tian. (Su King )

Sungguh milikilah yang satu-satunya itu : Kebajikan. Sungguh kepadanya Tian berkenan, akan menerima firman Tian yang gemilang itu. Bukannya Tian memihak kepadaku, hanya Tian melindungi yang satu ialah Kebajikan ( Su King III : 8 ).

Meskipun persembahnyangan Jing He Ping ( King Ho Peng ) merupakan bagian dari ritual agama Ru ( Agama Khonghucu ) namun agama Buddha yang masuk ke daratan Tiongkok antara tahun 70 dan 50 Seb.Masehi. Para biksu Buddha mengadopsi ajaran-ajaran Tao maupun Khonghucu dalam memperkenalkan Buddhisme di tengah masyarakat Tiongkok yang akhirnya melahirkan sekte Buddha Mahayana. Masyarakat Han pada waktu itu yang menganut agama Ru atau yang lebih kenal dengan nama budaya Ru  / Konfusiani yang merata di daratan Tiongkok. Pada akhirnya agama Buddha Mahayana menyebar secara perlahan-lahan pada masa akhir dinasti Han. Para Biksu menetralisir ajaran Khonghucu diantaranya tentang laku bakti. Salah satu kisah yang melegenda di Bulan Chiet Gwee ini di tengah-tengah masyarakat hingga saat ini adalah kisah Monggalana ( Mu Jian Lian atau Muk Lian ).

Ia adalah murid Buddha Gautama, murid yang sangat cerdas dan sakti. Karena ketekunannya melakukan meditasi, ia pun dapat melihat perwujudan ibunya setelah reinkarnasi. Dari 18 tingkatan neraka ada 6 jalur reinkarnasi. Ibunya berada di jalur paling bawah yakni di tingkat 6. Tingkat tersebut adalah alam kehidupan hantu yang lapar. Dengan mata bathinnya, Monggalana kaget melihat keadaan ibunya yang sangat kurus dan tidak dapat makan karena jalur masuknya makanan di kerongkongannya telah mengecil seperti sebuah lubang jarum.

Monggalana berusaha keras menolong ibunya dengan memberi makan, tetapi ketika makanan itu dipegangnya, seketika makanan itu berubah menjadi api dan membuat sang ibu kepanasan, bahkan terbakar. Hal ini dilakukannya sebanyak tiga kali berturut-turut, tetapi ia tetap tidak dapat berhasil menolong ibunya. Hingga ia bertanya kepada sang Buddha, mengapa orang lain dapat ia tolong, tetapi ibunya sendiri tidak dapat ia tolong.

Sang Buddha pun menjawab bahwa orang lain dapat ia tolong karena ia tidak memiliki kadar kepentingan apa-apa kepada mereka, namun terhadap ibunya ia masih punya kepentingan pribadi yang membuatnya terikat secara bathin. Dalam menolong tidak boleh ada kepentingan apa-apa. Semasa ibunya hidup, Monggalana selalu mengolok pertapa dan biksu, bahkan terhadap orang  vegetarian yang menghindari makanan yang mengandung darah. Ibunya pun sering secara sembunyi-sembunyi memberi mereka makanan dengan darah. Karena itulah sang ibu dalam reinkarnasinya menjadi hantu lapar. Jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan sang ibu ialah berdana dan memberi bantuan makanan kepada para pertapa, biksu dan masyarakat miskin yang tidak mampu, kemudian niatkan bahwa semua amalannya dipersembahkan untuk sang ibu. Setelah Monggalana melakukannya, ternyata ibunya telah berpindah ke alam yang lebih baik. Inilah kisah dari agama Buddha Mahayana yang telah menyatu dalam budaya Konfusiani dikalangan masyarakat Han maupun orang Tionghoa. Pada bulan Chiet Gwee umat Buddha Mahayana ikut melaksanakan persembahyangan yang disebut Cioko atau ulambana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH