Ibuku yang sudah menjanda boleh dikatakan sangat miskin dan bergantung padaku dalam masalah keuangan. Karena aku sendiri tak bisa digolongkan kaya, hal ini merupakan tekanan berat bagiku. Kelihatannya aku bisa selalu menanggung beban ini dengan tenang dan santai, tapi kadang-kadang aku suka kehilangan kesabaran. Begitulah yang terjadi bulan lalu, ketika penyejuk ruangan ibuku mendadak mati pada saat gelombang musim panas yang paling parah melanda.
Selama beberpa bulan sebelumnya, ibuku banyak sekali meminta uang. Ada beberapa pengeluaran ekstra, selain yang sudah rutin. Rekening-rekening untuk dokter, pakaian musim panas, liburan singkat di tepi pantai... Kelihatannya hampir setiap hari ia meneleponku untuk minta aku membayar sesuatu. Jadi, ketika ia meneleponku dan mengatakan bahwa ia memerlukan penyejuk ruangan yang baru, aku meledak marah. "Tidak sekarang!" teriakku sambil membanting telepon keras-keras
Malam itu aku pulang lebih lambat dari kantor, dan mendapat apartemenku panas seperti ruang untuk sauna. Begitu aku membuka pintu, udara panas menerpaku; butir-butir keringat mulai membasahi wajah dan tubuhku. "Untunglah gedung ini memiliki sistem penyejuk ruangan sentral," kataku pada diri sendiri, sambil menyalakan AC.
Kutunggu udara dingin mengalir keluar, tapi tidak terjadi apa pun. Sekonyong-konyong aku menyadari bahwa sejak tadi tidak terdengar dengung pelan menggema yang selalu menndakan bahwa penyejuk ruangan sentral itu berfungsi. "Astaga!" aku menggerutu sendiri. "Penyejuk ruangan sentral ini rusak, padahal biasanya tidak pernah begini... padahal malam ini adalah malam paling panas sepanjang tahun!"
Saat itu pukul sebelas malam, sudah terlalu larut untuk memanggil tukang reparasi. Berarti aku mesti mandi keringat sampai besok pagi.
Malam itu aku merasa sangat tidak nyaman, sampai-sampai tak bisa tidur. Berkali-kali aku mandi dan menenggak minuman dingin. Tapi tidak ada gunanya. Di luar panas luar biasa, dan aku merasa sangat menderita.
Sekonyong-konyong aku terduduk di tempat tidur. "Oh, Tuhan!" pikirku dengan rasa bersalah. "Ibuku yang malang! Kalau aku yang berusia empat puluh tahun dan sehat walafiat ini bisa begitu menderita, bagaimana dengan ibuku? Kenapa aku begitu tidak sensitif dan tidak peduli?"
Aku diliputi oleh rasa malu dan bersalah atas sikapku yang jahat kemarin, betapa aku tidak merasa iba pada ibuku. Tapi mungkin aku tak bisa sepenuhya disalahkan. Barangkali aku tidak benar-benar mengerti, betapa menyengsarakan udara panas itu. Akhirnya, dengan rusaknya penyejuk ruanganku, aku diberi kesempatan untuk merasakan sedikit apa yang dialami ibuku. "Besok pagi aku akan langsung membelikannya penyejuk ruangan!" aku mengambil keputusan saat itu juga. "Aku tidak akan berangkat kerja sebelum memastikan penyejuk ruangan itu dipasang di kamar ibuku. Tidak, sebaiknya aku bukan hanya membelikan satu penyejuk ruangan... melainkan satu untuk setiap ruangan di rumahnya."
Merasa puas membayangkan apa yang akan kulakukan, aku berbaring kembali dan memejamkan mata. Sekonyong-konyong kudenger suara paling indah di dunia: bunyi mesin penyejuk ruangan dan dengungannya yang kutunggu-tunggu.
Udara dingin keluar melalui pipa udara. Aku tercekat heran dan tak percaya akan timing yang luar biasa ini. Lalu tahulah aku: penyesalanku diterima.
Sumber :
Yitta Halberstam & Judith Leventhal. Small Miracles 68 Kisah nyata tentang kebetulan-kebetulan tak terduga yang memperkaya jiwa. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Print this page
Sumber :
Yitta Halberstam & Judith Leventhal. Small Miracles 68 Kisah nyata tentang kebetulan-kebetulan tak terduga yang memperkaya jiwa. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH