Penulis : Tan Sudemi
Persembahyangan setiap bulan tujuh penanggalan Imlek ini, mempunyai banyak sebutan antara lain Tiong Gwan atau Tiong Yang, Cioko, rebutan, chiet gwee pua (pertengahan bulan tujuh imlek) dan King Hoo Ping (Jing He Ping). Namun apapun sebutannya persembahyangan ini sudah ada sejak zaman dahulu dikenal umat Ru Jiao (agama Khonghucu) yang patuh pada agamanya.
Berbicara lebih jauh tentang persembahyangan sakral ini yang dilakukan oleh umat Ru Jiao, di dalam tata agama dijelaskan bahwa sembahyang yang biasa dilakukan setiap bulan tujuh itu, adalah merupakan salah satu bentuk persembahyangan Kehadirat Tian Yang Maha Pengasih, yang ditujukan bagi para arwah leluhur dan para arwah sahabat atau arwah umum, arwah segenap umat untuk ketenangan dan kedamaian mereka di alam Sian Tian (alam setelah mereka meninggal dunia di dalam kehidupannya sebagai roh atau arwah).
Ketenangan dan kedamaian bagi para arwah terlebih Tian mengampuni segala kekeliruan yang mereka perbuat semasa hidupnya di dunia dan terlebih lagi mereka sebagai para arwah diterima didalam kebajikan Tian Yang Maha Gemilang dan hal ini teramat sangat didambakan umat Ru Jiao yang tercetus dalam do’a persembahyangan Kehadirat Tian, sebagai pernyataan setia, hormat, cinta kasih dan berbakti sesuai dengan apa yang tersurat di dalam kitab Li Jing bab 4 pasal 5 : Nabi Kongzi mengingatkan bahwa, Memperlakukan orang yang telah wafat dengan memperlakukannya seperti seluruhnya telah mati itu menunjukkan tiada cinta kasih. Sebaliknya memperlakukan orang yang telah wafat, dengan memperlakukannya sebagai ia masih hidup, sungguh tidak bijaksana dan hal ini tidak boleh dilakukan. Nabi Kongzi mengajarkan perlakukanlah ia sebagai roh yang terhormat. Jadi atas dasar cinta kasihlah persembahyangan terwujud.
Jelaslah bahwa di dalam Ru Jiao mengenal after life (kehidupan setelah meninggal dunia), apa artinya persembahyangan yang dilakukan setiap bulan tujuh imlek oleh umat Ru Jiao jika tidak mengakui adanya kehidupan setelah mati. Dan untuk apa pula umat Ru Jiao dibimbing agar mempunyai keyakinan dan kepercayaan bahwa hanya kebajikan sajalah yang dapat menyelamatkan manusia dari dosa dan kejahatan, bahwa hanya kebajikan sajalah bekenan Tian.
Persembahyangan yang sakral ini dilaksanakan mempunyai dua tujuan yaitu :
- tanggal 15 bulan tujuh imlek di altar keluarga, pada saat ngosi atau antara jam 11:00 sampai dengan jam 13:00 bagi arwah para leluhur.
- tanggal 29 bulan tujuh imlek yaitu Khing Hoo Ping atau sembahyang bagi arwah umum atau arwah Sahabat, untuk sembahyang ini dibuatkan altar khusus, dihalaman kelenteng atau diruang khusus atau di rumah abu umum atau Tiong Ting. Persembahyangan diKelenteng atau Bio sering disebut juga sembahyang rebutan.
hal tersebut di atas sesuai dengan agama Ru Jiao bahwa di dalam kepercayaan kepada Tian itu, wajib diwujudkan dengan sujud serta timbul kesadaran untuk berbuat bajik, maka di dalam do’a menyampaikan permohonan kehadirat Tian biasanya selalu diiringi dengan pengorbanan berupa persembahan dana. Umat Ru Jiao diwajibkan untuk menyisihkan penghasilan mereka berdana bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan sebagai wujud kepedulian sosial, “Seseorang yang penuh cinta kasih menggunakan harta untuk mengembangkan diri. Seseorang yang tidak berperi cinta kasih mengabdikan diri untuk menumpuk harta” (Da Xue Bab X : 20).
“Pemimpin negara yang hanya mengutamakan harta saja, menunjukkan dia seorang yang berbudi rendah. Jika perbuatan berbudi rendah itu dianggap baik, maka akan datang malapetaka bagi negara itu. Bila hal ini sudah terjadi, meski datang seorang yang baik, ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Maka dikatakan suatu negara janganlah menganggap keuntungan, tetapi pandanglah kebenaran sebagai keberuntungan” ( Da Xue Bab X ayat 23 ).
Hal tersebut diatas sesuai pula dengan arti nama Tiong Gwan atau Tiong Yang yang disebut juga Tiong Yang Ciat. Sembahyang pada bulan tujuh ini jatuh tepat pada pertengahan tahun kalender imlek yang bila datang saat itu biasanya di dunia ini kadang kala terjadi bencana alam banjir, gempa bumi, tanah longsor, angin topan dan lain-lain. Oleh karena itu didalam hidup beragama umat Ru Jiao diwajibkan sembahyang Kehadirat Tian dan mengamalkan kebajikan terhadap sesamanya. Peringatan itu sesungguhnya tersurat dalam kitab Shi Jing, sanjak Nomor 21 yang berjudul Thong :
Maha Besarlah Tian
Dialah yang memerintahkan rakyat dibawah
Bila datanglah murka Tian
Sungguh hebat hukumannya
Tian telah menjelmakan rakyat jelata
Dengan firma-Nya yang tak boleh disia-siakan
Memang semuanya adalah baik pada mulanya
Tetapi jarang yang sampai pada akhirnya.
Dialah yang memerintahkan rakyat dibawah
Bila datanglah murka Tian
Sungguh hebat hukumannya
Tian telah menjelmakan rakyat jelata
Dengan firma-Nya yang tak boleh disia-siakan
Memang semuanya adalah baik pada mulanya
Tetapi jarang yang sampai pada akhirnya.
Sembahyang bulan tujuh ini sudah dimulai sejak zaman Nabi I Ien dan Nabi Sing Thong, dilakukan umat Ru Jiao sejak abad ke 18 sebelum masehi. Pada masa hidup Nabi I Ien dan Nabi atau Raja Suci Sing Thong ( orang suci ke-4 setelah Raja Suci Giau, Raja Suci Sun dan Nabi Ie Agung) telah terjadi tujuh tahun bencana kemarau yang menyengsarakan kehidupan rakyat. Apa yang dilakukan Raja Suci Sing Thong untuk melindungi rakyat ? Raja Suci Sing Thong membuka gudang-gudang negara, dan membagikan gandum, beras, uang dan lain-lain kepada rakyat. Beliau memotong rambut dan kuku serta mengenakan pakaian serba putih lalu memimpin upacara sembahyang kehadirat Tian. Diceritakan bahwa setelah selesai Beliau melakukan puja dan do’a, air hujan pun turun seperti dituangkan dari langit. Demikianlah sembahyang yang disertai dengan perbuatan baik bagi manusia dan cinta kasih adalah kesempurnaan di dalam melakukan ibadah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persembahyangan yang dilakukan merupakan pernyataan keyakinan tentang adanya kehidupan setelah mati atau after life. Bahwa sembahyang kepada leluhur itu merupakan pernyataan hormat kita kepada arwah para leluhur yang mencerminkan pula adanya kehidupan abadi yang dinyatakan dengan prilaku yang baik serta sembahyang di dunia ini. Bahwa orang hidup itu bertali-talian antara orang tua dan anak, maka segala kebaikan dan kesalahan orang tua, anaklah yang mampu menyempurnakan atau meluruskan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pada zaman dahulu orang tua merasa tidak berbakti bila tidak mempunyai keturunan, sebab yang bisa menolong arwah orang tua atau leluhur anak dengan jalan berbuat kebajikan. Maka bila hanya berlaku bakti mendidik anak dan cucu, masih belum sempurna bila mengabaikan sembahyang pada tanggal 15 bulan 7 imlek. Sedang sembahyang pada tanggal 29 bulan tujuh imlek sebenarnya merupakan intisari kehidupan beragama, bukan hanya sembahyang saja melainkan berkurban, mengembangkan kebajikan langsung kepada sesama manusia dengan jalan berdana.
Meskipun persembahnyangan Jing He Ping merupakan bagian dari ritual agama Ru (Agama Khonghucu) namun agama Buddha yang masuk ke daratan Tiongkok antara tahun 70 dan 50 sebelum masehi Para biksu Buddha mengadopsi ajaran Tao maupun Ru dalam memperkenalkan Buddhisme di tengah masyarakat Tiongkok yang akhirnya melahirkan sekte Buddha Mahayana. Masyarakat Han pada waktu itu yang menganut agama Ru atau yang lebih kenal dengan nama budaya Ru / Konfusiani yang merata di daratan Tiongkok. Pada akhirnya agama Buddha Mahayana menyebar secara perlahan-lahan pada masa akhir dinasti Han. Para Biksu menetralisir ajaran Khonghucu diantaranya tentang laku bakti. Salah satu kisah yang melegenda di Bulan Chiet Gwee ini di tengah-tengah masyarakat Han dan Tionghoa hingga saat ini adalah kisah Monggalana ( Mu Jian Lian atau Muk Lian ).
Ia adalah murid Buddha Gautama, murid yang sangat cerdas dan sakti. Karena ketekunannya melakukan meditasi, ia pun dapat melihat perwujudan ibunya setelah reinkarnasi. Dari 18 tingkatan neraka ada 6 jalur reinkarnasi. Ibunya berada di jalur paling bawah yakni di tingkat 6. Tingkat tersebut adalah alam kehidupan hantu yang lapar. Dengan mata bathinnya, Monggalana kaget melihat keadaan ibunya yang sangat kurus dan tidak dapat makan karena jalur masuknya makanan di kerongkongannya telah mengecil seperti sebuah lubang jarum.
Monggalana berusaha keras menolong ibunya dengan memberi makan, tetapi ketika makanan itu dipegangnya, seketika makanan itu berubah menjadi api dan membuat sang ibu kepanasan, bahkan terbakar. Hal ini dilakukannya sebanyak tiga kali berturut-turut, tetapi ia tetap tidak dapat berhasil menolong ibunya. Hingga ia bertanya kepada sang Buddha, mengapa orang lain dapat ia tolong, tetapi ibunya sendiri tidak dapat ia tolong.
Sang Buddha pun menjawab bahwa orang lain dapat ia tolong karena ia tidak memiliki kadar kepentingan apa-apa kepada mereka, namun terhadap ibunya ia masih punya kepentingan pribadi yang membuatnya terikat secara bathin. Dalam menolong tidak boleh ada kepentingan apa-apa. Semasa ibunya hidup, Monggalana selalu mengolok pertapa dan biksu, bahkan terhadap orang vegetarian yang menghindari makanan yang mengandung darah. Ibunya pun sering secara sembunyi-sembunyi memberi mereka makanan dengan darah. Karena itulah sang ibu dalam reinkarnasinya menjadi hantu lapar. Jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan sang ibu ialah berdana dan memberi bantuan makanan kepada para pertapa, biksu dan masyarakat miskin yang tidak mampu, kemudian niatkan bahwa semua amalannya dipersembahkan untuk sang ibu. Setelah Monggalana melakukannya, ternyata ibunya telah berpindah ke alam yang lebih baik. Inilah kisah dari agama Buddha Mahayana yang telah menyatu dalam budaya Konfusiani dikalangan masyarakat Han maupun orang Tionghoa. Pada bulan Chiet Gwee umat Buddha Mahayana ikut melaksanakan persembahyangan yang disebut Cioko atau ulambana.
Print this page
Meskipun persembahnyangan Jing He Ping merupakan bagian dari ritual agama Ru (Agama Khonghucu) namun agama Buddha yang masuk ke daratan Tiongkok antara tahun 70 dan 50 sebelum masehi Para biksu Buddha mengadopsi ajaran Tao maupun Ru dalam memperkenalkan Buddhisme di tengah masyarakat Tiongkok yang akhirnya melahirkan sekte Buddha Mahayana. Masyarakat Han pada waktu itu yang menganut agama Ru atau yang lebih kenal dengan nama budaya Ru / Konfusiani yang merata di daratan Tiongkok. Pada akhirnya agama Buddha Mahayana menyebar secara perlahan-lahan pada masa akhir dinasti Han. Para Biksu menetralisir ajaran Khonghucu diantaranya tentang laku bakti. Salah satu kisah yang melegenda di Bulan Chiet Gwee ini di tengah-tengah masyarakat Han dan Tionghoa hingga saat ini adalah kisah Monggalana ( Mu Jian Lian atau Muk Lian ).
Ia adalah murid Buddha Gautama, murid yang sangat cerdas dan sakti. Karena ketekunannya melakukan meditasi, ia pun dapat melihat perwujudan ibunya setelah reinkarnasi. Dari 18 tingkatan neraka ada 6 jalur reinkarnasi. Ibunya berada di jalur paling bawah yakni di tingkat 6. Tingkat tersebut adalah alam kehidupan hantu yang lapar. Dengan mata bathinnya, Monggalana kaget melihat keadaan ibunya yang sangat kurus dan tidak dapat makan karena jalur masuknya makanan di kerongkongannya telah mengecil seperti sebuah lubang jarum.
Monggalana berusaha keras menolong ibunya dengan memberi makan, tetapi ketika makanan itu dipegangnya, seketika makanan itu berubah menjadi api dan membuat sang ibu kepanasan, bahkan terbakar. Hal ini dilakukannya sebanyak tiga kali berturut-turut, tetapi ia tetap tidak dapat berhasil menolong ibunya. Hingga ia bertanya kepada sang Buddha, mengapa orang lain dapat ia tolong, tetapi ibunya sendiri tidak dapat ia tolong.
Sang Buddha pun menjawab bahwa orang lain dapat ia tolong karena ia tidak memiliki kadar kepentingan apa-apa kepada mereka, namun terhadap ibunya ia masih punya kepentingan pribadi yang membuatnya terikat secara bathin. Dalam menolong tidak boleh ada kepentingan apa-apa. Semasa ibunya hidup, Monggalana selalu mengolok pertapa dan biksu, bahkan terhadap orang vegetarian yang menghindari makanan yang mengandung darah. Ibunya pun sering secara sembunyi-sembunyi memberi mereka makanan dengan darah. Karena itulah sang ibu dalam reinkarnasinya menjadi hantu lapar. Jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan sang ibu ialah berdana dan memberi bantuan makanan kepada para pertapa, biksu dan masyarakat miskin yang tidak mampu, kemudian niatkan bahwa semua amalannya dipersembahkan untuk sang ibu. Setelah Monggalana melakukannya, ternyata ibunya telah berpindah ke alam yang lebih baik. Inilah kisah dari agama Buddha Mahayana yang telah menyatu dalam budaya Konfusiani dikalangan masyarakat Han maupun orang Tionghoa. Pada bulan Chiet Gwee umat Buddha Mahayana ikut melaksanakan persembahyangan yang disebut Cioko atau ulambana.
Sajian dalam Upacara Jing He Ping |
Pemuka Ru Jiao Memimpin Doa Untuk Para Arwah |
Print this page
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH