Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Belajar dari Yi Hwang Pesona Sikap Bersahaja

“Gading”, yang ditinggalkan oleh cendekiawan Ru Jiao (Konfusianisme) dari Dinasti Joeson, Korea, Toegye Yi Hwang, ternyata tak hanya sketsa wajahnya di uang kertas 1.000 won atau sekedar nama jalan (Toegyero). Lebih dari itu, semangatnya untuk terus belajar, sebagai cara memahami manusia dan dunia, juga rasa hormat kepada setiap orang bahkan benda –keharmonisan- akan terus hidup lestari seperti peninggalannya berupa Konfusianisme Dosan Seowon yang tak ikut hancur oleh gempuran zaman. Dahulu para muda berbondong-bondong ke Dosan Seowon untuk memperlajari ajaran Klasik Confucius. Salah satunya pemuda dalam tokoh cerita ini.

Si pemuda kelihatan penuh semangat menempuh perjalanan menuju ke kota Andong, Provinsi Gyeongsang Utara. Di situlah Dosan Seowon berdiri. Dan, di situ pulalah si pemuda menumpahkan harapan akan masa depan gemilangnya. Bagaimana tidak, ia bukan orang sembarangan. Pemuda itu berasal  dari golongan bangsawan dan kelas berkuasa  (yangban), yang menguasai hampir seluruh negeri. Setelah menempuh pendidikan di Dosan  Seowon, jabatan pretisius sudah menunggunya.

Bibir si pemuda yang terus mengembangkan senyuman selama perjalanan, tiba-tiba menjadi kaku. Langkahnya mendadak  berhenti. Sebuah sungai menghadang di depan sana. Sungai  kecil yang sebenarnya tidak terlalu dalam. Cuma sayangnya tak ada batu pijakan apalagi jembatan untuk melintas. Mau tak mau ia harus menggulung celana serta melepas sepatunya. Ah, benar-benar menyebalkan. Rusak sudah penampilan perlentenya. Seorang bangsawan tidak pantas mengangkat-angkat celana. Mana buat kotor kaki lagi.

Si pemuda bersungut-sungut tanpa henti. Ia harus bisa menyeberangi sungai tanpa mengotori tubuhnya. Jangan sampai tiba ke akademi dengan keadaan berantakan. Apa kata orang kalau melihatnya? Belum apa-apa mereka pasti  akan merendahkannya. Ah, laki-laki tua yang sedang mencari kayu bakar itu pasti bisa menolong. Si pemuda segera memanggilnya.

“Kek, tolong gendong aku ke seberang sungai,”kata si pemuda. Si kakek tidak menjawab sepatah kata pun. Ia Cuma mengangguk-angguk saja. Tanpa ragu-ragu, naiklah pemuda itu ke punggung renta sang kakek.

“Aku mau ke Dosan Seowon,”kata pemuda memulai percakapan. “Kau tahu di mana tempat itu?”

“Tentu saja,” jawab kakek ramah. “Akan aku antar kau ke sana.”

“Aku bermaksud menuntut ilmu dari Yi Hwang yang terkenal itu. Kau tahu siapa dia?” jelas si pemuda lagi dengan penuh antusius.

“Ya, aku tahu. Aku kenal baik dengan orang itu,” jawab si kakek tenang.

“Oh, ya?! Kau pasti bercanda. Bagaimana mungkin orang sepertimu mengenal pria bijak yang luas pengetahuannya seperti Yi Hwang?” tukas si pemuda sambil mengenyitkan kening.

Si kakek tersenyum lembut. “Akulah Yi Hwang yang kau cari.”

Apa! Si pemuda seperti disambar halilintar saking terkejutnya. Ia mendadak jadi bisu, tak tahu harus mengatakan apa lagi. Keringat sebesar biji jagung turun dengan deras membasahi tubuhnya. Penampilannya saat itu jelas benar-benar jauh dari perlente. Ia malu sekali telah bersikap sombong dan kurang ajar.

“Tuan Yi Hwang, turunkan aku. Tolong aku mohon, turunkanlah aku.”

Yi Hwang menggeleng dan tersenyum. Tak sedikit pun muncul kemarahannya di wajahnya. “Tenanglah, anak muda. Aku sudah berjanji akan mengantarmu sampai ke tujuan. Aku tak pernah melanggar janjiku. Kau santai-santai saja dan nikmati perjalananmu.”

Apa lagi yang bisa si pemuda lakukan. Baru awal begini, ia sudah melakukan perbuatan yang begitu konyol, dan jelas tak beradab. Sepanjang jalan, si pemuda hanya bisa bersusah payah menahan rasa malu.

Komentar
Coba bayangkan jika Anda berada dalam posisi si pemuda. Tak hanya rasa malu yang tak tertahankan. Kredibilitas  sebagai seorang individu sudah tercoreng, sebelum ia sempat  membuktikan diri. Hanya karena kebesaran jiwalah, orang dapat memaklumi impresi kurang menyenangkan yang ia terima. Seperti sosok sang guru itu, makin bersinar namanya, makin merunduk ia dalam sikap bersahaja. Orang seperti sang guru semakin sedikit jumlahnya saat ini. Magnet yang membuat orang berkerumun adalah mimpi menjadi terkenal dan berkuasa. Semua cara menjadi halal untuk menggapai mimpi, bahkan sampai menindas punggung-punggung renta kaum miskin. Mestinya pribadi yang menawan tidak seperti itu, bukan?

Sumber  :  
101 Cerita Bijak dari Korea, penyunting Rinurbad, Penerbit Gradien Mediatama,Yogyakarta
print this page Print this page

1 komentar:

TERIMA KASIH