Ding Chun Liang
adalah rakyat biasa pada masa Kaisar Jia Qing (kaisar kelima Dinasti Qing).
Ibunya meninggal ketika ia masih kecil. Ia tinggal dan dibesarkan oleh ayahnya.
Ketika Ding Chun
Liang berusia tiga belas tahun, ayahnya terkena stroke sehingga setengah
badannya lumpuh. Kenyataan pahit ini tak membuat Ding Chun Liang menyalahkan Tuhan dan manusia atau
mencari-cari alasan untuk menyalahkan siapa saja. Ia tegar menghadapi masalah
dan mengambil tanggung jawab untuk merawat ayahnya.
Sejak ayahnya
sakit, Ding Chun Liang berperan sebagai pencari nafkah. Karena pagi hingga sore
bekerja di luar rumah, ia minta tolong tetangga sebelah untuk menjaga ayahnya.
Bulan demi
bulan, tahun demi tahun dilewati. Kesehatan ayahnya terus melemah. Pandangannya
kian kabur, daya ingatnya kian menurun, dan sepanjang hari hanya bisa
terbaring.
Ding Chun Liang
berulang kali memanggil tabib untuk mengobatinya, tetapi tetap tak ada hasil
berarti. Walaupun sedih, di depan ayahnya Ding Chun Liang selalu tersenyum.
Ding Chun Liang
tahu bahwa ayahnya suka mendengar nyanyian di opera musikal, maka ia berkata
sekaligus memotivasi, “Ayah kan suka mendengar nyanyian di opera. Pendengaran
Ayah masih bagus. Aku temani Ayah ke opera, mau?”
Mendengar itu,
sang ayah sangat terharu dan tak kuasa menolak niat baik anaknya.
“Tak kusangka
kamu ingat kesukaan Ayah,” Katanya. “Memang sudah lama Ayah tidak nonton opera.
Kapan-kapan temani Ayah ke sana.”
Begitu ada
kesempatan, Ding Chun Liang mengajak dan menemani ayahnya menonton opera
musikal. Ternyata hal itu berdampak baik pada vitalitas sang ayah. Namun,
beberapa bulan kemudian, kesehatan ayahnya kembali ambruk dan kali ini seluruh
tubuhnya lumpuh.
Ding Chun Liang
sangat-sangat cemas. Tak sedikit tabib yang diundang ke rumah untuk mengobati
ayahnya, tapi tak membuahkan hasil.
Bertahun-tahun
ayahnya lumpuh di ranjang. Ding Chun Liang telaten merawat, menjaga dan
melayani. Ia mengurut dan membersihkan tubuh, mengganti baju dan seprai,
menyuapkan makanan, minuman dan obat. Di malam hari, ia tidur sekamar dengan
ayahnya agar bisa bereaksi cepat bila terjadi sesuatu.
Pada suatu hari,
usai mengurus ayahnya, Ding Chun Liang tertidur duduk di bangku. Tiba-tiba
samar terdengar suara berisik yang kian lama kian kuat. Ding Chun Liang pun
bangun. Saksama mendengar, ternyata itu adalah suara guyuran air bercampur
dengan suara api yang membakar. Terjadi kebakaran di sebelah rumah.
Ding Chun Liang
segera bangkit untuk mengambil air karena melihat api sudah menyambar dinding
rumah. Ia membatalkan niatnya ketika melihat ayahnya masih tidur nyenyak.
“Kalau tiba-tiba
kobaran api bertambah besar dan menjalar sampai kamar, semuanya akan
terlambat,” bisiknya dalam hati.
Ding Chun Liang
membangunkan ayahnya, lalu mengendongnya ke luar kamar. Namun, saat tiba di
pintu depan, terlihat api juga sudah membakar semua dinding rumahnya.
Di dalam kamar
ayahnya, api berkobar-kobar dan mengepung. Mundur tak bisa, maju juga tak
mungkin. Karena tak menemukan jalan ke luar, Ding Chun Liang tertahan di tengah
ruang yang sempit itu dan tak tahu harus berbuat apa. Di tengah cengkeraman
rasa putus asa, Ding Chun Liang diam-diam berdoa meminta pertolongan Tuhan.
Di tengah
kepungan api dan asap, samar-samar Ding Chun Liang melihat api mengecil. Ternyata tetangga memadamkan api
dengan terus menyiram air. Melihat kesempatan itu Ding Chun Liang mengendong
ayahnya dan terus berlari menerobos kobaran api.
Dengan bantuan
para tetangga, Ding Chun Liang dan ayahnya selamat.
Lolos dari bencana
kebakaran, rutinitas Ding Chun Liang tetap sama, yakni mengurus ayahnya.
Selama enam
belas tahun Ding Chun Liang terus telaten dalam mengurus ayahnya. Ceritanya
menyebar sampai ke telinga kaisar. Sang penguasa memerintahkan pejabat lokal
untuk membangun gapura di halaman rumahnya sebagai penghargaan dan penghormatan
atas keteguhan hatinya berbakti.
Sumber :
Kebijaksanaan Klasik Tiongkok Bakti Yang Melegenda oleh Jursra Chandra, penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2015
Print this page
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH