Home Tentang Kami Kontak Kami Donasi E-Book

Dengan Semangat Jie Sie Siang Ang Taburkan Cinta Kasih

Penulis : Tan Sudemi
Setiap dua kali dalam satu tahun umat Ru Jiao ( agama Khonghucu ) diminta kewajibannya untuk berdana untuk saudara-saudara kita yang tergolong secara ekonomi tidak mampu atau fakir miskin :
1. Hari Khing Hoo Ping di bulan Chiet Gwee
2. Hari Jie Sie Siang Ang ( Hari Persaudaraan ) menjelang tahun Baru Imlek

“Seseorang yang penuh cinta kasih menggunakan harta untuk mengembangkan diri. Seseorang yang tidak berperi cinta kasih mengabdikan diri untuk menumpuk harta” (Da Xue Bab X : 20).
Menjadi kaya raya dalam agama Ru Jiao tidak dilarang, bahkan dianjurkan dengan harta yang berlimpah seseorang bisa memberikan bantuan dan kemudahan bagi yang membutuhkan. Berbuat baik dengan memberikan dana tidak akan mengurangi harta benda yang dimiliki, belum pernah ada kisah orang yang berdana dengan hartanya menjadi miskin malahan orang tersebut mendapat berkah.

Raja suci Wen ( Bun ) ketika menjalankan pemerintahan, beliau mengutamakan cinta kasih terhadap empat golongan yakni :
1. Orang tua yang tidak beristri atau duda
2. Orang tua yang tidak bersuami atau janda
3. Orang tua yang tidak mempunyai anak atau sebatang kara
4. anak yang tidak memiliki ayah atau yatim
Mengapa Raja suci Wen mengutamakan empat golongan di atas ? karena keempat golongan inilah orang-orang yang paling sengsara dan tidak ada tempat untuk meminta pertolongan dari sesamanya.
( Meng Zi IB,5:3 )
Di dalam kitab Shi Jing tertulis,”Masih bahagia orang yang kaya, namun sungguh menyedihkan nasib orang yang sebatang kara”.
Kekayaan tidak boleh ditumpuk untuk kepentingan diri sendiri, tetapi harus didistribusikan kepada sesama yang berhak sebagai wujud solidaritas dan tanggung jawab sosial. Perbedaan yang mencolok antara yang kaya dan miskin jika dibiarkan terus sangat potensial memunculkan tindak kekerasan. Secara sosial, pada harta orang yang kaya ada hak bagi yang miskin. Ini artinya ada kewajiban bagi yang kaya untuk mendistribusikan kekayaannya kepada yang miskin. Sesuai dengan ajaran Ru Jiao, harta yang terdistribusi jauh lebih bermakna ketimbang harta yang menumpuk. Kewajiban mendistribusikan harta berlaku kepada semua orang yang memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Mengurus harta pun ada jalannya yang besar, bila penghasilan lebih besar daripada pemakaian dan bekerja setangkas mungkin sambil berhemat, niscaya harta benda akan terpelihara. Seorang yang penuh cinta kasih menggunakan harta untuk mengembangkan diri. Seorang yang tidak berperilaku cinta kasih, mengabdikan dirinya untuk menumpuk harta.” (Da Xue Bab Utama 19-20)
Berdana itu perbuatan mulia dan Tian senantiasa memberkahi. Berdana itu harus dilakukan dengan hati yang ikhlas dan tulus bukan dengan kesombongan karena akan mendatangkan kerugian bagi yang memberi sebaliknya dengan dengan hati yang ikhlas dan tulus akan menerima berkah Tian. Harta yang diberikan dipastikan membawa berkah, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Manfaat apa yang didapatkan ketika Anda berdana ? Berdana merupakan satu dari sekian banyak hal untuk menggemilangkan kebajikan yang bercahaya.
1. Mendapatkan perlindungan dan bantuan dari Tian baik di dunia maupun di akhirat
2. Mendapatkan berkah
3. Do’a yang terkabul

Sungguh Tian tidak berkenan, kepada orang yang tidak menggemilangkan kebajikan ( Shu Jing V.XIV:11 )
Huang Tian tidak mengasihi ( hanya satu golongan ) hanya kebajikan yang dibantu ( Shu Jing V.XVII:4 )
Maha Besar Tuhan ( Huang Yi Shang Di ) senantiasa Tian melindung kebajikan ( Shu Jing )
Hanya kebajikan berkenan Tian, tiada jarak jauh tidak terjangkau, kesombongan mengundang rugi, dan kerendahan hati menerima berkah ( Shu Jing II.II:21 )

Mari bersihkan harta benda di hari Jie Sie Siang Ang, agar keberkahan Tian  meliputi kehidupan di Tahun Baru Imlek, orang tidak lupa membersihkan rumah dengan cat dinding rumah yang baru supaya kelihatan lebih indah dan bersih demikian juga harta kita harus di bersihkan dengan cara berbagi kepada mereka yang kurang mampu. Kebajikan itulah yang pokok dan kekayaan itulah yang ujung (Da Xue Bab X : 7). Harta benda dapat menghias rumah, laku bajik menghias diri, hati yang lapang itu akan membawa tubuh kita sehat.Maka seorang Junzi senantiasa mengimankan tekadnya (Da Xue Bab VII : 4).
Dibawah ini adalah kisah-kisah kaum Ru Jiao di dalam mengembangkan kebajikan yang bercahaya yang bisa memberikan teladan hidup  untuk senantiasa mengembangkan kebajikan yang bercahaya


1. Du Fu adalah seorang penyair besar dalam sejarah Tiongkok, ia dijuluki sebagai penyair dari Lembah Air Mata, hidup pada zaman keemasan dan kejatuhan Dinasti Tang yaitu pada masa pemerintahan Kaisar Xuang Zong. Du Fu dan Li Bai, seorang penyair besar lainnya berkarya pada masa yang hampir sama. Du Fu terkenal syair-syair yang humanis dan patriot serta cinta rakyat.
Du Fu lahir pada masa pemerintahan Kaisar wanita,  Wu Ze Tian dan tumbuh pada masa kejayaan Kaisar Xuan Zong. Masa mudanya dihabiskan di pinggiran kota raja Chang An, tempat rumah keluarganya berada. Di sini terjadi suatu peristiwa  yang menunjukkan hati Du Fu yang luhur dan penuh belas kasih.
Rumah keluarga Du Fu punya halaman yang besar seperti layaknya rumah-rumah di pinggiran kota. Sebuah pohon plum yang besar dan lebat tumbuh di depan rumah. Du Fu biasanya berjalan-jalan dihalaman sambil melihat-lihat pohon untuk mencari inspirasi menulis puisi. Ketika musim panas tiba, pohon buah plum berbuah lebat. Tapi dari hari ke hari Du Fu melihat buah-buah plum semakin berkurang padahal tidak ada tanda bekas buah jatuh ke tanah. Du Fu yang penasaran lalu menunggu seharian di depan kamar yang menghadap ke halaman.
Seorang nenek datang pada sore harinya dengan membawa  sebuah tongkat dan keranjang. Usianya yang renta membuatnya berjalan tertatih-tatih. Pakaiannya compang-camping dan hanya bersandal jerami. Si nenek dengan susah payah mengayunkan tongkat ke pohon plum untuk mengambil buahnya. Kejadian ini tidak membuat Du Fu marah karena buah plum dicuri si nenek tapi malah membuat hatinya tergerak. Ia segera keluar menemui si nenek.
Si nenek terkejut sekali melihat Du Fu keluar dari dalam rumah. Ia langsung melepaskan tongkatnya dan berlutut mohon maaf. Du Fu dengan lembut membantunya bangun.
“Ambillah buah pohon ini sebanyak yang nenek mau”, kata Du Fu.
“Aku tidak bermaksud mengambilnya tapi aku sama sekali tidak punya makanan. Aku melihat pohon ini lebat sekali buahnya jadi aku memgambilnya beberapa untuk mengisi perutku. Seharusnya aku minta izin terlebih dahulu, aku mohon maaf “, kata si nenek ketakutan.
Hati Du Fu yang halus tergerak oleh penjelasan si nenek. Ia mengambil tongkat yang tergeletak di tanah dan memakainya untuk mengambil buah plum dari pohon. Setelah keranjang yang dibawa si nenek terisi penuh, Du Fu memberikannya kembali kepada si nenek.
“Bawalah pulang. Nenek boleh datang tiap hari kemari untuk mengambil buah”, kata Du Fu.
Si nenek sangat terharu dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Mulai hari itu, si nenek setiap sore selalu datang ke rumah Du Fu untuk mengambil buah plum. Beberapa bulan kemudian, Du Fu pindah ke daerah lain. Ia menitipkan rumahnya kepada saudara tirinya bernama Du Wu. Ia berpesan kepada Du Wu untuk membiarkan seorang nenek memetik buah-buah plum dari  pohon yang ada di depan rumah. Du Wu setuju tapi dalam hati menolak. Segera setelah kepindahannya Du Fu, ia memasang pagar  tinggi di sekeliling hamanan Du Fu.
Si nenek yang datang kemudian sangat terkejut melihat rumah Du Fu sudah dikelilingi pagar tinggi. Ia berusaha menggapai pohon plum dari luar pagar tapi tubuhnya yang tua tidak sanggup. Si nenek terpaksa pulang dengan tangan hampa. Esok harinya ia datang kembali. Kali ini Du Wu sudah menunggunya di depan halaman dengan wajah masam.
“Tuan, dulu tuan Du Fu mengizinkanku untuk memetik buah pohon plum ini. Sekarang halaman rumah ini sudah dipagari, aku minta izin untuk masuk memetiknya dari dalam”, pinta si nenek.
“Pergi dari sini! Pohon plum ini adalah milikku! Jika ingin makan buah plum belilah di pasar  sana!” usir Du Wu dengan keras.
Si nenek ketakutan dan langsung pergi. Ia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menerima nasib.
Beberapa hari kemudian, Du Fu kembali ke rumahnya untuk membereskan barang-barang yang tersisa. Ia menunggu hingga sore hari menanti kedatangan sang nenek tapi yang dinanti tak kunjung tiba. Du Fu juga heran melihat pagar tinggi di sekeliling rumahnya, tapi Du Wu saat itu sedang keluar jadi ia tidak bisa menanyakan apa-apa. Akhirnya Du Fu memutuskan untuk mencari nenek itu. Ia bertanya kepada beberapa tetangga dan menemukan rumah si nenek. Rumah itu kecil dan reyot bahkan pintu pun tidak  ada. Du Fu sangat sedih melihat keadaan rumah si nenek.
“Apakah ada orang di rumah?! “Seru Du Fu.
“Masuklah”, jawab si nenek dari dalam.
Du Fu masuk dan menemukan keadaan yang memprihatinkan. Tidak ada satu pun perabot di rumah itu, hanya ada dipan kayu kecil tempat si nenek membaringkan diri. Si nenek tampak lemah dan sakit.
“Maafkan aku tidak bisa bangun menyambut tuan”, kata si nenek lemah.
“Tidak apa-apa. Aku berkunjung sebentar kemari karena tidak melihat nenek datang ke rumah”, kata Du Fu.
“Tuan, sejak kepergian tuan, pemilik rumah yang baru melarangku mengambil buah di halaman”, kata si nenek.
“Apa?! Lalu bagaimana dengan nenek?!” seru Du Fu sangat terkejut.
“Aku makan seadanya. Tapi beberapa hari ini aku sakit dan belum makan apa-apa”, kata si nenek.
Du Fu sangat geram mendengar keterangan si nenek. Setelah memberikan uang secukupnya untuk berobat dan biaya hidup, Du Fu segera kembali ke rumah. Di sana ia menulis sebuah puisi untuk adik tirinya, Du Wu. Dalam puisi itu Du Fu mencela tindakan Du Wu yang tidak menunjukkan belas kasih. Ia menitipkan puisi itu kepada seseorang pelayan dan pergi.

Du Wu kembali beberapa saat kemudian dan membaca puisi Du Fu. Ia sangat terkejut dan sadar akan tindakannya yang salah. Du Wu merasa malu kepada kakak tirinya dan berniat memperbaiki kesalahannya. Ia meminta para pelayan merobohkan pagar dan menjemput nenek tua itu dari rumahnya. Ia langsung membungkuk mohon maaf di depan si nenek.
“Aku minta maaf atas kelakuanku. Mulai hari ini silakan nenek memetik buah plum sesuka hati nenek”, kata Du Wu.
Si nenek sangat gembira karena ia tidak lagi bingung mencari makanan. Kabar kebijakan dan belas kasih Du Fu menyebar di antara rakyat kotaraja Chang An. Sikap patriot, cinta kebenaran dan belas kasih Du Fu tercermin dari puisi-puisinya dan juga tindakan nyatanya. Beberapa tahun kemudian, Du Fu mengikuti ujian negara dan diangkat menjadi pejabat pendamping putra mahkota.

2. Lui Ching adalah seorang petani terkaya didesanya. Suatu hari Lui Ching mendapat musibah, anaknya semata wayang sakit keras, Lui Ching telah mendatangkan berpuluh-puluh tabib namun penyakit putranya tak kunjung sembuh. Sejak putranya sakit, setiap tengah malam Lui Ching selalu bersembahyang memohon kepada Tian untuk kesembuhan putranya. Penyakit putranya belum sembuh juga. Lalu Lui C hing mengucapkan setiap do’a dengan suara keras, hingga akhirnya salah seorang tetangga mendengarnya. “Lui Ching, mungkin Tian sedang mengujimu. Selama ini kulihat baru kali ini kau mau bersembahyang. Kau mungkin kurang memperhatikan lingkungan sekitarmu. Lihatlah ke sekeliling. Di desa ini cuma kau orang paling berkecukupan. Namun, tak pernah kau sumbangkan sedikit hartamu untuk yang kekurangan. Pagi harinya sakit putranya semakin parah. Tabib pun tak dapat menolong. Kepada siapa ia harus meminta tolong? Teringat kata-kata tetangganya semalam. Ia mulai merenung. “Benarkan demikian? Kalau begitu akan kukatakan pada Tian, jika Tian benar-benar menyembuhkan sakit anakku, akan kujual 2 ekor kerbau dan uangnya kusumbangkan untuk penduduk desa. Lalu ia pun mengucapkan janjinya itu dalam do’a di malam berikutnya. Seminggu kemudian sakit putranya sudah sembuh. Lui Ching memenuhi janjinya.

3. Pada masa Periode Negara-Negara Berperang (475 – 221 SM), hiduplah seorang terpelajar bernama Feng Yuan. Ia adalah orang pandai dan berbakat, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk menyalurkan kepandaian dan bakatnya. Kehidupannya sangat miskin. Ia pun melamar pekerjaan di kediaman Meng Changjun.
Meng Changjun adalah seorang bangsawan negara bagian Qi. Ia memiliki harta yang tidak terhitung banyaknya dan tanah miliknya juga amat luas, namun Meng Changjun adalah orang yang sangat kikir dan serakah.
Meskipun telah bekerja cukup lama di rumah Meng Changjun, Feng Yuan sedikit pun tidak dihargai, malahan sering dimarahi. Gaji yang diterima sangat kecil dan tidak pernah dinaikkan. Meskipun demikian, demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Feng Yuan tetap sabar menerima semua itu. Ia terus melakukan pekerjaannya sebaik mungkin.
Meng Changjun memiliki banyak  sawah di Negara Bagian Xue. Sawah-sawahnya ia sewakan dengan harga yang tinggi kepada penduduk setempat. Sudah beberapa tahun belakangan ini ia tidak sempat memungut uang sewa atas sawah-sawahnya.
Suatu hari, Meng Changjun berniat untuk menagih uang sewa sawah-sawahnya. Ia harus menyuruh seseorang agar berangkat ke Negara Bagian Xue untuk memungut uang sewa yang jumlahnya sangat banyak. Ketika pekerjaan ini ditawarkan kepada pegawainya, tidak seorang pun bersediah, karena pekerjaan menagih utang tidak mudah. Selain jaraknya jauh, banyak  penyewa tanah tidak mampu untuk membayar sewa tanah yang tinggi sementara hasil panen kurang bagus.
Karena tidak ada yang bersediah, Feng Yuan menawarkan diri untuk melaksanakan tugas ini. Meng Changjun tentu saja gembira meskipun ia ragu apakah Feng Yuan mampu melaksanakan pekerjaan ini. Feng Yuan termasuk pegawai baru dan belum pernah mendapat tugas seberat itu.
Sebelum berangkat, Feng Yuan bertanya kepada Meng Changjun, “Setelah aku berhasil menunaikan tugasku, adakah sesuatu yang dapat kubelikan untukmu dan membawanya pulang?”
Meng Changjun berpikir sejenak, lalu ia menjawab, “Belilah apa saja yang belum ada dirumahku!”
Setelah sampai di Negara Bagian Xue, Feng Yuan memberitahukan lewat selebaran tentang kedatangannya sebagai utusan Meng Changjun untuk menagih uang sewa. Kemudian seluruh penyewa yang tinggal di Negara Bagian Xue dikumpulkan.
Di depan rombongan para penyewa itu, Feng Yuan menyampaikan pengumuman, “Saudara-saudara, sudah beberapa tahun belakangan ini kalian belum membayar uang sewa. Aku telah diutus ke sini untuk menjumpai kalian. Bangsawan Meng Changjun menyuruhku mengatakan kepada kalian bahwa sejak hari ini uang sewa yang dulu maupun yang sekarang tidak perlu dibayar! Ini demi meringankan beban hidup kalian.”
Selesai bicara, Feng Yuan mengambil setumpuk kertas dari dalam saku dan kemudian membakarnya. Kertas-kertas tersebut adalah surat tagihan utang uang sewa sawah.
Mendengar pengumuman itu, para penyewa sangat gembira, bahkan banyak yang bersujud untuk menyatakan syukur mereka.
Ketika Feng Yuan melangkah pergi, mereka berteriak hampir serempak, “Hidup Meng Changjun! Hidup Meng Changjun!”
Hari itu juga, Feng Yuan pulang kembali ke Negara Bagian Qi untuk menemui Meng Changjun dan melaporkan hasil pekerjaan yang sudah dilaksanakan di Negara Bagian Xue.
Meng Changjun terheran-heran melihat Feng Yuan telah kembali dan menyelesaikan masalah dengan sangat cepat. “Sungguh hebat, engkau telah berhasil menunaikan tugasmu!” puji Meng Changjun.
Ia lalu bertanya,”Apa yang telah kau belikan untukku dengan uang itu? Dengan tenang Feng Yuan menjawab,”Seperti yang kau katakan, apa yang tak kau miliki di rumah. Aku belikan untukmu kebajikan.”
“Kebajikan? Apa maksudmu?” tanya Meng Changjun dengan rasa heran.
“ketika berangkat dalam perjalanan aku berpikir, benda apa yang tidak ada dirumahmu. Kulihat tuan punya banyak harta kecuali satu, kebajikan dan itu yang kubawa untuk tuan. Jadi aku bakar semua surat tagihan dan kubebaskan mereka dari kewajiban membayar sewa. Inilah yang kubelikan untuk tuan dan kubawa pulang. Mulai saat ini, di rumah ini telah ada kebajikan!”
Mendengar itu, Meng Changjun marah bukan main, tetapi sudah terlanjur, mau apa lagi.
Keesokan harinya, Meng Changjun pergi berkunjung ke Negara Bagian Xue, didampingi Feng Yuan. Ketika ia tiba dan menyusuri jalan-jalan di sana , banyak sekali penduduk, laki-laki dan perempuan, tua muda, datang menyambutnya di sepanjang jalan yang dilaluinya sambil mengelu-elukannya. Meng Changjun merasa sangat terharu dan berkata pada Feng Yuan, “Kebajikan yang telah kau belikan untukku, hari ini dapat kulihat sendiri artinya!”
Sejak itu, Meng Changjun menjadi lebih bijaksana, tidak kikir dan tidak serakah.

Sesungguhnya Jalan Suci itu dimulai dari bawah menuju ke atas, Jalan Suci itu dekat, mengapa mencari ke tempat yang jauh?  Sumbangan Anda sangat berarti bagi kehidupan mereka yang hidup serba kekurangan, dengan semangat Hari Persaudaraan (Jie Sie Siang Ang) kita taburkan cinta kasih untuk mereka sebagaimana Tian memberikan kehidupan dan penghidupan untuk umat manusia dengan welas asih.
Salurkan sumbangan Anda ke Khongcu Bio atau Litang terdekat, semoga kebajikan yang dihimpun Tian berkenan. Shanzai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH